Terdengar dari kejauhan ada suara senjata yang ditembakkan, itu pasti para penduduk yang balas menyerang, pikirku. Benar saja, sebagian menyerbu secara bersamaan dengan menggunakan senjata seadanya. Ada yang memakai pipa besi, senjata tajam, kayu panjang yang berfungsi sebagai tombak, bahkan dengan menggunakan sebuah wajan. Mereka berperang dalam hujan yang lebat, darah di mana-mana dan telah bersatu dengan air yang menggenang. Pada saat pemanasan global terjadi, curah hujan akan turun dalam keadaan yang besar, bisa saja akan terjadi banjir setelahnya. Saat itu, saat mulai berpasrah diri, terdengar suara seseorang yang tidak asing lagi di telingaku. Aku mendongak dan kulihat Idris tengah berdiri sambil menggenggam sebilah pedang, itu merupakan pedang Arab dengan ukiran kaligrafi pada badannya, lalu ujung pedangnya terlihat bagaikan lidah seekor ular yang bercabang dua. Sempat terpikir jika ini hanyalah mimpi atau diriku mulai hilang kesadaran, tetapi ketika Idris menampar pipiku barulah aku tahu jika itu benar dirinya. Sewaktu pertama kali menghilang dan datang kembali di kediaman Romeo, Idris juga pernah menampar pipiku.
Ini merupakan sebuah hiburan sekaligus harapan di tengah kacaunya dunia. Biarkan manusia berperang aku tidak peduli, biarkan hujan yang deras hingga mengakibatkan banjir, akupun tidak peduli. Jika Idris telah berada di sini, maka keberuntungan telah datang kepadaku. Aku tertawa sejadi-jadinya meskipun Idris melihatku terheran-heran. Ada pertanyaan yang tiba-tiba terlintas hingga terpaksa menghentikan tawaku secara mendadak, bagaimana dan untuk apa dia datang ke sini dengan membawa sebilah pedang? Jangan sampai prasangka burukku terbukti benar jika Idris merupakan salah satu dari kelompok manusia kanibal ini, batinku. Aku memandangnya lekat-lekat dan diapun melakukan hal yang serupa. Aku memberanikan diri untuk bertanya, dimulai dengan berbasa-basi soal pedang yang dibawanya tersebut.
"Dari mana pedang ini?" tanyaku yang berusaha tetap terdengar santai.
"Baik! Sepertinya harapan hidupmu telah kembali, ya? Ini merupakan pedang warisan leluhurku, pedang ini sudah sering berpindah tangan dan sampailah sekarang pada genggamanku. Pedang ini terkenal dengan sebutan Zulfiqar!" serunya sambil tersenyum, lalu dia menambahkan. "Apa ada lagi yang ingin ditanyakan?"
"Tentu! Banyak sekali yang harus kutanyakan kepadamu saat ini."
"Jika kamu merasa tidak keberatan maka aku akan dengan senang hati untuk menjawabnya."
Pertanyaan pertama mengenai hatiku yang tidak mampu untuk bersedih atau marah, tetapi jawaban Idris sungguh tidak memuaskan diriku. Dia bilang mungkin saja aku terlalu lelah dan pasrah pada kematian, makanya aku tidak perlu untuk menyesal. Pertanyaan kedua mengenai keberadaannya di sini, kenapa datang dengan membawa pedang? Kataku. Lalu Idris menjawab:
"Aku pernah bilang jika aku tidak bisa berdiam diri tanpa ada tantangan sedikitpun, makanya aku mengikuti rombongan kanibal ini. Tapi jangan berpikir yang macam-macam! Aku tidak hendak berburu daging manusia, dan aku masih memiliki otak yang waras! Tujuanku kemari adalah untuk membasmi mereka, manusia liar ini. Makanya aku harus menunggu di tempat yang tepat agar ada bantuan yang bisa menolongku juga. Nah, coba lihat! Masyarakat di sini ikut berperang, mereka itulah sekutuku. Jika kamu masih tidak percaya, maka tidak perlu dipikirkan, bagaimana caranya aku bisa bergabung bersama mereka? Itulah gunanya mempelajari banyak bahasa dan kebiasaan manusia diberbagai banyak tempat dan kebudayaan. Oscar! Sekarang aku akan melepaskanmu dan pergilah ke tempat yang jauh, aku kira pastilah kamu telah memiliki tempat tujuan yang baru, bukan?! … ya, itu pasti!"