Pukul 19.00 WIB
Seorang lelaki beralis tebal mengerutkan keningnya, punggungnya tersandar pada kursi kayu. Ia termenung memperhatikan berkas-berkas yang berserakan di meja tamu miliknya. Dirga memperhatikan satu persatu fakta-fakta dari kasus pembunuhan seorang lelaki di rumahnya sendiri. Namaya Thomas. Ia ditemukan terkapar di gang sempit tepat di samping rumahnya.
Ini jelas pembunuhan yang direncanakan, pikirnya.
Dirga melihat foto korban yang sudah terkapar. Di sekeliling lehernya terdapat luka melintang dari telinga kanan hingga telinga kiri yang dibuat oleh sebilah pisau. Lukanya dalam. Sayatan yang cukup dalam pada ke dua tangan korban juga cukup janggal. Setelah korban diidentifikasi, sayatan pada ke dua tangan Thomas merupakan luka baru yang didapat sesaat sebelum korban meninggal. Bekas ikatan pada tangan dan kaki korban dari tali yang ternyata bukan miliknya mempertegas perencanaan pembunuhan ini.
Seperti korban sebelumnya.
Sudah tiga minggu berlalu setelah penemuan korban, kasus ini belum menemukan titik terangnya. Dirga memijit lembut tengkuknya. Pelaku bagai lenyap ditelan bumi. Tidak ada satupun petunjuk yang mengarahkan tim penyelidik kepadanya.
Pimpinan redaksi yang membuat janji dengannya terbukti mendapatkan pesan dari korban yang membatalkan janji sepihak. Secara kronologi kejadian, waktu pimpinan redaksi makan bersama temannya di sebuah rumah makan juga tidak memungkinkan ia membunuh. Alibinya sangat kuat.
Tetangga di sekitar rumah Thomas mengaku tidak keluar meski mendengar suara bedebum dari sisi gang. Individualis. Tidak ada saksi untuk kasus ini.
Dirga membaca kembali laporan kasus tersebut, memastikan tidak ada satupun yang luput dari perhatiannya.
Ia memandang sepasang cangkir yang memiliki bekas teh di mulut cangkir. Belakangan, dipastikan bahwa pelaku tidak benar-benar meminum cangkir miliknya. Takut meninggalkan jejak.
Sialan, umpat Dirga.
Meski belum ada pengumuman resmi dari tim kepolisian, Reza, seorang detektif yang sangat handal tapi masih belum naik pangkat, menjadi narasumber utama untuk Dirga.
Dirga menghembuskan napas berat, mengingat senjata yang digunakan pelaku belum ditemukan. Ia yakin pelaku membawa pulang pisau yang telah bersimbah darah itu.
Sebuah foto yang menunjukkan barang bukti, sebuah tali dengan bekas darah, menjadi perhatian semua orang.
Kenapa talinya ditinggal, kenapa pelaku repot-repot melempar korban?
---
Pukul 11.00 WIB
Seorang perempuan berambut panjang duduk di sudut sebuah restoran mengetuk-ketuk mejanya. Ia menatap lelaki yang terburu-buru berjalan ke arahnya. Lelaki yang tiga minggu terakhir berusaha menjalin komunikasi dengannya.
“Kinan, sorry, telat,” ia menarik bangku dengan gegabah dan duduk, mengelap keringatnya asal, merapikan rambutnya yang berantakan, kemudian menatap perempuan yang sudah menunggunya sejak setengah jam.
“Begadang lagi, Ga?” Kinan bertanya, menyodorkan daftar menu. Ia belum memesan meski sudah menuliskan menu yang ia inginkan.
Dirga mengangguk, “Padahal mesen duluan nggak apa loh, Nan,” ia membolak-balikkan buku menu dengan paduan warna hitam cokelat. Cocok dengan interior restoran yang mengangkat suasana alam.
Kinan menggeleng dan mengibas-kibaskan tangannya, “Santai lah, belum masuk makan siang.”
Dirga kembali merapikan rambutnya setelah pesanan diterima oleh pelayan restoran, “Gimana tulisanmu?”
“Buntu, Ga, persis kayak buntunya kasus,” Kinan tertawa.
Dirga terdiam sejenak menatap mata kecil milik Kinan yang hilang. Senyum tipis muncul pada wajah Dirga.
Kinan meletakkan tangannya di dagu, balik menatap Dirga, “Beritamu gimana?”
Dirga memiringkan wajahnya sedikit, “Yah, laporannya buntu juga. Nggak ada informasi baru yang bisa diberitakan. Tapi, aku yakin pembunuhnya sengaja.”
Kinan memperhatikan Dirga, menunggu lelaki di hadapannya bercerita.
"Awalnya aku kira pelaku meletakkan obat bius di cangkir korban. Tapi ternyata, si korban dikejutkan pakai alat kejut listrik, baru habis itu diikat dengan tali,” Dirga melanjutkan. Ia menyentuh dagunya perlahan-lahan.
