PARRAK berjalan dan terus berjalan. Tak sekalipun dirinya menengok ke arah belakang. Tampak dari wajahnya ekspresi puas dengan isyarat senyum dan mata yang tajam. Ia tahu bahwa targetnya telah tamat riwayatnya. Satu-satunya yang ia mengerti saat ini adalah peraturan pertama dalam dunia pembunuhan: setiap pembunuh bayaran yang telah melaksanakan misinya harus segera meninggalkan lokasi eksekusi. Tertangkap bukanlah pilihan!
Tiba-tiba saku celananya bergetar. Parrak tahu seseorang meneleponnya. Ia sengaja mengubah mode ponselnya menjadi mode getar, tentu saja agar tak menimbulkan curiga dari pejalan kaki serta untuk mengelabui polisi yang lalu-lalang begitu saja menuju warung yang ditempatinya tadi membunuh seorang perempuan. Parrak lantas menjawab panggilan masuk di ponselnya.
“Halo! Iya, kenapa?”
“Bagaimana, sudah kau lakukan?” tanya suara yang ringan dan energik dari ponsel Parrak. Suara seorang pria muda.
“Hmmm...,” gumam Parrak.
“Bagus sekali! Kau memang hebat, nanti kukirimkan uangnya!” kata pria itu kemudian memutus sambungan ponselnya. Ia tahu jika Parrak bergumam maka itu artinya iya.
Parrak mematikan ponselnya lalu melepas baterai, kartu memori dan SIM-nya. Ketiga benda itu ia simpan ke sakunya. Setelahnya, Parak melemparkan ponselnya itu ke dalam tempat sampah yang ia lalui. Tentu saja setelah sebelumnya mengusap ponsel itu dengan kain yang telah dibasahi amonia untuk menghapuskan sidik jarinya. Ia juga melepas semua plester luka di ujung jari tangan kanannya satu persatu kemudian membuangnya ke selokan. Parrak menghapus semua barang bukti dari dirinya.