Dua Puluh Empat Skenario

Sira Kamila
Chapter #6

Pagar yang Berdarah

Pukul 19.00 WIB

Tuk tuk tuk tuk tuk tuk

   Malam itu hening. Tidak ada suara selain ketukan dari jendela dapur rumah Dirga. Lelaki itu sudah mematung di ujung tangga yang menghubungkan lantai dua dengan dapur. Sebilah pisau erat dalam genggamannya. Ia menajamkan pendengarannya.

Dirga berjalan perlahan, ke arah sebuah jendela yang berdiri tepat di atas jendela dapur, di sisi belakang tangga. Ia memutuskan untuk melihat dari lantai dua. Setidaknya, ia berusaha mengurangi risiko bahaya yang akan menimpa dirinya.

Tuk tuk tuk tuk

Tangannya perlahan menyentuh gorden cokelat gelap dengan aksen garis abstrak. Gelapnya malam dan remang cahaya dari rumah tetangganya terlihat jelas dari balik kaca. Ia perlahan melirik ke bawah, ke halaman rumahnya yang bersisian dengan dapur.

Tuk tuk tuk

Mata Dirga menangkap seseorang berdiri di depan jendela dapurnya. Tangannya bergerak mengetuk-ketuk kaca yang tertutup rapat. Ketukannya terasa lambat dan perlahan-lahan.

Jantung Dirga berdetak lebih cepat daripada biasanya. Suara detak jantungnya berpacu dengan suara ketukan di jendela. Aku mempererat genggaman pada gagang pisau.

Seseorang dengan jas hujan itu bergerak mundur perlahan-lahan. Menggerakkan rumput-rumput di sekitar halaman rumahnya. Dari posisinya, Dirga dapat menangkap topi yang tersembunyi di balik kupluk jas hujan.

Kepalanya bergerak perlahan, mengadah ke jendela atas.

Mata tajamnya bertemu dengan mata Dirga. Dirga tersentak dan mundur selangkah. Tangannya masih menempel di jendela, namun ia menyadari kehadiran Dirga di atas sana.

Angin malam berhembus perlahan-lahan. Menggerak-gerakkan jas hujan yang tetap ia kenakan meski tidak sedang hujan. Seseorang itu kembali bergerak, mundur perlahan-lahan menjauhi jendela dapur Dirga.

Mata Dirga terbelalak, napasnya tertahan. Ia menatap setiap gerakan pada seseorang di balik jas hujan itu. Tangan seseorang dengan jas hujan itu melambai perlahan.

Sial. Dirga tidak dapat melihat wajahnya. Ia mengenakan masker berwarna hitam. Hanya tersisa mata yang terlihat teguh dan kejam.

Tangannya melambai pada Dirga. Sekali lagi. Ia tertawa.

Sialan!

Dirga berlari menuruni tangga. Ia sudah siap menangkap siapapun yang ada di balik jendela. Suara kaki bertemu dengan anak tangga menggema di langit-langit rumah.

Ia berhenti ketika menyadari yang ia temukan hanyalah halaman rumahnya. Di balik jendela, sosok dengan jas hujan itu telah tiada.

Pasti masih dekat.

Matanya berpindah pada kunci rumah yang ia letakkan di meja makan. Dirga membuka pintu rumahnya dengan gegabah. Berlari ke halaman di sisi rumahnya. Rerumputan bergerak-gerak mengikuti arah angin. Malam masih sepi. Penghuni di samping rumahnya mungkin sudah tertidur pulas ketika jantungnya sedang berpacu dengan pisau dalam genggaman.

Ia berbalik, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Ke mana manusia bangsat di balik jas hujan itu?

Jalanan lengang. Tidak ada suara langkah.

Dirga membanting pisaunya asal.

Mata tajam dengan jas hujan itu sudah lenyap.

---

Pukul 12.30 WIB

Manusia berjalan di atas trotoar dengan peluh dan keluh. Bising kendaraan terdengar dari segala sisi kota. Asap dari tenda-tenda pedagang bercampur asap knalpot menyempurnakan siang yang terik ini. Beberapa lampu jalan lupa di matikan, beberapa memang tidak bisa menyala. Udara yang panas membuat penduduk kota lebih mudah emosi.

Emosi pada diri Dirga semakin siang semakin meningkat. Sejak tadi malam, ia tidak dapat tidur dengan tenang. Peluhnya menetes dan ia merasa diintai oleh seseorang. Mimpi buruk mulai menyapa tidurnya. Sialan.

