Pukul 22.00 WIB
Langkah Dirga berhenti tepat di depan pintu bertulis angka 233. Setelah panik bertanya berapa nomor pintu kamar Naura, ia segera berlari ke tangga darurat. Menurut pikirannya, pelaku tidak akan kabur melalui lift. Hingga ia tiba di lantai tiga belas, ia tidak menemukan siapa-siapa.
Ia memicingkan matanya ketika melihat kertas berwarna hitam direkatkan pada lubang intip pintu kamar. Dengan peluh yang masih menetes, dan napas yang tidak teratur, debum pintu bertemu dinding terdengar ketika ia mendorong pintu dengan sikunya. Pintu kamar Naura tidak terkunci. Matanya berpindah dari rak beserta sepatunya yang tercecer di lantai ke meja kerja yang berantakan. Berkas-berkas bergerak-gerak tertiup angin dari pintu balkon yang terbuka. Pecahan lampu kerja berserakan di lantai kamar.
Bersama dengan hembusan angin yang menyapa rambut Dirga dari jendela, sirine ambulans yang membawa jenazah Naura sayup-sayup terdengar menjauhi kawasan Holly.Co. Perempatan di tengah kota yang biasa diiisi oleh hiruk pikuk manusia seketika ramai oleh mobil polisi dan wartawan setelah tregedi jatuhnya perempuan dari balkon kamarnya sendiri. Para pejalan kaki, dan juga pedagang memutuskan untuk kembali lebih awal.
Kaki Dirga menendang udara. Sialan! Matanya berhenti melihat sebuah kertas di samping tempat sampah. Ingatannya melayang pada ancaman untuknya melalui Kinan.
Dirga menahan dirinya untuk tidak masuk ke dalam kamar. Matanya menelusuri setiap sudut yang bisa dijangkau, tidak ada CCTV. Ia mundur selangkah, perhatiannya beralih pada lorong apartemen. Beberapa kamera CCTV ia temukan mengarah ke pintu kamar ini. Bagus, pelakunya mudah terdeteksi.
Beberapa polisi muncul di hadapan Dirga, di antara mereka Reza berjalan. Dirga hanya mengangkat alisnya ketika sapaan meluncur dari mulut Reza. Joan, Nug, dan beberapa rekan detektif yang lain ikut menyapa Dirga sekilas, dan langsung memasuki TKP.
Tangan Dirga menahan lengan Reza, tatapannya tajam, “Lagi ngapain, Za?”
Alis Reza bertaut, tidak percaya dengan pertanyaan yang ia dengar, “Ya meriksa TKP, lu yang ngapain di sini? Harusnya nggak boleh ke TKP dulu kan? Motret di bawah dulu sana, udah banyak wartawan yang meliput.”
Reza melepas genggaman Dirga, mendorongnya perlahan. Melihat keringat yang menetes dari dahi temannya ini, Reza yakin Dirga langsung berlari untuk mencari pelaku yang kabur setelah mendorong korban, lalu memeriksa TKP dengan inisiatifnya yang terlalu tinggi.
Tatapan Dirga tidak berpindah dari bola mata Reza, “Gua nggak masuk, kok. Lagian maksud gua bukan sekarang. Tadi pas Naura jatuh, gua lihat lu keluar dari apartemen, lu ngapain di Holly?”
“Lihat-lihat aja, mau nyewa gua,”
“Rumah lu kenapa?”
“Kok jadi lu yang interogasi gua?” Reza menyadari semenjak insiden Adit, Dirga tidak lagi menyapanya dengan hangat. Tidak ada obrolan di antara mereka selain petunjuk kasus yang masih belum menemui ujung jalan ini.
“Rumah lu kenapa?” Dirga mengulangi pertanyaannya.
Reza menggeleng, ia sudah cukup jengkel menghadapi tuduhan tidak berbukti dari Dirga, meski hanya melalui tatapannya, Reza melirik TKP, “Ga, gua harus kerja.”
Dirga menatapnya tajam. Ia tahu Reza mengenal Naura, wartawan yang juga sering turun untuk meliput. Dirga menarik pundaknya perlahan ketika tangan Reza berusaha meraihnya.
“Jangan percaya sama siapa-siapa, tapi jangan terlalu curiga juga. Nanti lu salah arah.”
Mata Dirga beralih pada TKP, ia menunjuk lubang intip yang ditutupi dan kertas yang terselip di antara tempat sampah dengan sandal berwarna merah muda, “Naura nggak didorong siapa-siapa, tuh buktinya.”
Reza mengangguk pelan, “Santai,” tangannya kemudian mengarahkan Dirga pada pintu lift, mempersilakan Dirga untuk meninggalkan TKP. Dirga melewati tubuh tinggi Reza. Lelaki beralis tebal itu melangkah dengan penuh gelisah.
Tiba di lobi apartemen, Dirga termenung sesaat. Ingatannya kembali pada lelaki berkacamata. Wajah tegas yang sangat ia kenali. Ia merasa harus bertemu dengan Pak Ginanjar, pimpinan redaksinya yang ada ketika Naura terjatuh. Dirga harus tahu alasan Pak Ginanjar ada di depan apartemen Holly, meski sebenarnya ia tidak yakin mengingat jawaban Reza saja tidak memuaskan rasa penasarannya.
