Dua Puluh Empat Skenario

Sira Kamila
Chapter #2

Darah di Ujung Gang

Adnan Dirga.

Pukul 11.00 WIB

Matahari mulai meninggi, menimpa suasana kota yang sedang diselimuti kekhawatiran. Desas-desus tentang berita penemuan korban pembunuhan memenuhi setiap sudut, setiap ruangan, setiap pembicaraan. Lalu-lalang manusia dan bising kendaraan dibersamai oleh dugaan-dugaan. Kewaspadaan penduduk meningkat, penjagaan dari kepolisian ikut diperketat. Pasalnya, beberapa waktu terakhir, mayat-mayat satu persatu bermunculan di kota.

Dari sudut sebuah restoran cepat saji, aku menangkap beberapa percakapan,

“Tuh kan, bener, ada pembunuh berantai di kota ini!”

 “Makanya jangan keluar malem!”

“Jangan lewat gang sendirian deh mending.”

“Kan, kita bukan wartawan. Santai aja lah,”

“Yeh, emang yakin wartawan doang? Siapa tau kebetulan,”

“Itu tuh pasti menutupi isu lain,”

“Jangan-jangan ada organisasi gelap, jual organ gitu” dan percakapan yang dilengkapi dengan teori-teori dan bumbu konspirasi.

Setelah meliput berita tadi pagi, aku mengisi perutku yang tidak sempat bertemu sarapan. Begitu menerima laporan penemuan mayat, aku langsung bergegas menuju lokasi. Sebenarnya aku cukup menyesal tidak menyempatkan diri untuk makan. Siapa yang akan bernafsu untuk menikmati rice bowl setelah menyaksikan darah tercecer di setiap tempat?

   Aku menghela napas pelan, bersamaan dengan duduknya seorang perempuan di hadapanku. Ia membawa sepiring roti lapis lengkap dengan teh hangat dari nampan. Aku mengenalnya. Kinan. Seorang penulis yang sejak tadi menyaksikan pemeriksaan TKP. Ia tiba beberapa saat setelah aku tiba.

  “Jadi, Pak Wartawan, menurut kamu tadi itu pembunuhan?” tanyanya membuka percakapan.

  Meski namanya sudah lama tidak asing bagiku, aku baru resmi berkenalan tadi pagi. Saat dia ikut memperhatikan penyidik mondar-mandir lokasi.

  “Tentu itu pembunuhan, Mbak Kinan,”

    Kinan tertawa. Matanya hilang ketika ia tertawa.

   “Santai aja, nggak usah manggil Mbak.”

  Ketika di lokasi, kertas-kertas Kinan berjatuhan tertabrak Adit, kamerawan yang menemani aku meliput. Setelah berkenalan sambil membantu merapikan berkas miliknya, kami memutuskan untuk sarapan bersama.

  “Mau angkat kasus jadi tulisan lagi, ya?”

  Kinan memiringkan wajahnya sedikit, yang membuat rambutnya yang dikuncir kuda ikut miring, “Rencananya begitu.”

  Aku mengangguk-angguk. Mengingat beberapa karyanya sukses dipasaran, aku yakin akan sulit untuk berpindah genre. Terlebih lagi, penggemarnya sudah mulai berisik dan meminta ia untuk kembali menghasilkan karya.

   “Melihat dari lukanya sih, jelas itu pembunuhan, Nan,” jawabku melanjutkan.

   Kinan mengetuk-ketuk meja, “Luka kan nggak cukup buat mengatakan itu pembunuhan, Ga,”

   “Tapi senjatanya belum ditemuin,”

    Kinan mengangkat sebelah alisnya, “Belum kan, bukan enggak ditemuin,”

    “Mana bisa habis bunuh diri, dia ngumpetin senjatanya dulu? Terus dia ngesot gitu sampe ke jendela?” aku membalasnya, mengangkat sebelah alis. Mengingat beberapa petunjuk sudah ditemukan oleh polisi.

     Kinan tertawa lagi, “Kok bisa ya sampai kayak gitu,”

   Aku mengangkat bahu perlahan. Menatap Kinan yang memalingkan wajahnya ke jendela, memperhatikan orang-orang berlalu lalang. Ada kesayuan dalam matanya.

     Mataku bertemu matanya, “Nanti siang bakal ada penyelidikan lagi, kamu liput nggak?”

     Aku mengangguk, “Mau ikut?”

     “Enggak, aku mana bisa masuk.”

    Aku menatap garis-garis polisi yang melintasi sebuah rumah berwarna cokelat, hingga gang di sebelahnya, tepat di depan restoran ini.

---

Pukul 06.00 WIB

Telepon berdering berkali-kali di pagi hari adalah telepon yang paling aku benci. Pertama, karena aku masih mengantuk. Kedua, karena itu berarti ada kasus darurat yang harus segera diliput untuk breaking news. Ketiga, biasanya itu adalah berita kematian, dan itu berarti aku akan terlibat hingga penyelidikan selesai.

Sambil mengusap-usap wajah, aku mencerna suara dari seberang dengan seksama, dan segera bersiap sesaat setelah mendengar bahwa di lokasi telah tiba ambulans diikuti polisi yang akan segera tiba.