Di mulut gang, mobil Dirga terparkir rapi. Ia mengatur napas. Berusaha mengendalikan diri. Terbayang olehnya lambaian tangan dari seseorang yang masih belum diketauhi siapa. Matanya tajam dan penuh kebencian, tertutup bayangan dari topi yang sedang ia kenakan. Dirga menerka-nerka tapi ia tidak menemukan setitik pun detil dari wajah dibalik masker hitam itu.

Sayup-sayup tawa dari manusia itu menggema di pendengarannya, meski ia tidak bisa mencirikan apakah suaranya berat atau ringan. Tawanya terlalu tipis untuk dikenali.

Dirga memukul stir mobilnya.

Bangsat!

Matanya berpindah pada ponselnya yang berbunyi, Kinan.

Dirga menghela napasnya perlahan.

---

Pukul 18.50 WIB

           Langkah berat dari seseorang berkaki panjang bertemu dengan keramik-keramik di sebuah apartemen tengah kota. Apartemen yang cukup mewah ini bersisian dengan perempatan lampu merah. Kawasan yang selalu terlihat terang meski malam sudah mulai datang.

           Seseorang dengan setelan berwarna hitam itu melangkah perlahan. Mulutnya bergerak-gerak membaca setiap nomor pada pintu kamar. Tangan kirinya menggenggam sebuah kotak berwarna cokelat. Di tubuhnya terpasang sebuah rompi bertuliskan KilatCepat. Di lorong-lorong apartemen, dia merapatkan topinya. Mengencangkan maskernya. Membenahi kacamata bacanya yang mulai turun setiap menunduk kala berpapasan dengan orang-orang.

           Seratus satu, seratus dua, seratus tiga,

           Suara langkah menggema pada dinding-dinding apartemen berwarna putih itu. Matanya awas meski sedikit tertutupi topi hitam yang ia kenakan.

Dua ratus dua puluh, Dua ratus tiga puluh.

           Dia berhenti tepat pada pintu berangka dua ratus tiga puluh tiga.

           Di balik maskernya, muncul seringai yang mengerikan.

---

Pukul 21.00 WIB

           Sebuah taman di pinggir jalan raya yang memisahkan restoran khas Indonesia dengan apartemen Holly.Co malam ini ramai dengan pejalan kaki dan pedagang kaki lima. Bangku taman berjejer di bawah lampu jalan, tepat di sebelah restoran Kenanga, menjadi tempat yang cukup romantis bagi pasangan yang ingin berbincang santai, atau duduk setelah lelah menghabiskan waktu bersama. Di bawah lampu yang menghiasi malam, terang cahaya dari Holly.Co dan remang cahaya kuning dari Kenanga mempermanis suasana.

           Di salah satu bangku taman, Kinan menggerak-gerakkan kakinya, menunggu Dirga yang masih dalam perjalanan. Sesekali ia menatap apartemen Holly.Co yang ada di hadapannya. Ia menatap pintu apartemen yang sesekali terbuka, sesekali tertutup karena lalu lalang penghuninya. Sebuah pagar berwarna putih mengelilingi sekitar apartemen dengan interior minimalis modern itu, membatasi antara kawasan apartemen dengan trotoar jalan.           Kinan sesekali mengecek ponselnya, menatap deretan angka yang menunjukkan waktu di layar. Matanya kembali pada apartemen di hadapannya, sesekali memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya.

           Sebuah es krim muncul di depan wajahnya, mengalihkan perhatiannya dari seorang perempuan muda berambut pendek yang sedang memasuki apartemen.

           “Sorry,”

           Dirga memamerkan giginya, mengingat ia adalah yang paling sering terlambat setiap kali memenuhi janji dengan Kinan. Kinan tersenyum dan mengambil es krim itu, menggeser tubuhnya agar Dirga bisa duduk di sampingnya.

---

Pukul 19.05 WIB

         Suara ketukan mulai terdengar perlahan dari pintu berangka 233. Seseorang dengan paket dalam genggamannya menatap pintu itu. Di balik topinya, matanya bergerak-gerak, menunggu ada mata yang mengintip dari balik lubang intip pada pintu. Kepala seseorang berkacamata itu mengangguk-angguk, bahunya bergerak-gerak, seolah ia sedang menanti sesuatu.

           Suara kunci terbuka perlahan terdengar. Kenop pintu mulai bergerak.

           Mata seseorang itu menatap jauh lebih tajam, memperhatikan kenop pintu yang bergerak. Mulutnya ikut bergerak, memperhitungkan apa yang akan ia lakukan agar tepat sesuai rencana.

           Derit pintu berbunyi perlahan, cahaya kuning dari dalam kamar terlihat dari sela-sela.

Lihat selengkapnya