Tiba-tiba Bunda masuk kekamarku, aku langsung menghapus deraian air mata dipipiku dan aku tersenyum pada Bunda seakan tidak ada terjadi apa-apa. Namun usaha itu gagal, Bunda tau saja isi hatiku.
“Nadia, makan ayo.” Ajakan sang Bunda, seakan Bunda tidak mengerti gimana perasaan putrinya saat ini.
Aku hanya senyum saja dan menunduk wajahku menyembunyikan rasa kecewa pada Bunda, akan tetapi Bunda malah mengalihkan ajakannya menjadi curhat.
“Sayang, Bunda juga pernah kok diposisi kamu sekarang dimana waktu itu Bunda juga dijodohkan dengan Ayah kamu yang super cuek dan tidak peka terhadap perasaan Bunda.”
Mataku sangat fokus ke Bunda untuk melanjutkan kisah Bunda dimana aku juga persis merasakan di posisi Bunda waktu itu. Bunda melanjutkan . . .
“Bahkan Bunda pernah sempat menyalahkan kakek kamu karena beliau tidak mengerti gimana perasaan Bunda sama Ayah kamu, dulu Ayah kamu yang membuat Bunda menangis karena dia tidak peka terhadap perasaan Bunda tapi kakek kamu hanya melihat kami baik-baik saja…” Bunda mulai menangis bila mengingat itu.
Aku langsung memeluk Bunda
“Sudah Bun jangan sedih lagi Bun …”
Bunda begitu tegar beliau tidak mau membebani hati putrinya, beliau menangis karena beliau takut kalau putrinya itu bakal benci sama orangtuanya dan beliau tidak mau menaruh dosanya dulu kepada putrinya. Beliau selalu berdoa dan cukup dosa itu dibenak beliau jangan diteruskan pada putrinya. Aku memberikan kehangatan tubuhku pada bunda seperti bunda memberikan kehangatan beliau padaku waktu belia.
“Sudah Bun, jangan sedih. Nadia tidak apa apa kok”
Kemudian, aku sama bunda keluar dari kamarku pergi ke meja makan yang telah dihidangi makanan sejak pukul 19.00. kami menikmati makanan tersebut meskipun sudah dingin, setelah selesai.
“Nadia, kamu kalau sudah lulus kuliah Ayah mau jodohkan kalian berdua nanti” tutur dari Ayah.