Tita menyesap kopi hangat miliknya di ruang makan, sambil mengurut keningnya yang terasa sangat pusing, secara perlahan. Bukan karena sakit, tetapi terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini.
Perempuan berusia 42 tahun itu tak percaya bahwa hari itu akan tiba secepat ini, di saat semuanya terasa indah, tiba-tiba saja menjadi duka.
Ilham suaminya meninggal karena penyakit jantung, padahal selama lebih dari 23 tahun mereka kenal tidak ada sama sekali gejala yang terlihat di tubuhnya.
Tita yang awalnya hanya ibu rumah tangga harus berpikir untuk mencari pekerjaan, menghidupi dirinya dan anaknya yang saat ini masih kuliah. Terasa sulit untuknya yang sejak menikah memang tidak pernah bekerja lagi. Apalagi harta yang ditinggalkan Ilham tidak cukup banyak.
Tujuh hari sudah berlalu, tanah makam milik Ilham saat ini sudah kering. Namun, pilu yang Tita rasakan masih saja tergenang.
"Ma!" teriak Reno-anak tunggal Tita, sambil menggoyangkan pundaknya.
Tita terkejap, menatap Reno dengan wajah penasaran.
"Kenapa harus teriak sih, Dek? Mama kan belum tuli," ujar Tita.
"Reno manggilin Mama dari tadi, dari yang pelan sampai teriak ... Mama mikirin apa sih? Papa lagi?" Reno menelisik apa yang dilakukan Tita sejak tadi, sejak selesai sarapan.
"Enggak," jawab Tita bohong. Reno tahu hal itu.
"Udahlah, Ma. Papa udah tenang di sana, lagian kalau Mama gini terus kapan Mama bangkitnya," kata Reno.
"Iya, nanti Mama coba ... Adek mau ngapain ini? Berangkat kuliah?" tanya Tita yang kini memerhatikan anaknya dengan tas di punggung. Reno mengangguk. "Yaudah hati-hati berangkatnya."
Reno mencium punggung tangan Tita sambil mengucapkan salam, lalu pergi dari hadapan Tita dengan perlahan.
Namun, belum sampai satu menit Reno menjauh, dia kembali berteriak memanggil Tita berulang kali sampai Tita mendekat. Reno mengatakan jika ada tamu yang mencarinya.
Seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh tahunan yang mengaku bernama Dira meminta Tita untuk berbicara.