Dua Rasa

Ali Wardani
Chapter #5

Menahan Amarah

LORONG yang sedikit gelap dan penuh iringan kematian. Baris-berbaris pintu saling berhadapan di kedua sisinya. Suara rintihan perlahan terdengar dari setiap pintu berwarna putih itu. Suara rintihan dari setiap pasien yang sedang sekarat menunggu malaikat maut menjemputnya. Beberapa pintu bahkan memancarkan kesan yang lebih mengerikan dari kematian. Kesan pesan dari setiap jiwa terkutuk dalam ruang-ruang berbilik kain putih. Derita dari setiap penyembah setan dan pembangkang Tuhan yang terazab. Benar-benar sebuah ironi yang mengerikan. Di tengah-tengah ironi yang mengerikan itu terdapat pula pintu yang memancarkan sisi-sisi positif kehidupan yang indah. Tentang betapa indahnya kesehatan itu jika telah dikembalikan Tuhan kepada hamba-hamba yang dikasihi-Nya. Pintu-pintu yang dianugerahi sisi positif Tuhan itu dipenuhi lara-tawa bahagia setiap insan yang menang melawan penyakitnya. Serta seperti yang selalu tertera pada kitab-kitab Tuhan yang membawa pesan kebenaran, orang-orang yang menang tersebut adalah hamba-hamba Tuhan yang taat. Secara sederhana, ruang-ruang di lorong gelap tadi memancarkan kesan dua rasa yang kuat: kasih dan siksa Tuhan.

           Canik berjalan pelan dalam lorong yang mengerikan sekaligus indah tadi. Ia sedang menuju lantai dua RS Malagah. Tempat ia dirawat sebelumnya. Canik kembali ke rumah sakit setelah sebelumnya keluar tanpa izin atau dengan kata lain melarikan diri. Terbayang dalam benaknya kemarahan kakaknya‒Parrak‒ketika melihatnya kembali setelah sebelumnya menghilang tanpa kabar. Meski kakaknya itu bukanlah orang yang pemarah, Canik tahu betul bahwa kakaknya akan sangat menakutkan jika terlanjur marah. Bahkan baginya, lebih menakutkan dari seekor ular yang terlepas dari kandangnya. Rasa takut Canik terus bertambah setiap kali menaiki satu buah anak tangga menuju lantai dua. Setelah berada di depan pintu kamarnya, langkah Canik tiba-tiba terhenti. Ia memandang pintu di depannya lamat-lamat. Canik menarik napas dalam-dalam lalu membuka pintu dan masuk.

           Canik berjalan masuk dengan pelan. Matanya awas terhadap apapun yang ada di dalam kamar itu. Perlahan ia mendekati ranjang rawatnya. Perlahan pula matanya menangkap wujud seseorang yang duduk di samping ranjang itu. Orang itu tertidur dengan menyandarkan dadanya di ranjang sembari tetap duduk di kursi. Canik perlahan mendekati orang itu. Setelah Canik begitu dekat dengan orang yang tertidur tadi, ia berhenti dan tersenyum. Canik mengenali orang yang tak lain adalah kakaknya itu: Parrak. Rupanya sejak Canik menghilang, Parrak yang kelelahan mencari memutuskan untuk menunggunya di rumah sakit. Parrak cukup yakin Canik akan kembali. Keyakinan Parrak terbukti benar. Setelah menghilang sejak sore kemarin, Canik kini telah kembali. Ia kembali dengan tak kekurangan sesuatu apapun. Canik mendekati kakaknya itu lalu menyelimutinya. Canik pun naik ke atas ranjang dengan sangat pelan karena takut membangunkan kakaknya.

           “Annik! Kau itu?” tiba-tiba Parrak terbangun dan bertanya.

           “Iya, Kak. Saya!” jawab Canik kaget.

           “Kau dari mana? Capek orang cari-cari dari kemarin! Kalau kau kenapa-kenapa bagaimana?” bentak Parrak keras kepada Canik. Tepat seperti dugaannya, Parrak benar-benar marah!

           “Iya, maaf merepotkan! Cuman jalan-jalan sebentar, Kak. Bosan di kamar terus.” kata Canik pelan penuh rasa bersalah. Ia meminta maaf sudah membuat khawatir kakaknya.

Lihat selengkapnya