Dua Rasa

Ali Wardani
Chapter #3

Canik Cukka

RATUSAN gerobak makanan tumpah ruah di pinggir jalan. Berdesakan mencari pelanggan, penikmat kuliner lebih tepatnya. Gerobak-gerobak ini berbaris saling silang dengan artistik. Setiap desainnya pun tak kalah artistiknya, sangat indah namun berantakan seperti lukisan abstrak yang kontras dengan warna kanvasnya. Ada yang berwarna hijau dihiasi lampu neon berwarna-warni, hitam dengan aksen bergaris, coklat dengan beberapa gambar buah, ada juga yang berwarna putih dengan gambar cangkir berasapnya yang khas. Gerobak-gerobak yang semarak ini berjajar-jajar hingga ujung jalan yang gelap. Di sana‒ujung jalan yang gelap‒beberapa gerobak juga berbaris rapi dan teratur. Namun, tak seperti gerobak-gerobak lainnya yang amat menarik dan juga semarak, gerobak-gerobak di ujung jalan ini sama sekali tak ada menariknya. Desainnya hanya satu jenis, warnanya pun begitu, hanya satu dan tak memiliki gambar apapun. Sama sekali tak menarik minat pelanggan untuk mendekatinya. Gerobak-gerobak ini seumpama bus tua berkarat di tengah bus-bus baru yang cantik, mulus dan mengkilap, tak menarik penumpang untuk menghampirinya. Gerobak-gerobak biasa ini nasibnya benar-benar sama dengan ujung jalan yang mereka tempati: gelap dan tak pasti.

Masing-masing gerobak tadi menjual menu yang sama‒makanan dan minuman‒dengan jenis yang berbeda. Ada yang menjual martabak, jalankote, baroncong, peong, barongko, saraba, kopi, dan masih banyak lagi[1]. Aroma khas makanan dan minuman modern maupun tradisional itu berserakan menjadi polusi udara: menggoda hidung dan merayu perut. Mereka‒para penjual‒berteriak-teriak khas untuk menarik pelanggan. “Jalankote! Baroncong! Jalankote! Baroncong! Jalankote! Baroncong!” teriak penjual jalankote dan baroncong yang bersahut-sahutan saling berirama. Adapun penjual lainnya seperti barongko tak berteriak dan hanya sibuk melayani pelanggannya. Tampil berbeda dari yang lain, penjual pisang ijo menyemarakkan suasana dengan memutar nyanyian pisang ijo untuk menarik pelanggan. “Pisang ijo! Enak dimakan! Manis rasanya!” kata suara anak kecil yang terdengar dari sepiker sang penjual pisang ijo. Nada suaranya mirip sekali dengan suara nyanyian penjual es-krim bermotor yang seringkali berjualan melintasi jalan-jalan perumahan. Jalan di pinggir Lapangan Pancasila malam ini benar-benar semarak oleh puluhan penjual aneka kuliner.

Di tengah-tengah semarak Lapangan Pancasila, tepat di sebuah gerobak penjual jalankote, seorang perempuan yang memakai piama putih‒cukup bodoh dipakai untuk berkeliling di keramaian‒tengah kebingungan lantaran dirinya lupa membawa dompet padahal ia harus membayar jalankote yang telah dimakannya. Perempuan berparas ayu itu tak punya uang dan tampak sangat kebingungan.

“Bisa kalau sebentar saya balik ke sini buat bayar makananku?” katanya kepada penjual jalankote yang tampak kesal dengan ulahnya.

“Tidak bisa! Sudah banyak orang yang borroika[2] begitu!” hardik penjual jalankote tak terima terhadap penawaran perempuan itu. “Kau telepon saja orang untuk datang ke sini bawakan uang,” lanjutnya lagi.

“Saya juga tidak bawa HP. Bagaimana itu kodong[3]?” jawab perempuan itu lagi.

“Masalahmu itu! Bukan masalahku!” kata penjual jalankote bertambah kesal.

Lihat selengkapnya