Dua Puluh Empat Skenario

Sira Kamila
Chapter #8

Mimpi Buruk Adnan Dirga

Pukul 23.00 WIB

Seorang anak kecil bersembunyi di balik pintu lemari. Badannya sudah dibanjiri oleh keringat. Napasnya tertahan seiring dengan telinganya yang mendengar bunyi-bunyi debum barang berjatuhan. Bunyi pecah belah juga memenuhi ruangan. Teriakan histeris dan jeritan penuh rasa sakit memekakan telinga. Anak lelaki itu menutup mulutnya, berusaha agar deru napasnya tidak terdengar. Dalam kegelapan, ia merapalkan doa.

Tiba-tiba ia seperti diseret dan seketika berpindah ke sudut ruang keluarga di rumahnya. Matanya menatap barang yang sudah berantakan. Meja kayu dan kursi kayu sudah tergeletak tak beraturan. Beberapa kaki kayu sudah patah. Buku-buku, figura beserta pecahan kaca berserakan di karpet rumah, bersama darah yang merembes dari dua tubuh manusia yang sudah tua. Ia menatap kedua orang tuanya tergeletak tak berdaya.

Anak kecil itu memandangi seorang lelaki dan seorang perempuan yang sudah bersimbah darah. Tubuhnya penuh lebam dan luka menganga. Pada wajah ibunya terdapat garis melintang dari dahi kiri hingga dagu. Tangannya penuh luka dari pecahan kaca.

Pada tubuh ayahnya, jemarinya sudah putus dan mengeluarkan darah dengan deras. Jemarinya tergeletak di sisi kiri. Mata ayahnya terbuka, namun sudah tidak ditemukan kehidupan di sana.

Jejak-jejak darah terlihat di dinding, di lantai, di ujung meja, di pintu-pintu.

Anak kecil itu berbalik dan puluhan bangkai burung berserakan di ruang tamunya.

Ia mundur, tersandung kaki kursi. Ia terjatuh, dan ketika berusaha menahan badannya, tangannya menyentuh genangan darah.

Dirga terbangun dengan keringat memenuhi tubuhnya. Napasnya tidak beraturan. Mimpi buruk mengenai tragedi sepuluh tahun silam semakin hari kian rutin muncul dalam malam Dirga.

Malam ini jauh lebih seram dengan bumbu bangkai burung yang baru saja ia kubur.

Dirga mengatur napasnya perlahan-lahan. Tangannya memijit dahinya yang sudah terasa pening. Ia merasakan getaran hebat pada tubuhnya.

Sudah berkali-kali Dirga mencoba untuk tetap kuat dan tidak terjatuh setiap kali harus meliput kasus pembunuhan, meski bayangan kematian orang tuanya selalu terasa menusuk-nusuk pikirannya.

Dalam gelap, Dirga merapatkan tubuhnya pada kasur, ia meringkuk, menyelimuti dirinya sendiri.

Sudah cukup lama ia menyimpan dalam-dalam perasaan mengerikan ini. Apalagi selama mengusut kasus pembunuhan. Pembunuhan berantai kali ini yang paling mengusik jiwanya. Matanya tidak terpejam hingga matahari menyapa.

---

Pukul 07.30 WIB

Dirga mengendarai mobil dengan tatapan kosong. Bayangan kedua orang tuanya kembali terlintas dalam pikirannya. Ia membelokkan kendaraannya setelah perempatan pertama. Napasnya berhembus dengan berat, berkali-kali.

Kasus pembunuhan berantai ini semakin hari semakin mengusik mental Dirga. Akal lelaki beralis tebal itu tidak sampai pada alasan mengapa bisa pembunuh dengan keji menghabiskan nyawa orang lain? Apa ia tidak mempertimbangkan akan ada luka yang terus ada?

Luka di luar tubuh mayat yang kehabisan darah, yang tetap basah meski jenazahnya sudah dikubur sejak lama.

Bagaimana bisa manusia membunuh manusia?

---

Pukul 12.30 WIB

Siang ini, Dirga memutuskan untuk bertemu sebentar dengan Kinan di depan kantor Sidikota. Akhir-akhir ini, hatinya selalu merasa tidak enak setiap kali ia menjadi pendiam saat bertemu dengan Kinan. Pertemuan yang akan singkat ini ia lakukan demi menebus rasa bersalahnya.

Di bangku dekat Sidikota, Kinan duduk membawa nasi lengkap dengan ayam bakar kesukaan Dirga. Di bawah pohon, tepat di pinggir trotoar jalan, perempuan itu menatap Dirga, memperhatikan raut wajah kekasihnya yang terlihat sangat tertekan.

“Lagi kenapa, Dirga?”

Dirga tersenyum dengan lembut, menggelengkan kepalanya, “Nggak apa-apa, cuma capek aja.”

Hembusan napas dari Kinan perlahan tertangkap oleh Dirga. Lelaki itu tahu Kinan sudah sering kali mengingatkan perihal berhenti ikut campur dengan kasus pembunuhan dan cukup tunggu informasinya. Tidak perlu ikut menyelidiki, tidak perlu ikut mengamati. Cukup sampaikan informasi dari detektif. Tapi bagi Dirga, itu semua tidaklah cukup.

Kinan menatap kendaraan yang berlalu lalang, “Kasus pembunuhan ya? Udah ada perkembangan?”

Alis Dirga kembali bertaut, jangankan kasus Naura. Kasus Adit, kasus Thomas, kasus sembilan belas korban sebelumnya, tidak ada yang mencapai titik terang. Pelaku terlalu pandai dan bermain bersih, “Pengusutan Kurir pembunuh Naura belum ada perkembangan. Sejauh ini, masih sama, nggak ada Kurir KilatCepat hari itu.”

Lihat selengkapnya