ADA ruang kosong dalam setiap hati dua insan yang terpisah. Ruang kosong itu, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, mungkin tidak layak jika disebut ruang kosong. Alasannya karena jauh di dalamnya tergeletak sebuah benda yang tidak tampak namun sangat menyiksa. Benda itu‒yang tak tampak namun sangat menyiksa‒disebut, “Rindu” oleh sebagian orang. Rindu apabila dianalogikan seumpama awan hitam menggumpal di langit. Berkembang dan terus berkembang seiring waktu. Terkadang pada kondisi dan situasi tertentu rindu dapat berubah menjadi tetes-tetes hujan air mata yang menyisakan kepedihan. Di lain sisi, tetes-tetes hujan air mata itu juga merupakan pertanda datangnya rahmat dari Sang Maha Pencipta. Rahmat itu disebut, “Cinta”.
Sama halnya dengan awan hitam menggumpal di langit, rindu juga dapat diusir dengan angin. Angin pengusir rindu disebut, “Pertemuan”. Pertemuan itu ibarat mantra manjur yang dapat mengusir rasa rindu. Pada berbagai kasus‒entah bodoh atau apa‒segelintir orang bahkan tak sadar ketika mereka diselimuti rindu. Lebih tepatnya, mereka tidak dapat mengidentifikasi rindu. Akibatnya, jalankan menemukan angin pertemuan yang dimaksud, mereka malah terjebak dalam dunia yang disebut maya. Maya merupakan dunia yang hanya ada dalam angan-angan di mana seseorang akan berjumpa dengan yang mereka rindukan. Maya ini tak ubahnya dengan khayalan, ilusi, delusi, entah-berantah, fatamorgana, anomali, dan atau kata lainnya yang dapat menggambarkan kenyataan yang bersifat semu. Bagaimanapun juga, terjebak dalam maya merupakan penderitaan lain dari rindu.
Seperti segelintir orang yang tak dapat mengidentifikasi rindu. Cukka telah terjebak dalam maya. Setiap kali dirinya memejamkan mata, maka seketika ia melihat Canik. Setiap kali ia tidur, maka dirinya akan bermimpi bertemu Canik. Setiap kali ia makan, semua makanan akan terasa lebih nikmat, tentu saja jika memakannya sambil memikirkan Canik. Keadaan itu telah mengubah dunia Cukka menjadi maya di mana Canik akan menjadi kegelapan ketika ia menutup mata, menjadi mimpi ketika ia tidur dan menjadi garam ketika ia makan. Maya benar-benar telah menelan Cukka bulat-bulat seperti seekor anaconda yang menelan kapibara di pedalaman Amazon. Pada situasi galau kelas akut itu, Cukka berhasil menemukan cara mengusir awan hitam rindu dalam hatinya selain dengan angin pertemuan. Cara itu juga berhasil mengeluarkan dirinya dari maya, meski tidak sepenuhnya terlepas darinya. Cara itu tak lain adalah dengan menulis puisi. Maka tatkala Cukka dirundung rindu dan disergap maya, ia akan segera menulis puisi.
Cukka bergegas masuk ke kamarnya. Ia mengambil secarik kertas dan sebuah pena yang berada di atas meja samping tempat tidurnya. Tanpa banyak berfikir lagi, ia menggoreskan pena itu ke atas kertas dengan lembut. Sangat lembut hingga tak menimbulkan jejak timbul di sisi lain kertas. Kini hati Cukka adalah penggerak tangannya dan bagi dirinya otak tak ada hubungannya dengan itu. Terkadang hati lebih baik dalam menulis daripada otak. “Menulislah dengan hati, bukan otak, apalagi dengan otot!” kata para orang bijak. Tak berapa lama, tanpa disadari Cukka telah menulis sebuah puisi yang indah. Tentu saja dengan segenap hatinya yang tulus.
Ulah siapa kita bertemu
Mengharap Tuhan pasti tak ingkar
Indah dirimu mawar pun iri
Buruk akalmu siapa peduli