Pukul 21.00 WIB
Dirga menatap tiga lembar kertas dengan tinta merah di atasnya. Kertas pertama diberikan pelaku melalui Kinan, bertulis Pacarmu nyariin aku? Suruh dia tunggu ya! Kertas kedua diberikan pelaku bersamaan dengan bangkai burung penuh darah dengan kalimat Berhenti atau mati? Kertas ketiga baru saja diberikan dengan kerikil yang dilempar ke jendela berisi Kita seperti sedang bermain petak umpat ya? Besok, cari aku di setiap sudut!
Kinan. Sial!
Dirga bergegas membuka ponsel. Keras kepala yang dimiliki Kinan membuat lelaki itu frustrasi. Perempuan itu masih tidak mau diantar dan dijemput. Penolakannya diiringi dengan kalimat-kalimat untuk meyakinkan Dirga bahwa ia akan baik-baik saja. Semenjak batu yang memecahkan kaca kantor Kinan, Dirga selalu mengecek keadaannya setiap malam.
Suara menyapa terdengar dari seberang sana. Suara serak setengah mengantuk membuat senyum timbul dari wajah Dirga. Dalam benaknya, Kinan pasti sudah bersiap untuk tidur dan ia malah mengganggu.
“Sudah kunci pintu? Jendela?”
“Sudah, Pak!”
“Jangan keluar kalau dipancing sama suara apapun, ya?”
“Siap, Pak!”
“Nggak ada apa-apa, kan?”
Suara Kinan berubah menjadi setengah menekan, “Nggak ada, Dirga.”
“Oke, maaf ya. Selamat tidur.”
Telepon terputus dan Dirga menghela napas lega. Setidaknya, sampai detik ini ia tidak mendengar kabar Kinan mendapatkan teror lagi. Dirga sempat khawatir Kinan berbohong agar ia berhenti memaksa untuk menjadi supir pribadinya, atau pindah ke dekat rumahnya. Sudah hampir lima bulan sejak Dirga dan Kinan berkenalan ketika kasus Thomas terjadi, dan dirinya masih belum pernah berkunjung ke rumah Kinan. Sial, semua ini membuat aku frustrasi.
Tiga lembar kertas yang kini tertempel di dinding bergerak dengan lambat, setiap kali angin dari kipas berhembus ke arahnya.
Cari aku di setiap sudut?
Kalimat itu berulang kali Dirga baca, dan ia masih tidak memahami maksudnya. Mata Dirga perlahan-lahan tertutup, kemudian ia menggelengkan kepalanya agar tetap sadar. Dirga merasa pusing memikirkan hubungan sudut dengan pelaku. Dengan segala kasus yang terjadi belakangan.
Dirga kemudian menyadari ia belum dipanggil lagi untuk interogasi kasus Adit. Juga belum menemukan adanya kaitan antara Reza dan Pak Gin dengan kasus yang terjadi. Tidak ada yang bisa dicurigai selain kebetulan mereka mengontak Adit sebelum hari kematiannya dan kemunculan mereka di TKP saat Naura jatuh.
Alisnya berkerut, kenapa tidak ditindaklanjuti lagi ya?
Semua kasus seperti tenggelam, informasi dan petunjuk yang ditemukan tidak berkembang pesat. Dalam benaknya, apakah pelaku benar-benar sehebat itu sehingga tidak meninggalkan petunjuk?
Kenapa? Apa iya benar-benar tidak ada yang ditemukan lagi?
Napasnya kembali menjadi berat. Kepalanya pusing dan Dirga merasakan badannya bergetar. Ia mematikan lampu. Lelaki itu kembali berbaring di ranjangnya dan menarik selimut.
Bayangan darah di ruang keluarga kembali terlintas dalam benak Dirga. Luka di tubuh ayah dan ibu kembali berputar dengan lambat. Bagaimana bibir ibunya bergerak dengan lambat, menyuruh anak lelaki berusia lima belas tahun itu untuk lari. Bagaimana mata ayahnya terbuka dengan darah perlahan-lahan mengalir dari tangannya.
Sial. Kenapa manusia membunuh manusia?
---
Pukul 23.00 WIB
Malam kembali menyelimuti kota. Semenjak munculnya mayat satu persatu di setiap tempat, malam menjadi lebih lengang dari biasanya. Senyum sinis muncul dari seorang bertopi hitam, lengkap dengan jas hujan yang melekat pada tubuhnya. Keputusan penduduk kota untuk bersembunyi sangat tepat. Baginya, sepinya kota mempermudah aksinya.
Langkah tegapnya memecah keheningan. Ia melangkah melewati gang-gang sempit, menyelinap di bawah lampu jalan. Matanya awas memandangi setiap tiang-tiang yang terpasang CCTV. Manusia itu merapatkan topinya.
Setelah berbelok, melalui jalan tikus, menembus angin malam yang lebih kencang berhembus, manusia bertopi itu berhenti tepat di sebuah rumah sederhana dengan cat jingga di setiap sisinya. Matanya awas, memastikan tidak ada kamera pengawas dan saksi, seperti yang sudah ia perhatikan sebelum malam ini.
