Dua Puluh Empat Skenario

Sira Kamila
Chapter #5

Sebuah Pesan untuk Dirga 2

Pukul 19.30 WIB

   Mobil Dirga terparkir di sebuah halaman rumah bercat putih di seluruh sisinya. Sebuah rumah kecil dengan hiasan cahaya lampu kuning ini dijadikan sebagai kantor oleh Kinan dan Editornya.

    Beberapa pesan dari Kinan tadi sore berisi: tolong.

Dirga membanting pintu mobilnya dan berlari masuk ke rumah itu. Ia melirik kaca yang sudah pecah di sisi kanan rumah, namun tidak ia temukan pecahan kaca berserakan. Sudah dibersihkan.

   Di sebuah sofa berwarna putih, Kinan yang sedang memainkan ponselnya terkejut mendengar suara pintu kantornya didorong dengan kencang.

   “Kamu nggak apa?”

   Kinan tersenyum lembut, “Nggak apa, cuma kertas kok.”

  “Maaf, aku bener-bener baru, buka ponsel... aku nggak... maaf...” Napasnya tak beraturan. Dirga mengelap keringatnya yang menetes karena sepanjang perjalanan ia benar-benar panik.

  Kinan menarik Dirga, menyuruhnya untuk duduk. Sambil mengatur napasnya, Dirga menatap punggung Kinan yang berjalan ke sebuah dapur kecil di ujung rumah. Mata Dirga kemudian perpindah pada setiap sudut kantor yang didominasi warna putih ini. Hanya ada beberapa tambahan dekor cokelat untuk mempermanis ruangan. Kemudian perhatiannya berhenti pada jendela yang sudah berlubang. Ia kembali mengatur napasnya perlahan-lahan.

    Sebuah teh hangat disuguhkan Kinan, “Minum dulu, Ga.”

    Dirga menunjuk kaca yang pecah dengan matanya, “Mana kertasnya?”

   Kinan menunjuk sebuah kertas yang sudah lusuh. Di sudut meja kaca, sebuah kertas dengan tulisan komputer bersisian dengan sebuah batu hitam. Di atasnya tertulis satu kalimat dengan tinta berwarna merah: Pacarmu nyariin aku? Suruh dia tunggu ya!

   Raut muka Dirga mengeras. Ia meremas kertas itu hingga hancur dan membantingnya asal. Menurut pesan yang dikirimkan Kinan, seseorang melemparkan batu ke jendela kantor ketika Kinan sedang menyeduh kopi. Beruntung posisi Kinan sedang jauh dari jendela. Jika tidak, mungkin batu atau pecahan kaca akan mengenai tubuhnya.

   “Bu Hanna di mana?” Dirga teringat editor kekasihnya itu. Sebab Kinan tidak pernah menulis di luar rumahnya. Jika Kinan ke sini, biasanya memang ia akan bertemu dengan editornya untuk membahas naskah.

  “Hari ini emang nggak ada jadwal ke sini. Aku tadi ke sini kebetulan mau cari inspirasi aja.”

 Dirga menatap mata teguh milik Kinan yang mungkin, menyembunyikan rasa takutnya. Pesan yang dikirimkan Kinan tidak sesuai dengan raut wajah Kinan yang saat ini benar-benar biasa saja. Dirga menatap kekasihnya yang tidak pernah mau terlihat lemah ini.

 “Kamu... bisa bahaya juga.”

 “Aku nggak apa apa kok, buktinya,” Kinan menunjukkan seluruh tubuhnya yang baik-baik saja. Dirga menatapnya tajam, menatap matanya yang menghilang kala senyumnya timbul di wajah kecil milik Kinan.

 Kinan mengangguk mantap, “Beneran, tadi cuma sedikit panik aja. Kaget. Tapi sekarang nggak apa-apa.”

Dirga menghela napas, mengingat kekasihnya tidak pernah mau diantar atau dijemput pulang, ia semakin khawatir, “Jangan pulang sendiri, aku antar ya?”

 Kinan menggeleng, “Kamu butuh istirahat. Harusnya malah kamu nggak usah ke sini. Kan aku udah bilang udah selesai.”

