WARUNG Cita Rasa, pukul 16.00 Wita. Seorang pria masuk sembari tersenyum. Duduk dan memesan secangkir kopi yang wangi. Tak lama, pesanannya datang diantarkan seorang pelayan cantik, atau jika melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, maka itulah yang disebut, “Indah”. Beberapa anak ribut alang-kepalang di samping meja yang ditempati pria pemesan kopi tadi. Hanyut dalam ingar-bingar bagai sekelompok serigala yang sedang mengepung seekor domba di sudut tebing terjal. Di tengah anak-anak itu terlihat seorang perempuan paruh baya yang sedang berusaha menenangkan mereka. Ia tampak letih mengurusi anak-anak yang tingkahnya macam setan itu.
Tak lama, seorang perempuan berkulit putih dan berambut panjang masuk ke warung. Ia tampak cantik dengan kaus merah dan celana olahraga hitamnya. Wajahnya meneteskan keringat yang turun dengan pelan seperti rerintik embun di atas daun-daun talas kala pagi menjelang: penuh cahaya dan energi. Keringat itu diusapnya dengan handuk kecil yang mengelantung manja di atas lehernya yang halus, sehalus pasir putih. Terlihat jelas, perempuan itu sedang berhenti sejenak dari olahraga sorenya: berlari kecil yang akrab disebut jogging oleh sebagian orang.
Perempuan berparas ayu tadi berjalan ke sudut warung tempat sebuah lemari pendingin bersemayam. Lemari itu dipenuhi banyak sekali minuman, begitu banyak hingga kau tak bisa menghitungnya dengan jari. Sang Pemilik warung memang sengaja menaruhnya‒lemari pendingin‒di sudut ruangan agar pelanggan dapat lebih leluasa memilih minuman yang disukainya. Perempuan anggun itu mengambil sebotol minuman isotonik dan duduk di salah-satu kursi persis belakang pria pemesan kopi tadi. Arah jam lima dari perempuan paruh baya yang masih sibuk mendamaikan anak-anak tadi yang ributnya minta ampun hanya karena sebuah makanan renyah berbumbu yang tak bergizi: kerupuk kemasan.
Tak berselang lama ketika perempuan itu duduk, seorang pria juga masuk ke warung. Ia memakai pakaian yang sama persis dengan perempuan tadi, jika mengesampingkan warnanya yang sedikit berbeda: kaus putih dan celana olahraga biru. Pria itu masuk sambil tersenyum pada semua orang yang dilihatnya, senyum yang sangat ramah dan bersahabat. Pria yang baru masuk itu mengambil minuman isotonik botol yang sama persis dengan minuman isotonik perempuan berkaus merah tadi. Ia lantas duduk di kursi paling belakang tepat di belakang meja yang ditempati sang perempuan berkaus merah. Sambil tetap tersenyum, ia membuka minuman isotoniknya.
Tiba-tiba, “Kesana-kemari membawa alamat, tetapi mereka bilang tidak tahu….,” sebuah lagu yang familiar‒Alamat Palsu yang dipopulerkan Ayu Ting-ting‒terdengar cukup keras dari arah pria itu. Ternyata, ponselnya berbunyi sambil bergetar. Memancing semua orang untuk melihat ke arahnya, tentu dengan tatapan yang agak bingung. Anak-anak, perempuan paruh baya, pria penikmat kopi, pemilik warung, pelayan dan perempuan berkaus merah tadi memandang penasaran ke arah pria ramah berkaus putih itu. Mereka mengenali lagu yang menjadi nada dering ponselnya.
“Sedang cari alamat?” kata perempuan berkaus merah tadi sembari tertawa mendengar nada dering ponsel pria berkaus putih itu. Ia bercanda padanya.
“Hahaha, maaf! Maaf! Saya lupa mengecilkan volume handphone,” jawab pria berkaus putih itu tertawa sembari mengangkat ponselnya. Ia mulai bercakap-cakap dengan seseorang. Tak berselang lama, ia menutup ponselnya dan terlihat memikirkan sesuatu. Pria berkaus putih itu tampak bingung. Ia meninggalkan uang pembayaran minumannya di meja dan berjalan tergesa-gesa keluar dari warung.
“Pak, kutinggal di meja uangnya!” kata pria berkaus putih itu pada pemilik warung. Ia berjalan meninggalkan mejanya. Namun karena tergesa-gesa, sengaja atau memang karena ceroboh, pria itu tak sengaja menyenggol meja perempuan berkaus merah tadi yang berada tepat di depannya. Minuman isotonik perempuan berkaus merah itu pun terjatuh dengan keras dari atas meja.
“Hati-hati kalau jalan!” kata perempuan berkaus merah itu.