Kinan mengangkat ke dua alisnya, “Terus baru disayat?
Dirga mengangguk mantap, ia memajukan badannya ke arah Kinan, “Dia nyayat tangannya dulu, Nan! Baru sayat lehernya, terus dilempar ke jendela. Coba? Bayangin?”
Kinan tertawa lagi melihat ekspresi Dirga, “Aku tahu, Dirga. Kan udah ada di berita-berita.”
Dirga memundurkan badannya, kembali menyentuh dagunya, “Aneh juga tapi, aku penasaran banget sama motif pelaku,”
“Senjatanya belum ditemuin ya, Ga?”
Dirga menggeleng, bersamaan dengan tibanya pesanan mereka berdua. Kinan merapikan posisi piring pada meja.
“Lenyap banget ya tuh pelaku,” Kinan meletakkan jus jeruk di samping piring Dirga, dan mengambil jus alpukat pesanannya dari sisi Dirga. Pelayan salah memposisikan minum milik keduanya.
Dirga menatap nasi ayam bakar miliknya. Sejenak, ia menampakkan ekspresi sedih. Mengingat sudah banyak korban yang timbul. Muncul satu persatu di setiap sudut kota. Terror macam apa ini, pikirnya.
“Jadi, bener ini berantai?”
Dirga meneguk jus jeruk miliknya, mengangkat bahunya perlahan, “Dari luka sayatan di tangan korban, persis kaya luka sayatan di 19 korban sebelumnya.”
"Yakin sayatannya itu emang polanya?” Kinan menuangkan sambal dan kecap pada piring miliknya.
“Aku semalem merhatiin semua foto korban, Nan. Sayatannya makin lama makin banyak.”
“dan semuanya wartawan?” sambung Kinan.
Dirga mengangguk.
Hening menyelimuti keduanya, ketika suapan pertama sama-sama masuk ke dalam mulut Dirga dan Kinan. Dirga menatap Kinan yang sedang memperhatikan langit-langit Restoran.
Siulan burung, sebagai ciri khas restoran yang membangun suasana alam, menemani pikiran masing-masing yang melayang entah kemana.
Dirga memindahkan kulit ayam miliknya ke piring Kinan, ketika melihat Kinan memisahkan kulit ayam bakarnya. Sambil mengunyah, Kinan memasang ekspresi bertanya.
“Biasanya kalau dipisahin tandanya bagian paling disuka.”
Kinan tertawa sambil menutup mulut, kemudian meneguk jus alpukatnya sedikit. Jaga-jaga agar tidak tersedak, “Sok tahu, ah!”
“Bener kan tapi?”
Kinan mengangguk sambil mengambil suapan selanjutnya. Dirga kembali menatap mata Kinan, membuat Kinan memalingkan wajahnya.
Cahaya matahari sedikit demi sedikit memasuki ruangan melalu celah-celah jendela dan langit-langit restoran. Kinan menatap lubang kecil pada langit restoran satu persatu. Tidak ideal untuk menahan hujan.
Hati Dirga menghangat. Setiap kali ia menatap rambut jatuh Kinan, mata kecil Kinan, tawa Kinan. Hatinya menghangat. Penulis di hadapannya memiliki pesona yang kuat. Ia menampakkan keteguhan. Dirga melihat keteguhan di setiap gerak gerik Kinan.
Dirga menghentikan kegiatan makannya sejenak, “Tapi aneh banget, kenapa korban batalin janji sama pimpinannya ya?”
Kinan kembali menyeruput jus alpukatnya, ia tidak terbiasa berbicara saat ada makanan dalam mulutnya, sesedikit apa pun itu, “Katanya, dari pesan yang dikirim, korban sakit?”
“Tapi, korban udah nyiapin makanan?” Dirga mengangkat kedua alisnya. Alis tebal miliknya menandakan apakah ia berpikir atau bertanya. Selalu.
“Bisa aja sakitnya setelah makanannya siap?”
Tangan Dirga yang dikelilingi oleh butiran nasi dan kecap bergerak-gerak di atas meja, menunjuk sisi kanan dan sisi kiri, menekankan pada setiap kata yang ia ucapkan, “Kalau mereka janjian jam 20.00, korban pasti udah nyiapin makanan dari awal kan, mungkin ya sekitar jam 18.00, lah. Terus, dia batalin jam 19.30, katanya sakit. Tapi, kenapa dia masih pakai kemeja dan celana bahan? Kenapa enggak pakai baju tidur karena dia akan istirahat?”
“Terus menurut kamu korbannya bohong?”
Dirga menatap mata hitam Kinan. Mata yang dalam, dan sayu. Dirga menggeleng perlahan, “Pesannya yang bohong.”