DUA MUSAFIR: Dialog

Arthur William R
Chapter #23

BAB 22

Semua percakapan ini kami utarakan sambil berjalan menjauhi kerumunan orang-orang yang saling baku hantam. Aku senang dengan diskusi semacam ini, ini menjadikanku manusia yang bijak terhadap sesuatu hal dan perbedaan, sekaligus membangkitkan semangatku kembali untuk tetap bertahan hidup. Anehnya, tidak ada satupun dari orang-orang di sini yang menggangu kami, mereka semua terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Idris bertanya lagi: "Apa hanya itu saja? Maksudku, tidak ada pertanyaan lain lagi? Atau mungkin kamu ingin bertanya dengan pertanyaan yang sering orang lain ajukan, misalnya: apakah Tuhan bisa menciptakan sebuah batu yang sangat berat yang tidak bisa diangkat olehnya sendiri?"

Aku tertawa mendengarnya. "Tidak, Idris. Aku tahu asal sumber dari pertanyaan yang kau sebutkan itu, sekalipun orang-orang polos seperti kami sering menjadikannya senjata untuk dipertanyakan. Itu disebut omnipotence paradox: sejarahnya berasal dari abad 12 Masehi, Pertanyaan ini diajukan oleh Averroes alias Ibnu Rusyd, seorang cendekiawan Muslim. Thomas Aquinas, seorang teolog Kristiani, juga pernah mengajukan pertanyaan serupa. Jika ditarik ke versi lebih kuno, Pseudo-Dionysius the Areopagite pernah mengajukan pertanyaan yang mirip-mirip dua cendekiawan sesudahnya. Kalau ingin menemukan jawabannya, maka cari saja jawaban Ibnu Rusyd terhadap pertanyaannya sendiri. Sekalipun aku tidak mempercayai Tuhan dan agama, tetapi bukan berarti aku tidak membaca buku-buku mereka."

"Pernyataanmu yang ini terlihat bertentangan dengan yang sebelumnya. Tapi syukurlah, itu menandakan jika dirimu bukanlah orang yang keras kepala dan bodoh." 

Kami berhenti di dekat kumpulan kendaraan roda dua dan empat, Idris menyarankanku untuk menaiki salah satu dari mobil ini dan pergi secepatnya. Aku setuju, tetapi aku juga harus kembali ke bukit untuk mengambil tas dan bekal milikku, sekaligus mengajak Jacob untuk pergi juga. Sayangnya Idris mencegahku untuk ke sana, dia mengingatkan jika harus menuruti perintahnya untuk hari ini. Aku keberatan, dan terpaksa kami memulai perdebatan kembali. Aku punya alasan untuk menolong seorang anak yang telah membantuku, bagaimana mungkin dengan teganya membiarkan orang yang berjasa harus kita tinggalkan begitu saja. Lagi-lagi Idris tetap kukuh menolak dan malah memberikan janji untuk melindungi anak itu beserta keluarganya. Desakan demi desakan yang diberikannya telah membuatku mengalah, terpaksa aku harus memegang janjinya. Itu juga membuat dirinya tidak akan ikut pergi bersamaku kembali. Kuhidupkan kontak mobil ini dan aku meluncur dengan cepat bersama sebuah peta yang akan mengantarkanku menuju petualangan berikutnya.

