Pukul 09.00 WIB
Dirga mengeluh setelah sekian kali teleponnya tidak diangkat oleh Adit. Sudah sejak tadi malam rekan sekaligus sahabatnya tidak ada kabar. Meski memang tidak ada yang harus diliput, mereka tetap harus hadir di kantor. Hari ini, sudah beberapa kali pimpinan menegur Dirga atas ketidakhadiran Adit di kantor.
Seluruh staff Sidikota tidak ada yang mengetahui kabar Adit. “Loh, kan biasanya sama kamu, Ga,” hampir semuanya melontarkan itu setiap kali Dirga bertanya. Sebenarnya ia menjadi jengkel karena kalau ia tahu, ia tidak akan bertanya.
Jari jemari Dirga menari di atas keyboard komputer. Matanya awas bergerak dari kanan hingga kiri mengikuti pergerakan kata di layar.
Siang ini laporan mengenai kasus pembunuhan Thomas harus dipublikasikan setelah mendapatkan informasi bahwa kepolisian menyatakan dugaan adanya pembunuhan berantai, dan beberapa informasi yang mungkin bisa mengarah kepada pelaku. Meski menurut Dirga, informasi yang ditemukan belum cukup kuat bahkan untuk sekadar mengerucutkan daftar tersangka.
Pasalnya, tidak ada saksi di setiap kejadian. Pelaku selalu berhasil menemukan titik buta CCTV. Yang paling tidak dapat dimengerti adalah, selalu ada dugaan bahwa korban mengenal pelaku. Tapi, setelah diselidiki, dari korban pertama hingga korban ke dua puluh, Thomas, tidak ada satupun yang memiliki garis koneksi. Mereka tidak mengenal satu sama lain secara pribadi.
Persamaan yang nyata hanyalah mereka semua wartawan, atau bekerja di sebuah kantor berita.
Sebuah pesan masuk ke ponsel mengalihkan perhatian Dirga.
“Nanti makan siang?”
Pesan dari kontak Kinan membuat Dirga kembali menghembuskan napas berat. Ia berhenti menulis artikel, mengetik beberapa pesan untuk Kinan. Memberi pengertian ia tidak bisa bertemu karena harus mampir ke rumah Adit, sebab hari ini tidak datang dan tidak dapat dihubungi.
Dirga memijit dahinya perlahan. Sepertinya menunggu siang terlalu lama.
Ia mematikan komputernya. Tidak peduli beritanya harus diserahkan hari ini, ia bergegas meninggalkan kantor.
---
Pukul 10.00 WIB
Ketukan pintu sebuah rumah bercat abu putih sudah berbunyi berkali-kali. Lelaki tinggi dengan alis tebal sudah setengah jam mondar-mandir di teras rumah itu. Beberapa kali membunyikan bel, juga mengintip dalam rumah melalui jendela. Tapi ia masih tidak mendapatkan jawaban dari pemilik rumah.
Dirga yakin Adit masih ada di dalam rumah. Mobil kijang milik Adit masih terparkir rapi. Dirga melirik rak sepatu, dan mengecek tidak ada satupun sepatu yang menghilang dari sana. Adit pasti masih di rumah. Dirga mencoba menelepon dan masih tidak ada jawaban dari Adit. Ia malah menangkap sayup-sayup dering teleponnya berbunyi dari dalam rumah.
Dirga menggerak-gerakan kakinya, menunggu dengan tidak sabar. Di kursi kayu di sudut teras, ia kembali menghubungi Adit. Kembali tidak mendapatkan jawaban.
Sudah cukup menunggu setengah jam, Dirga merasa harus melanggar batas. Selain karena tidak sopan, Dirga paham Adit tidak pernah suka jika ada yang memasuki ruang pribadinya tanpa izin, sedekat apapun itu.
“Sorry Dit,” Dirga berharap Adit tidak marah karena ia masuk tanpa izin. Darurat, pikirnya. Jika nanti Adit marah, ia akan menempeleng kepala Adit dan memarahinya balik karena tidak memberikan kabar sedikitpun.
Dirga mencari kunci yang biasa Adit letakkan di bawah keset. Ia membuka pintu, dan terkejut ketika menemukan pintu rumahnya tidak terkunci. Dirga mengerutkan dahi, membuka pintu perlahan-lahan.