Di mulut gang, aku melihat sebuah mobil ambulans terpakir, dan suara sirinenya membuat beberapa penduduk memilih ke luar rumah dibanding kembali tidur, atau bersiap-siap untuk berangkat kerja. Seorang lelaki yang masih muda duduk di pinggir jalan dengan wajah pucat. Menurut Adit, ia adalah pelapor. Ia memanggil ambulans ketika melihat korban sudah terkapar dengan darah kering di tubuhnya. Pemuda itu mengira nyawa korban masih ada. Sayangnya, ketika tiba, petugas kesehatan sudah menemukan korban dalam keadaan tidak bernyawa.

Sebelum polisi tiba dilokasi, aku ikut menyisir gang kecil, melihat apakah ada senjata yang digunakan oleh pelaku. Aku menemukan darah kering di atas tutup tempat sampah berwarna hijau.

  Setelah mengelilingi gang kecil, aku tidak menemukan senjata tergeletak di atas tanah. Kemungkinananya ada dua, senjata dibawa pelaku, atau senjata disembunyikan oleh pelaku. Di atas tempat sampah, tidak terlihat ada bekas tangan, jika memang pelaku menyembunyikannya di tumpukan sampah.

   Hanya ada satu CCTV di lokasi, dan itu mengarah ke jalan raya. Aku yakin yang terekam hanyalah apakah ada seseorang bersama korban yang memasuki gang dan meninggalkan gang, sebab tidak ada kamera yang mengarah ke jalan di gang buntu ini.

     Gang ini hanya memisahkan sebuah rumah berwarna cokelat, dengan rumah berwarna putih, dan digunakan untuk meletakkan tempat sampah yang rutin diambil selama seminggu dua kali. Petugas kebersihan yang masih muda ini merasa sial karena kedapatan piket bersamaan dengan terbunuhnya seseorang.

    Aku mendekati korban yang masih terkapar. Ia menghadap bak sampah dengan posisi miring. Bak sampah dalam keadaan tertutup, dan di sekelilingnya terdapat sampah dalam plastik hitam yang dibuang sembarang. Aku yakin pembuangnya tidak ingin menyentuh tutup tempat sampah.

Aku berjongkok dan menatap luka menganga pada leher korban. Garis yang melintang ini menghasilkan banyak darah kering di aspal. Mati karena kehabisan darah, pikirku.

Kemeja hitam yang ia kenakan tidak sobek, tidak ada tanda-tanda pertengkaran. Hanya saja, kemejanya ikut bersimbah darah. Salah satu lengannya yang mengarah ke luar menampakkan luka sayatan tanpa arah, sedangkan yang satunya tidak terlihat karena menempel pada aspal. Tentu aku tidak memiliki wewenang untuk memeriksa mayat, apalagi sampai merubah posisi korban.

   Aku menatap kaki korban yang tidak mengenakan alas. Jika ia datang bersama dengan seseorang, seharusnya ia mengenakan alas. Walaupun tidak, kaki korban bersih seperti tidak menyentuh tanah.

    Berarti kemungkinannya adalah, korban sudah dibunuh dan mayatnya dipindahkan ke gang ini. Mungkin dilempar karena darahnya mengenai tutup tempat sampah dan plastik.

     Aku memperhatikan ujung celana korban, dan baju korban. Tidak ada bekas garis-garis tanah yang menunjukkan korban diseret di tanah. Sepanjang jalan di gang ini juga tidak ada bekas garis darah dari mulut gang menuju ujung gang.

    Mungkin korban digendong? Tapi kenapa? Kenapa pelaku repot-repot memindahkan korban ke gang ini?

    Aku bangkit dan menghampiri pemuda tadi, “Mas, udah baikan?”

   Ia menatapku dengan tatapan lesu, dan wajahnya pucat. Awalnya aku ingin mewawancarai, namun niatku urung setelah melihat kondisinya yang belum membaik. Ia pasti terkejut melihat mayat dengan luka seperti itu. Aku menatap penduduk yang mulai berbisik-bisik. Mereka duduk di teras rumah masing-masing, menatap ambulans, polisi, dan wartawan yang mulai berdatangan.

  Sirine polisi meramaikan suasana. Para lelaki berjaket kulit mulai memeriksa lokasi, dan memasangkan garis-garis polisi di mulut gang. Minimal, tidak ada tangan-tangan tidak bertanggung jawab yang merusak TKP. Aku menjabat salah satu detektif yang sudah lama aku kenal karena langganan meliput kasus pembunuhan.

   “Senjatanya nggak ada di sekeliling, nggak tau kalau di dalem plastik atau tempat sampah,” aku menunjuk tempat sampah dan plastik.

    Reza menatapku sinis sambil mengangkat alis, “Kebiasaan lu ah,”

    Aku memamerkan gigiku. Kebiasaan memeriksa tempat kejadian perkara sebelum polisi tiba memang sudah panggilan dari hati, demi memastikan apakah ada yang luput untuk ditemukan. Tapi tentu, ada prosedur yang aku taati. Aku bukan manusia gila konten dan memberikan berita demi rating tinggi saja.

   Korban mulai dipindahkan, dan dibawa ke rumah sakit untuk diidentifikasi lebih lanjut setelah polisi memeriksa, memotret, dan menggambar posisi korban dengan sebuah kapur putih.

   Sejauh ini dugaan sementara polisi masih sama dengan dugaanku, korban pasti dipindahkan.

  “Darahnya nggak cuman di tutup tempat sampah, Ga, di plastik sampah juga ada,” Reza menunjuk sebuah plastik di sisi tempat sampah, di depan wajah korban.

   Aku mengangguk-angguk, “dipindah ya berarti?”

Lihat selengkapnya