Alkisah, enam belas tahun yang lalu telah dilahirkan seorang anak perempuan dari pasangan suami-istri yaitu, Bapak Sholeh dan Ibu Sakinah. Keduanya dengan penuh bahagia memberi nama putri sulungnya itu Mahresi Anjani.
Mahresi Anjani, dilahirkan di rumah bidan dekat rumahnya dengan berat 2,8 kilogram dan tinggi 47,5 sentimeter. Dia dilahirkan pada tanggal yang istimewa yaitu, 29 Februari dimana tanggal itu hanya ada empat tahun sekali. Seistimewa tanggal lahirnya seistimewa itu pula kisah hidupnya.
'Hari ini hari yang kau tunggu.. Bertambah satu tahun usiamu.. Bahagialah slalu..'
Nyanyian lagu selamat ulang tahun dari musisi Jamrud itu terdengar nyaring di sebuah ruang kamar. Sang pemilik dengan mata yang masih setia tertutup mencoba meraba nakas disebelah kirinya lalu, meraih ponsel berukuran 5 inch itu.
"Kak, buruan matiin alarmnya! Berisik." Sang adik yang tidur disebelah kanannya itu mendengus kesal.
Dengan malas gadis yang diketahui bernama Mahresi Anjani itu membuka matanya, menatap layar ponselnya dengan malas lantas mematikan alarm yang sudah mengganggu mimpinya bertemu sang pangeran tampan. Resi kembali menaruh ponselnya diatas nakas lantas kembali memejamkan matanya, sampai beberapa detik ingatannya baru tersadar.
Gadis itu terbangun dengan sigap. Mengamati kalender yang berada pada titik lurus tempatnya terduduk. Hari ini pukul 00.05 tanggal 29 Februari yang dapat diartikan bahwa ---
"HARI INI GUE ULANG TAHUN!" pekiknya dengan lantang.
"YEEE.. HAPPY SIXTEEN!" serunya sambil melompat-lompat kegirangan di atas kasurnya. Membuat sang adik menggeliat kesal melihat tingkah laku sang kakak yang kelewat batas kewajaran.
"SWEET SIXTEEN. ULANG TAHUN, ULANG TAHUN!"
"KAK!" teriak sang adik seraya menarik celana training yang digunakan Resi.
"ICA.. KAKAKMU LAGI ULTAH!" respon Resi seraya menangkup kedua pipi adiknya yang tembam.
"Iya, gue tau. Tapi lo sadar enggak ini jam berapa?! Bisa di demo sama tetangga lo berisik kayak gitu," oceh Ica dengan tampang dinginnya. Memang berbeda dengan sifat Resi yang hangat, ramah, dan ceria berbanding terbalik dengan sang adik yang bernama Elisa Meuraksa atau yang biasa akrab dengan panggilan Ica itu yang memiliki sifat dingin, cuek dan datar.
Resi tak memperdulikan ucapan sang adik sama sekali. Yang dia tau, ini adalah hari terbaiknya. Hari yang selama empat tahunnya selalu dinanti-nantikan.
Ica cukup memutar bola matanya dengan malas, serta menggelengkan kepalanya pelan kala melihat tingkah kakaknya yang saat ini sedang memutar lagu selamat ulang tahun yang tadi sempat dibuatnya nada dering alarm seraya menari-nari seperti anak TK yang baru saja menang lomba mewarnai tingkat kelurahan. Daripada melihat tingkah Resi yang sangat aneh dan berlebihan, Ica memutuskan untuk kembali melanjutkan tidurnya.
"Ca, ucapin selamat ulang tahun dulu ke kakak!" Resi menarik kaki adiknya itu ketika menyadari Ica telah kembali memejamkan matanya.
Ica dengan tingkat kemalasan di atas rata-rata itu kembali membuka matanya lalu, berkata, "Selamat ulang tahun, kakak gue yang aneh bin ajaib! Semoga lo cepet waras. Amin."
Memangnya selama ini Resi tidak waras? Sampai adiknya berdoa untuk kewarasannya. Persetan dengan hal itu Resi malah menampilkan senyum manisnya seraya mengaminkan doa sang adik.
"Eh, jangan tidur dulu, Icaku, Cayangku!" Resi menarik tangan Ica untuk kembali terbangun.
"Apa lagi?" tanya Ica yang dirundung seribu kemalasan dengan permintaan kakaknya itu.
"Kita berdoa dulu. Gue mau berdoa buanyaaaaaaak banget dan tugas lo amini doa gue. Buruan bangun, duduk yang bener, menghadap kiblat, tangan diangkat, khusyuk, dan jangan tidur!" titah Resi.
Hal itu dengan sangat amat terpaksa harus Ica turuti, Ica tidak ingin menanggung risiko mendengar teriakkan kakaknya yang mengalahkan Tarzan itu.
"Ribet banget. Nggak sekalian aja wudu abis itu salat sekalian," cicit Ica pelan. Namun, pendengaran Resi hari ini sangat berfungsi dengan baik sehingga masih dapat mendengarnya.
"Wah, ide bagus! Lo emang adik terbaik, Ca. Terharu gue. Yaudah, tunggu apalagi? Ayo, ambil wudu!" seru Resi bersemangat.
Resi dengan semangat 45 segera berjalan dengan riang menuju kamar mandi untuk segera berwudu. Sedangkan Ica, masih setia terduduk lemah di atas kasur sambil merutuki ucapannya sendiri. Dengan sekuat tenaga, akhirnya Ica mencoba bangkit dari duduknya untuk segera menyusul sang kakak. Sebelum telinganya mendengar teriakkan yang bisa merusak gendang pendengarannya.
***