Matanya menelusuri jalanan dari kanan hingga kiri, tapi yang ia dapati malah Kinan dengan ponsel di tangannya. Dirga menepuk dahinya pelan.
Dari lobi utama, Dirga berjalan ke arah kiri dan menyeberangi jalan. Berlari-lari kecil menghampiri Kinan yang sempat ia lupakan.
Tawa kecil Kinan menenangkan Dirga, “Aku nggak apa-apa. Jadi, kamu ketemu sama yang dorong?”
Dirga kembali mengadahkan kepala, menatap balkon yang rusak, di sana berdiri siluet seorang lelaki yang ia kenali, bisa jadi Reza, bisa jadi Joan. Dirga menggeleng, “Nggak ada yang dorong, dia jatuh sendiri.”
Mata Kinan mengikuti arah mata Dirga, ia menatap seorang lelaki yang sedang menyentuh dinding tembok. Sebelumnya, tembok itu tertempel dengan kuat besi yang memagari balkon. Lelaki itu mengambil sesuatu dari sana. Sebuah bukti. “Kok bisa?”
Dirga menggeleng kembali, “Aku kan nggak masuk TKP, nanti aja tunggu informasi.”
Kinan mengangguk perlahan. Matanya berpindah pada pagar berdarah di hadapannya. Dirga mengerutkan kening, ia memikirkan segala kemungkinan. Termasuk Pak Ginanjar. “Kamu lihat Pak Ginanjar?”
Bukan jawaban yang ia dapatkan dari Kinan. Ia menemukan ekspresi penuh tanya dari wajah kekasihnya itu. Dirga menggelengkan kepala, ia baru ingat Kinan hanya mengenal namanya. Mereka belum pernah bertemu.
Gerakan bibir Dirga terhenti ketika namanya dipanggil oleh seseorang dari seberang jalan. Seketika ia mengeluh saat melihat wajah Hendra di sana. Hendra mengangkat kameranya, tangan satunya mengarah pada pagar berwarna putih yang sudah berdarah.
“Ayo!”
Kabar tentu sudah sampai di kantor Sidikota. Dapat Dirga pastikan, Hendra sudah mengambil gambar terlebih dahulu selama Dirga berlari-lari ke lantai tiga belas.
Dirga melirik Kinan, perempuan itu mengangguk, “Aku pulang aja ya.”
Dirga menepuk tangan Kinan perlahan, “Maaf?”
“It’s okay, semangat kerjanya!” Kinan tertawa lagi, matanya menghilang saat tangannya ia kepalkan ke atas.
Dirga berbalik, dan kembali menyeberangi jalan.
---
Pukul 08.00 WIB
Berita kematian seorang wartawan yang terjatuh dari balkon kamarnya sendiri menjadi headline di setiap acara berita. Sidikota menjadi kantor paling berduka di bulan ini. Dua pekerjanya tewas dalam keadaan yang mengenaskan. Fakta ini membuat banyak pekerja menjadi lebih cemas daripada biasanya. Beberapa di antara mereka mengaku merasa dikuntit oleh seseorang, merasa diintai, dan mudah curiga dengan siapapun. Imbauan untuk tidak sendiri, dan bisik-bisik dugaan memenuhi gedung.
Pagi ini Dirga tidak langsung bekerja. Acara berdoa bersama di aula kantor digelar demi melepas dan ikut berduka atas kepergian rekan kerja mereka. Dirga melepas napasnya perlahan-lahan, ia menatap Pak Ginanjar yang sesekali juga menatapnya.
Usai acara berdoa, Dirga langsung menghampiri pimpinan redaksinya tanpa menunggu apapun. Lelaki tua dengan garis wajah yang tegas itu menyapanya hangat.
“Semalam Bapak ada di Holly?”
Pria Jawa itu mengangguk, matanya bergerak ke atas seperti mengingat-ingat sesuatu, “Ohh, iyaa, kamu di Holly? Kamu melihat Naura jatuh berarti?”
Dirga mengangguk, matanya berubah sendu ketika pikirannya kembali pada peristiwa mengerikan itu, “Pak Gin lagi apa di sana?”
“Berkunjung, salah satu temanku baru datang dari Jawa.”
“Boleh tahu siapa?”
Pak Gin menatap Dirga heran, tangannya kemudian mengibas-ngibas udara, “Nggak sempat ketemu, keburu kaget lihat Naura jatuh.”
Dirga menatap setiap gerak-gerik dari Pak Gin, sapaan akrab para pekerja Sidikota. Matanya memicing mendengar alasan dari pimpinan redaksinya ini. Dirga membukakan pintu keluar aula untuk Pak Gin, mereka melangkah perlahan menuju ruang kerja. Dirga menimbang-nimbang pertanyaan apa yang harus ia lontarkan untuk mendapatkan sedikit petunjuk. Bukannya kaget menjadi alasan paling remeh untuk membatalkan janji dengan seseorang yang datang dari jauh?
“Kamu sendiri? Ngapain?”
Dirga tersadar, “Eh? Saya... Ketemu Kinan, Pak”