Adnan Dirga
Pukul 19.30
Aku tidak menarik kakiku sedikitpun dari gas mobil. Bangsat. Kenapa binatang itu tidak memberi aku napas barang sebentar? Kenapa harus mengganggu Kinan? Beruntung malam ini tidak ada kemacetan di jalan raya. Jemariku bergerak tak beraturan di atas stir mobil.
Setelah melewati berkali-kali perempatan jalan, aku memelankan laju kendaraan ketika berbelok memasuki sebuah gang. Peta ini menunjukkan aku harus masuk lebih dalam hingga tiba di alamat yang dituju.
Kakiku menginjak pedal rem saat tiba di sebuah rumah yang baru pertama kali aku lihat. Rumah itu bercat abu tua dengan cahaya kuning di setiap lampu. Aku mengerutkan kening. Teringat pilihan cat putih terang pada rumah yang dijadikan kantor oleh Kinan.
Aku memeriksa setiap tempat, memastikan tidak ada seseorang yang mencurigakan. Tanganku bergerak di atas layar ponsel, meyakinkan aku sudah tiba di rumah yang benar. Malam itu sepi dan aku dapat mendengar suara jantungku yang berdetak sangat kencang.
Bener. Suara ketukannya sudah nggak ada, Ga.
Sebuah pesan masuk, membuat aku sedikit bernapas lebih lega. Aku mengambil pisau yang sudah aku letakan dengan asal di dashboard mobil. Aku melangkah dengan perlahan-lahan ke luar mobil.
Mataku masih awas melihat ke setiap sudut. Melirik ke setiap sumber bunyi, meski hanya daun yang bergesekan. Pintu pagar terbuka dan aku berjalan dengan cepat ke pintu rumah.
“Kinan, ini aku!”
Gagang pintu terbuka perlahan. Mata kecil Kinan muncul di sana. Pintu terbuka dan aku melangkah masuk ke dalam rumah Kinan. Untuk pertama kalinya.
Kinan tersenyum, dan aku tersenyum lega. Ia langsung mengunci pintu, dan aku kembali tersenyum. Setidaknya aku tahu ia benar-benar mendengarkan aku selama ini.
Mataku memandangi setiap sudut rumah. Tidak ada hiasan di dinding, tidak banyak kursi dan meja. Rumah ini terlihat gelap dengan nuansa abu dan hitam. Di ruang tamu berdiri dua kursi dengan satu meja kecil di tengah-tengahnya. Tanpa dinding pembatas, dari ruang tamu aku langsung melihat ruang tengah yang juga sederhana, hanya berisi satu sofa panjang, karpet abu, dengan televisi di depannya. Di sisi kanannya ada pintu kaca yang membatasi ruang tengah dengan dapur. Sederhana sekali.
“Masuk, Dirga.”
Kinan mengajak aku untuk duduk di ruang tengah, dengan lembut ia ambil pisau dari tanganku, “Taro di dapur aja ya?” Benar juga, terlalu berbahaya. Pisau itu akan aku ambil dengan gesit begitu suara aneh mulai muncul.
Aku mendapati laptop yang sedang terbuka dengan kertas berserakan di atas karpet. Sial. Binatang itu pasti sudah mengganggu Kinan yang sedang berusaha menyelesaikan tulisannya.
Di rumah ini, aku merasa jauh lebih tenang. Napasku lebih teratur ketika aku menyandarkan punggung ke sofa yang empuk. Kembali terlintas di pikiranku segala dugaan mengenai apa yang akan dilakukan pelaku. Menunggu larut?
Aku menajamkan pendengaranku, dan tidak aku dapati apa-apa selain suara jangkrik dan gesekan dedaunan. Kakiku bergerak-gerak, tanganku tidak bisa diam. Aku menggenggam apapun yang bisa aku genggam. Jangan cemas di sini. Jangan sekarang.
Mengalihkan pikiran adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Aku bangkit dari sofa, berniat menyusul Kinan di dapur. Minimal aku bisa berbincang dengannya.
Belum sempat melangkah, aku berhenti ketika mataku berpindah ke tumpukan kertas yang berserakan di atas karpet.
Aku memicingkan mata, memastikan pandanganku tidak kabur sehingga aku tidak salah lihat. Di salah satu kertas, ada sebuah sketsa gambar tali yang disimpul serupa tali gantung. Aku melirik Kinan yang sedang memunggungiku. Ia berdiri dengan rambut yang tergerai di depan jendela dapur, sibuk dengan entah apa yang sedang ia siapkan di dapur. Apa ini? Kinan mau bunuh diri?
Aku mencoba mengambil salah satu gambar, sambil melirik Kinan sesekali. Ia masih asik sendiri.
Tanganku berhenti ketika terdengar suara ketukan dari jendela dapur. Aku menoleh dan dari balik pintu kaca, Kinan masih tenang di sana.