Dirga menemukan lampu rumah Adit padam. Satu-satunya lampu yang menyala hanyalah dapur. Dirga mencoba memanggil Adit, dan masih tidak mendapatkan jawaban.
“Dit? Woi!”
Dirga memasuki rumah perlahan. Menyalakan lampu rumah sambil menelepon Adit, matanya awas melihat ke setiap sisi rumah. Bantal terletak rapi di atas kursi. Buku-buku tersusun rapi. Vas bunga, figura, semua tersimpan rapi. Tidak ada yang janggal.
Ia menangkap sayup-sayup dering ponsel Adit.
Dirga berhenti ketika menemukan ponsel Adit tergeletak di dapur rumah. Posisi terakhirnya pasti di sini, pikir Dirga. Adit tidak akan menggeletakkan ponselnya di dapur jika ia tidak sedang berada di dapur.
Dirga menaiki tangga menuju lantai dua. Tidak ada Adit. Di kamarnya, di tempat menjemur pakaian, di kamar mandi, di ruang kerjanya, tidak ada Adit.
Dirga menjadi semakin panik, dan berkeliling rumah sekali lagi. Memastikan bahwa Adit tidak terpeleset, tidak jatuh, tidak pingsan.
Tapi ia justru tidak menemukan apa-apa.
Ia berhenti sejenak, menyadari bahwa pintu rumah Adit tidak terkunci. Ia kembali ke ruang tamu dan memperhatikan kunci tanpa gantungan yang tergantung di pintu.
Adit tidak pernah tidak mengunci pintunya jika ia berada di dalam rumah, apalagi ketika keluar rumah.
Ia pasti tidak meninggalkan rumah.
Dirga melangkah ke luar rumah. Ia memperhatikan mobil yang terparkir di halaman rumah. Ia bergegas mengintip kaca mobil. Tidak ada yang berbeda.
Dirga kembali masuk ke dalam dengan gegabah dan mengambil kunci mobil pada tempat menggantung kunci di sisi kanan pintu.
Dia membuka bagasi, dan tidak menemukan apa pun.
Dirga membanting pintu bagasi Adit. Ia mencengkeram rambutnya. Pikiran buruknya melayang ke mana-mana. Ia berbalik, memperhatikan jalan raya di depan rumah Adit. Matanya menjelajah rumah-rumah tetangga Adit. Minimal di sini tidak ada gang.
Dirga menghembuskan napas perlahan dan berbalik.
Matanya terhenti pada pintu gudang di depan mobil yang tidak tertutup rapat. Dirga mengerutkan kening. Cahaya lampu terlihat menyala dari sela-sela kayu yang membangun gudang. Dirga bernapas lega.
Ya elah nih orang, kalo lagi rapiin gudang nyaut kek, pikirnya.
Dirga berjalan dengan gegabah menuju pintu gudang. Ia sudah bersiap-siap memukul kepala Adit.
Dirga membuka gudang dengan kencang. Derit pintu kayu bertemu lantai berbunyi. Debum pintu kayu bertemu dinding kayu tertangkap telinga Dirga.
Ia terpaku melihat pemandangan yang menyapanya.
Di bawah sorot lampu gudang, Adit tergantung dengan tali di lehernya. Ia terkulai. Di lengannya terdapat luka sayatan dengan darah yang sudah mengering.
Dirga terjatuh lemas. Menatap kursi yang tergeletak miring dengan bercak darah mengering di bawahnya.
Lu nggak bunuh diri kan. Dit?
---
Pukul 10.20 WIB
Ambulans dan mobil polisi memenuhi jalan raya di depan rumah Adit. Matahari ikut memanaskan suasana. Tim kepolisian sudah menelusuri setiap sudut rumah demi mencari barang bukti. Sejauh ini, dugaan terkuat adalah korban bunuh diri, melihat kursi tergeletak miring dan tali yang melilit lehernya tergantung di langit gudang.
Di sudut ruang tamu, Dirga terduduk lemas di atas sebuah kursi kayu. Di sampingnya, perempuan berambut panjang menepuk-nepuk pundak Dirga perlahan. Kontak ketiga setelah Dirga menghubungi ambulans dan polisi adalah Kinan. Ia merasa butuh Kinan.
Dirga mengela napas pelan, mencoba untuk mengatur emosi yang sudah terkumpul di dalam dirinya. Meski Dirga masih belum cukup kuat untuk mencari bukti, ia yakin Adit tidak bunuh diri.