BINTANG-gemintang memecah langit malam yang gelap. Membentuk gugus singa yang artistik. Di tengah gugus bintang itu tampak rembulan bersinar terang memamerkan keindahannya. Sangat indah bahkan menyembunyikan kebenaran bahwa sinar indahnya itu tak berasal dari dirinya sendiri. Sedang jauh di bawah sana, tepat di bawah rembulan tampak titik-titik lampu yang bertebaran menerangi daratan. Titik-titik lampu itu membentuk pola lurus sejajar yang kaku. Adapun yang lainnya bertebaran tak berpola namun indah pada saat yang sama mirip ratusan kunang-kunang yang terbang tak tentu arah. Lampu-lampu yang demikian indah dan banyak itu terhenti pada sebuah garis bergelombang di arah timur. Di sana‒timur‒hanya terlihat sebuah daerah aneh yang tampak biru gelap serta memantulkan cahaya apapun di langit. Sedangkan di arah sebaliknya‒barat‒sepasang manusia tak berstatus kekasih sedang duduk bersenda gurau pada sebuah kedai saraba tepat di daerah perbukitan kota Palopo yang dikenal dengan nama, “Kambo”.
“Palopo kalau dilihat dari sini seperti titik-titik lampu,” kata Canik.
“Iya, karena dilihat dari atas,” jawab Cukka menjelaskan.
“Itu, iya! Yang seberang sana, kenapa kelihatan biru gelap?” tanya Canik lagi sembari menunjuk ke arah timur tempat lampu-lampu kota Palopo berhenti terlihat.
“Itu laut, tidak terang memang karena tidak ada orang mau pasang lampu di situ. Paling perahu yang kelihatan lampunya di sana,”
“Ohhh!” kata Canik meminum kembali saraba miliknya.
Cukka tersenyum memandangi Canik yang terlihat sangat senang melihat pemandangan kota Palopo yang terlihat seperti titik-titik lampu saat malam hari ketika dilihat dari atas Puncak Kambo. Dirinya merasa menemukan kebahagiaan ketika berada di sekitar Canik. Atas alasan itu, diam-diam ia telah merencanakan mengajak Canik ke Puncak Kambo dan berniat menyatakan perasaannya di sana. Sebuah rencana indah yang membutuhkan keyakinan dan keberanian: keyakinan untuk diterima dan keberanian untuk ditolak. Namun, ceritanya sedikit berbeda malam ini, sedari tadi Cukka belum juga menyatakan perasaannya lantaran belum menemukan momen yang pas, atau lebih tepatnya Cukka sedang gugup lantaran takut ditolak. Salah-satu penyakit laki-laki yang terlalu rendah hati kata orang-orang. Sedangkan Canik, sedari tadi hanya sibuk memandang jauh ke arah kota Palopo dan daerah lautnya yang terhampar indah di hadapan mereka. Sesekali ia mengajak Cukka bermain tebak-tebakan.
“Coba tebak! Itu yang kelihatan terang sekali di tengah kota, bangunan apa?” tanya Canik seakan ia tahu nama bangunan paling terang di tengah kota Palopo yang ditunjuknya. Cukka diam sejenak, berfikir sembari memegang dagu dan memejamkan matanya.
“Itu kantor walikota Palopo!” jawab Cukka yakin.
“Salah!” sambut Canik.
“Bisanya itu salah!” kata Cukka tak terima. Ia memandang Canik penuh curiga kemudian memajukan wajahnya mendekat ke arah Canik. Canik seketika kaget dan memundurkan dirinya. Wajah Cukka terlihat sangat penasaran. Ia lantas bertanya.