UNIVERSITAS Peradaban Gowa, pukul 09.00 Wita. Ribuan mahasiswa tumpah ruah di jalan kecil tengah kampus. Berdesakan dalam satu langkah dan simfoni. Ribuan mahasiswa itu seperti koloni semut yang bertebaran menuju tumpahan gula. Mereka berseru ria mengobarkan spanduk-spanduk tuntutan dikeluarkannya prosedur re-kategorisasi UKT[1] mahasiswa Universitas Peradaban Gowa (UPG). Ratusan mahasiswa yang bergerak itu berteriak-teriak dalam suara perlawanan mirip emak-emak yang melawan lantaran ditilang polisi. Beberapa dari mereka‒mahasiswa‒sangat antusias meski matahari sedang panas-panasnya. Adapun yang lain, tampak acuh tak acuh dan berteriak seadanya. Tipikal mahasiswa yang hanya ikut-ikutan aksi demonstrasi tanpa tahu substansi dari demonstrasi itu sendiri[2].
Tak berapa lama seorang pria jangkung berkaus merah yang memakai ikat kepala berwarna putih bergabung dalam kerumunan demonstran yang riuh rendah. Pria jangkung itu berjalan sembari memperhatikan jam tangannya. Ia tampak risau memikirkan sesuatu. Pria jangkung berkaus merah yang risau itu tak lain adalah Parrak. Parrak sedang berusaha menimbang dan mengevalusi rencana yang telah disusunnya dalam misi kali ini. Dirinya memperhitungkan situasi di mana ia akan bertindak serta memikirkan dengan baik cara yang tepat baginya untuk melarikan diri setelah melakukan aksinya. Sekali lagi, bagi pelaku dunia hitam sepertinya, tertangkap bukanlah pilihan!
Tiba-tiba, “Wiwu, wiwu, wiwu, …...,” Parrak kaget alang kepalang dan langkahnya terhenti begitu saja. Ia terpana beberapa saat dan tersenyum. “Kukira suara polisi,” batinnya. Suara bising yang baru didengar Parrak ternyata bukan berasal dari polisi melainkan dari pengeras suara berbentuk kerucut dengan pegangan unik memanjang seperti pisang. Pengeras suara berbentuk kerucut itu akrab disebut toa oleh kebanyakan mahasiswa. Toa yang memekakkan telinga ini berbunyi layaknya sirine mobil patroli yang terdengar hingga radius ratusan meter di sekitarnya. Seorang pria berambut kriting, berkulit hitam dengan mata menyala adalah orang yang bertanggung jawab atas toa yang ributnya minta ampun itu. Pria timur kriting yang menggenggam toa ini mirip sekali tingkahnya dengan anak-anak yang mendapat mainan baru: senangnya bukan main dan semangatnya berkobar-kobar layaknya api. Tak berapa lama ketika mendekati gedung rektorat UPG, tiba-tiba sang pria timur tadi‒yang merupakan juru orasi demonstrasi di kampus UPG‒mematikan mode sirine toa miliknya. Setelahnya, senyap menyapa ribuan demonstran yang berjalan beriringan menuju lapangan depan gedung rektorat kampus UPG.
“Mari sama-sama kita berseru!” kata pria timur kriting bernama Bolong itu berteriak-teriak menggunakan toa yang digenggamnya dengan kuat menggunakan tangan kiri, sedang tangan kanannya mengepalkan tinjunya ke udara.
“Keluarkan SOP penurunan UKT!”
“Tolak komersialisasi pendidikan!”
“Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa!”
“Keluarkan SOP penurunan UKT!”
“Tolak komersialisasi pendidikan!”