Dirga menyandarkan punggungnya di bangku abu-abu. Di hadapannya, Joan sibuk menulis segala keterangan yang sudah diberikan Dirga. Ia sudah menjelaskan segala peristiwa yang terjadi secara kronologis. Dengan tatapan tajam, Dirga sudah memberikan kertas berisi ancaman yang ia dapatkan beberapa waktu terakhir.
Kakinya bergerak-gerak. Matanya bermain ke setiap sudut ruangan meski yang bisa ia lihat hanyalah dinding kosong. Dirga menghela napas berkali-kali. Interogasi kali ini ia dapatkan bertubi-tubi, mulai dari kasus Adit, dan kasus Naura, yang sudah bosan ia dengar dan sudah ia jawab dengan keterangan yang sama, hingga kasus Yola yang baru saja terjadi.
Setelah hampir satu jam ia di dalam ruangan, Joan mempersilakan Dirga untuk pulang.
---
Pukul 13.00 WIB
Kendaraan bergerak dengan cepat di penglihatan Dirga. Lelaki beralis tebal itu duduk di bangku jalan, menatap kesibukan manusia yang bertingkah seolah tidak ada tragedi apapun.
Dalam benak Dirga, apakah di balik langkah mereka ada niat untuk menghabisi nyawa orang lain? Apakah kaki mereka pernah menginjak genangan darah? Apakah jari jemari manusia yang melewatinya pernah menciptakan darah dari tubuh orang lain?
Rasa sakit kembali menyerang kepalanya. Dirga lebih mudah cemas akhir-akhir ini. Ia kembali mengatur napasnya perlahan-lahan. Membuka matanya lebar-lebar. Pikirannya mundur ke sepuluh tahun silam, saat masih berusia lima belas tahun. Tubuh ayah dan ibunya yang bersimbah darah ketika menjadi korban pembunuhan kembali terlintas. Dirga ingat bagaimana saat itu ia harus menunggu sampai satu tahun untuk mendapatkan kabar pelakunya sudah tertangkap polisi.
Selama pengejaran, pelaku terbukti tidak membunuh lagi. Selain orang tuanya. Selain karena dendam.
Tapi sekarang?