Ya aku telah pergi dan sudah meninggalkan Idris dengan sangat jauh, aku tidak lagi menoleh ke belakang agak diriku tidak berubah pikiran. Kubuang semua ingatanku tentang bukit itu, juga tentang Jacob, anak lelaki, dan juga tragedi yang menimpaku. Idris ada di sana aku yakin semuanya akan baik-baik saja, yang terpenting sekarang ini adalah hidupku, aku kembali bebas untuk bisa melanjutkan petualangan. Rasanya seperti memiliki dua nyawa, lolos dari Kematian lalu mendapatkan kesempatan agar bisa mengejar yang lebih baik. Mungkin memang sudah jadi takdirku untuk menyelesaikan semuanya. Terbayang-bayang kembali permohonanku saat melihat bintang jatuh, aku meminta agar selalu mendapatkan keberuntungan dan juga kebaikan untuk kami bertiga, meskipun aku sendiri tidak ingin mempercayai hal-hal demikian. Kuinjak pedal gas mobil ini dengan sangat kuat di jalanan lurus beraspal, tak ada keraguan lagi yang menyertaiku, semangat hidupku telah kembali dan seolah-olah rasanya seperti mengendarai angin. Untuk berjaga-jaga aku harus sebisa mungkin mencari kota terdekat, mungkin tubuhku perlu istirahat dan pakaian baru. Setelah berjam-jam melakukan perjalanan tanpa satu pun menemukan tempat singgah, kuputuskan untuk berhenti di mana saja. Saat kuperiksa bagian belakang mobil ini ternyata di bagasinya terdapat perlengkapan yang dibutuhkan: berupa selimut, pakaian, makanan kering, lalu ada sebilah belati yang mirip dengan milik para tentara. Salah satu yang terpenting adalah air minum. Kita katakan saja bahwa, di balik kesusahan pasti ada kemudahan. Entah kapan aku pernah mendengar kalimat ini, yang jelas aku masih ingat betul kalau pernah ada seseorang yang kutemui di kotaku mengatakan hal seperti demikian. Aku yakin kalau Idris lah yang menyiapkan semua ini, walaupun aku masih juga tidak habis pikir tentang, bagaimana dia dengan mudahnya berbaur bersama manusia bar-bar itu? Apa hadiah yang Idris berikan untuk mereka agar bisa bergabung? Atau jangan-jangan Idris sendiri yang merencanakan penyerangan di tempat itu? Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya bercengkrama dengan mereka yang kemanusiaannya telah hilang akibat rasa putus asa. Apakah masih terasa layaknya berteman dengan manusia normal? Atau mereka malah akan mencurigai kita dan menatap kita dengan perasaan lapar? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada manusia di masa selanjutnya. Sejarah selalu berulang kembali, dan saat inilah kami telah memulai peradaban liar tersebut.

Bermalam di pinggir jalan seperti ini sambil menatap langit yang polos tanpa bintang telah memberikanku ketenangan. Udara malam ini sangat segar, dan tidak biasanya seperti ini. Di tempat-tempat yang lain aku yakin tidak semuanya bisa merasakan keleluasaan seperti ini. Banyaknya penduduk yang membludak telah membuat kehidupan semakin sempit dan gerah. Kurangnya oksigen yang baik bagi paru-paru mereka telah menimbulkan gejala penyakit tertentu. Lalu aku berandai-andai, bagaimana kalau diriku melakukan petualangan seumur hidup seperti yang Idris lakukan? Berkelana ke seluruh penjuru dunia meskipun bentuk muka bumi sudah tidak lagi sama seperti dulu. Kalau ada kesempatan mungkin juga aku bisa berlayar mengarungi lautan yang luas dan semakin dalam. Mencari puncak gunung tertinggi dan mendakinya sampai merasa puas, lalu menuliskan semua perjalananku untuk dijadikan catatan pribadi. Mempelajari keadaan manusia dan segala kendala yang mereka hadapi di masa sekarang. Semua angan-anganku terasa menarik jika hal tersebut benar-benar bisa kuwujudkan. Akan tetapi, saat ini aku akan menuju hutan laut terlebih dahulu. Mendengar namanya membuatku berpikir jika itu merupakan hutan bakau yang sebagian batangnya terendam, ya, pastilah begitu. Mungkin juga tanaman tersebut terlihat sangat besar-besar seperti yang terdapat pada film fantasi. Jadi akan ada penduduk yang membuat bangunan tempat tinggal di sana. Aku harap keadaannya memang seindah yang diharapkan.

Pada hari-hari selanjutnya kembali lagi diriku mendapatkan kendala, bahan bakar yang menipis serta tak adanya cadangan minyak membuat aku khawatir. Itu tandanya aku akan berjalan kaki kembali dengan banyaknya barang bawaan yang akan kupanggul. Dan akhirnya kecemasanku beralih menjadi nyata, mobil Jeep ini tak bisa dikendarai lagi, terpaksa kutinggalkan begitu saja di tempat ini. Selimut kujadikan sebagai tempat untuk membungkus bahan makanan, untungnya makanan-makanan tersebut tidaklah berat untuk di bawa, karena semuanya merupakan makanan instan kering walaupun aku tahu jika ini makanan bekas dan telah kadaluarsa. Sebagian ada yang sudah berjamur, tetapi kadang aku pun tidak peduli lagi, entah bagaimana perutku sendiri telah sanggup menyesuaikan dengan makanan seperti ini. Satu pertanyaan yang selalu aku tidak tahu, bagaimana mungkin orang yang kewarasannya telah hilang, katakan saja orang gila, yang memakan makanan bekas atau mungkin telah basi dan dipungut dari tempat sampah, tubuh mereka jarang terlihat ada yang terserang penyakit. Maksudku, kenapa mereka jarang terlihat sakit meskipun kehidupan mereka sangat kotor? Atau jangan-jangan, barang kali akulah yang tidak berkesempatan melihat mereka terserang demam? Ya, lagi pula siapa yang akan memperhatikan kehidupan mereka selama dua puluh empat jam.

Lihat selengkapnya