“Nan?”
“Iya?”
“Ada suara dari jendela dapur?”
Kinan berbalik dengan ekspresi bingung, “Aku nggak dengar apa-apa.”
Jantungku berdetak jauh lebih kencang. Aku menajamkan pendengaranku dan tidak terdengar apa-apa di sana.
Mataku kembali pada gambar di atas kertas. Sebuah sketsa tali gantung yang sudah disimpul. Di bawahnya tertulis nama mendiang sahabatku, Adit.
Ini pasti risetnya untuk novel pembunuhan berantai yang sedang ia tulis. Alisku seketika berkerut saat teringat ia mengatakan masih berpikir ulang untuk menulis kisah ini. Ternyata ia sudah mengumpulkan datanya.
Aku menyilakan kaki, duduk di atas karpet. Aku tersenyum ketika melihat naskah Kinan sudah mencapai 285 halaman. Banyak juga. Kupikir dia masih meriset saja.
Tanganku kemudian menyisihkan beberapa kertas. Kebanyakan dari kertas itu berisi sketsa gambar. Ada wajah manusia tidak beraturan, sketsa tangan, kaki, juga pisau.
Perhatianku berpindah pada laptop Kinan. Mouse mulai menggerakkan kursor ke atas dan ke bawah. Mataku membaca dengan asal tulisan Kinan di sana. Aku menemukan kisah tentang korban yang sengaja diletakkan di antara kasur dengan dipan. Aku tahu ini adalah korban pertama dari pembunuhan berantai. Kursor aku turunkan dengan asal dan menemukan bagaimana pelaku membacok kepala korban di atas tempat cuci piring dengan posisi berlutut. Aku mengernyitkan dahi, ini terlalu mengerikan. Kursor kembali aku turunkan.
Tanganku berhenti seketika saat sebuah benda terasa dingin menempel di leherku. Napas seseorang terasa berhembus di tengkukku. Aku memejamkan mata, merasakan mata pisau yang mengancam. Pikiranku kacau balau. Sial. Aku tidak merasa pendengaranku menangkap suara pintu terbuka, tidak juga mendengar suara Kinan. Sial! Kinan!
Segala peristiwa terlintas dengan cepat dalam benakku. Aku mengatur napas perlahan-lahan, mencoba untuk membaca situasi. Dari ujung mataku, aku berusaha mengecek dapur dan pintu kaca itu tertutup rapat. Aku mengerutkan dahi, mencoba mempertimbangkan apa yang harus aku lakukan.
“Asyik ya, baca cerita soal sahabatmu?”
Jantungku seperti berhenti berdetak saat aku mengenali suara manusia ini. Aku membuka mata dan melirik leher kiriku, di sana sisi tajam pisau sudah menyentuh kulitku dari genggaman manusia yang aku kenal. Bangsat!
“Udah selesai? Mau dengar langsung dari pelakunya nggak?”
Suara diiringi tawa dari manusia di sampingku menggema ke langit-langit ruang tengah. Tanganku bergerak perlahan-lahan, meninggalkan mouse. Aku mempertimbangkan apa yang akan aku lakukan sekarang. Sial. Semua jadi kacau, dan aku tidak bisa menguatkan diriku sendiri.
Dengan hati-hati, aku mencoba menghentikannya, “Jangan main pisau, bahaya.”
Manusia ini berbisik tepat di telingaku, “Seru tau, mau coba?”
Darahku berdesir dan jantungku berdetak jauh lebih cepat. Tawanya pecah ketika menyadari bulu kudukku sudah berdiri. Bayangan darah, tubuh orang tuaku, dan bangkai burung berputar kembali dalam benakku. Di antara mereka muncul potongan tubuh Yola. Aku mencoba untuk tetap sadar. Napasku tertahan setiap kali dia memainkan pisaunya. Dengan perlahan-lahan ia mengangkat dan menempelkan kembali sisi tajam pisau di kulitku. Perutku bergejolak. Sial, dia bener-bener main-main.
“Kenapa? Kenapa membunuh?”
Tanpa menunggu jawaban darinya, aku berbalik dan menangkap tangannya. Membuat sisi tajam pisau tepat ada di atas lenganku. Aku menemukan banyak noda darah yang sudah mengering di sana. Sial, itu pasti senjatanya selama ini. Ia tidak terkejut. Ia justru memunculkan senyumnya yang mengerikan. Alisnya terangkat dan menunggu aku untuk bergerak. Aku terdiam sejenak, menatap wajah yang sama sekali tidak aku kenali lagi.
“Aaahh!!”
Aku refleks melepaskan genggamanku dari tangannya ketika ia menggerakkan pisaunya ke arah lenganku dengan sangat cepat. Luka sayat muncul di sana. Manusia ini tersenyum, “Satu!”