Manusia bertopi itu sudah lama mengintai rumah ini, mempertimbangkan rencana yang akan ia wujudkan sekarang.
Pagar rumah yang tak terkunci dibukanya dengan hati-hati. Tangan dengan sarung hitam bergerak sangat lambat, memastikan suara engsel tidak memanggil tetangga di sebelah rumah.
Perhatiannya berpindah pada jendela rumah. Dari sela-sela gorden, pemilik rumah sudah memadamkan lampu. Sudah tidur? Manusia bertopi itu kembali tersenyum.
Kunci pintu belakang rumah terbuka. Engsel pintu berderit. Setelah menemukan kunci di balik pot, seperti kebiasaan pemilik rumah yang ia dapati dari hasil mengintai, manusia itu dengan mudah memasuki rumah.
Dengan langkah yang lambat, ia menelusuri ruang keluarga yang sudah gelap.
Senyum kembali muncul ketika ia menemukan satu-satunya pintu kamar di rumah itu.
Kenop pintu berputar, dan ia pandangi perempuan dengan tubuh pucat meringkuk di sudut kamar. Perempuan itu pasti sudah mendengar pintu belakang rumahnya dibuka.
“Loh, aku kira kamu sudah tidur, Yola,” manusia bertopi itu menyapa dengan suara yang sangat lembut. Ia tidak habis pikir, mengapa Yola terlalu bodoh untuk membiarkan pintu kamarnya tidak terkunci, padahal ia tahu ada yang menerobos masuk.
“Kamu?” Yola semakin merapatkan tubuhnya di dinding kamar.
Manusia bertopi itu menaikkan topi dan melepaskan kupluk jas hujan dari kepalanya. Seringai kembali muncul di wajahnya, “Kenal aku kan?”
Yola menutup mulutnya, terperangah melihat siapa yang ada di hadapannya ini. Manusia yang tidak lagi ia kenali dari raut wajahnya. “Jadi, selama ini....”
Kalimat Yola berhenti tepat ketika sebilah pisau muncul dari tangan manusia bertopi. Matanya beralih pada kunci pintu yang sudah berpindah ke saku jas hujan milik manusia bertopi. Perempuan berambut panjang itu panik bukan main, mencari cara agar bisa kabur dari maut.
Dengan tangan yang bergetar, ia melempar dengan asal setiap barang yang dapat melindunginya. Bantal, guling, lampu tidur dan figura foto yang dapat ia jangkau dari meja di sebelah ranjangnya melayang dengan sia-sia.
Alis manusia bertopi itu naik, tawanya menggema seiring dengan kepanikan yang dirasakan oleh Yola. Setiap keringat yang menetes dan ketakutan dari Yola serupa hiburan bagi manusia bertopi.
“Kenapa namamu Yola?” Manusia bertopi berjalan mendekati ranjang berukuran singlebed itu.
Yola perlahan-lahan menurunkan kakinya, menatap tajam mata manusia bertopi. “Kamu mau apa? Biarkan aku bebas, aku akan kasih apa aja!”
Manusia bertopi itu tertawa terbahak-bahak, “Emang kamu punya apa?”
Kaki Yola bergerak dengan gesit, ia berlari melewati tubuh manusia bertopi melalui sela-sela tubuh manusia itu dengan lemari yang ada di sampingnya. Dengan panik Yola menggerak-gerakan gagang pintu. Tawa manusia bertopi semakin menggema.
Manusia bertopi itu duduk di atas ranjangnya, memperhatikan kaki Yola yang bergetar hebat. Sesekali melihat wajah panik Yola karena pintunya yang masih tidak terbuka meski sudah ditarik paksa. Anak muda yang bodoh, pikir manusia bertopi itu.
Pecahan lampu tidur dan figura foto milik Yola berserakan di karpet kamar. Mata manusia bertopi menelusuri sekeliling kamar. Dalam pandangannya, kamar yang hanya berisi ranjang, meja kecil, dan lemari pakaian ini terlalu sederhana untuk pekerja seperti Yola. Ia kembali tersenyum ketika menyadari tidak ada yang dapat melukai dirinya kecuali pecahan kaca, dan Yola malah menjauhi senjata itu. Bodoh.
Manusia bertopi bergerak dengan lambat, menghampiri Yola.
Ketika Yola berbalik, sebilah pisau melayang dan tepat mengenai bahu kirinya. Darah mengalir, membasahi piama merah muda yang melekat pada tubuh Yola.
“Kena!” manusia bertopi itu kembali tertawa.
Yola merintih kesakitan. Tubuhnya saat ini sudah mulai basah dengan keringat. Ia mencoba untuk mencabut pisau dari bahunya itu. Tetapi ketika pisau itu bergerak, semakin deras darah yang keluar dari bahu Yola.
“Ahhhh, sial!” Yola kembali mengerang. Ia bermaksud menjadikan pisau itu senjata untuk membela diri. Tapi tarikan yang ia lakukan justru menambah rasa sakit di tubuhnya. Air matanya mengalir, pandangannya sedikit kabur.
“Sini, aku bantu,” manusia bertopi sudah muncul di hadapan Yola, tangannya menarik dengan kencang pisau yang melukai bahu perempuan berambut panjang itu.