  “Aku tetep khawatir. Apalagi ini untuk aku kan. Sial! Harusnya dia nggak ganggu kamu. Kenapa jadi kamu.”

 Dirga mencengkeram rambutnya lagi. Entah sudah yang ke berapa kali ia menjambak rambutnya. Wajah Kinan tiba-tiba muncul dari bawah, tersenyum lembut. Tangannya menyentuh tangan Dirga, “Aku bisa jaga diri, Dirga.”

  “Adit mati, Kinan! Kamu pikir kamu bisa jaga diri?!”

  Kinan tersentak dan menjauh. Ia menatap Dirga yang sudah sangat putus asa. Ia marah tentu saja. Seolah pelaku sengaja melancarkan terror untuknya. Hening menyelimuti mereka sejenak.

  Semilir angin masuk melalui celah jendela yang belum dibenahi oleh Kinan, menyentuh rambut Dirga perlahan. Dirga mengatur napasnya yang tak karuan, bersamaan dengan rambut Kinan yang tersibak angin malam.

“Maaf, aku emosi.”

    Kinan mengangguk perlahan, ia kembali ke dapur. Ia yakin kekasihnya belum makan.

Sembari mengambil nugget di kulkas, ia teringat perihal laporan pemeriksaan tubuh Adit.

“Jadi Adit gimana? Bunuh diri?”

   Dirga menyandarkan tubuhnya ke sisi sofa, menyelonjorkan kakinya. Ia menutup matanya dengan siku. Semua membuatnya lelah. Pembunuhan ini membuatnya lelah.

   “Kursinya nggak ada bercak darah. Harusnya di sisi kursi yang jatoh ada darahnya. Harusnya di kaki kursi juga ada darahnya. Tapi darahnya cuman ada di lantai.” napas Dirga kembali terdengar berat.

    Ia bangkit, menatap Kinan yang sedang sibuk dengan penggorengan dan nugget-nya di sana. Tangan Dirga bergerak-gerak, alisnya naik dan turun, “Nih ya, kalau bunuh diri, dari Adit naik ke kursi aja, darahnya pasti udah netes. Harusnya ada setitik dua titik di tempat duduknya. Terus, kalau pun kursinya udah jatuh, di kaki kursi atau sisi kursi nggak ada darah sama sekali.”

    “Jadi?”

    “Ya, kursinya diletakkan pas darahnya udah mengering.”

  Sepiring nasi hangat dengan nugget terhidang di hadapan Dirga. Alih-alih makan, Dirga memain-mainkan sendoknya. Sungguh, tidak ada sedikitpun rasa ingin makan dalam dirinya. Satu-satunya hal yang membuat ia menyentuh sendok itu hanyalah karena Kinan.

“Dia pasti psikopat. Masa baru naro kursinya pas bercak darahnya kering? Dia ngapain? Ngeliatin Adit mati?”

Kinan mengangkat bahunya, “Hasil pemeriksaannya gimana?”

Dirga teringat saat pertama kali ia menemukan mayat Adit. Kakinya terlihat sedikit lebih lebam dibanding kaki yang lain. Hasil pemeriksaan juga mengatakan demikian, “Kakinya keriput dan sedikit lebam, nggak kayak bagian tubuhnya yang lain. Katanya kemungkinan besar dia terlalu lama nginjak sesuatu yang basah atau dingin.”

Dirga meletakkan sendok perlahan. Ia memijit tengkuknya yang mulai terasa lebih berat. Malam mulai datang, dan segala hal yang berkaitan dengan kasus ini terasa lebih gelap. Ditambah lagi, kekasihnya sekarang dalam bahaya.

  “Lehernya ada cakaran dari kuku dia sendiri. Kemungkinan luka lecet karena dia ngelawan biar nggak mati,” lanjut Dirga.

  “Jadi bukan bunuh diri kaya keliatannya ya?”

 Dirga mengangguk, “Kalau emang dia bunuh diri, bukannya harusnya nggak ada lecet di lehernya ya? Biasanya kan, itu bentuk perlawanan.”

 Kinan menatap Dirga yang masih tidak ingin makan. Ia malah mengetuk-ketukkan jemarinya dia atas meja. Berpikir.

Lihat selengkapnya