Dua Rasa

Ali Wardani
Chapter #14

Eksekusi Terencana

LAPANGAN Pancasila, pukul 22.00 Wita. Parrak duduk sambil meminum kopi kemasan di pinggir lapangan. Ia memakai topi hitam dan memandang sekitarnya dengan sorot mata yang tajam. Parrak menyadari bahwa seorang polisi sedari tadi telah mengikuti dan terus memperhatikannya. Ternyata, perkataan informannya beberapa hari yang lalu terbukti benar. Ia telah dicurigai oleh polisi dan sedang diselidiki. Parrak terus berfikir untuk mengambil tindakan. Akan berbahaya jika polisi terus mencurigainya. Di lain sisi, menyingkirkan polisi yang mengikutinya akan membuatnya semakin dicurigai. Pilihan yang amat sulit namun ia tetap harus mengambil tindakan. “Bagaimana agar aku bisa lolos, ya?” gumam Parrak dalam hati memandang keramaian. Tak berapa lama Parrak pun memutuskan pilihannya. Pilihan bodoh yang diambilnya tanpa pertimbangan yang matang. Keputusan yang akan membuatnya semakin dicurigai oleh polisi nantinya.

Parrak berdiri lalu berjalan pelan di trotoar jalan raya samping lapangan. Ia menjauh dari Lapangan Pancasila yang ramai. Parrak berjalan dan terus berjalan. Hingga pada sebuah perempatan jalan, tanpa pikir panjang dirinya berbelok ke kanan. Masuk ke sebuah jalan yang pinggirannya dipenuhi pohon peneduh yang besar. “Ikut, ayo ikut!” kata Parrak dalam hati. Beberapa meter di belakangnya, seorang pria berjalan pelan mengikuti. Pria itu memakai topi hitam yang sama dengan Parrak serta memakai sebuah tas ransel berwarna merah. Pria tersebut adalah polisi yang mengikuti Parrak sejak tadi pagi. Polisi itu tampak sangat teliti dengan mata yang tajam mengawasi. Parrak yang berjalan di depan kemudian mengambil sebuah cermin bulat dari saku celananya. Ia memakainya seperti kaca spion mobil untuk melihat situasi di belakang. Parrak pun tersenyum menyadari bahwa polisi itu telah memakan umpan yang ia lemparkan. Polisi itu tanpa sadar mengikuti Parrak sesuai dengan keinginannya.

 Setelah beberapa saat berjalan, Parrak merasa bahwa mereka sudah cukup jauh. Malam sudah cukup larut dan jalan pun mulai sepi. Parrak memperlambat langkahnya sambil mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, mengisapnya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya perlahan ke udara malam yang terasa dingin. Polisi di belakangnya hanya diam mengamati gerak-gerik Parrak. Setelah dua kali isapan, Parrak tiba-tiba melempar rokoknya yang masih menyala ke tanah lalu berlari sekencang-kencangnya. Polisi di belakangnya tak bereaksi sama sekali dan diam beberapa saat karena kaget melihat Parrak yang tiba-tiba saja berlari. Setelah tersadar, polisi itu segera berlari mengejar Parrak. Maka, dimulailah kejar-kejaran mereka yang mirip kucing mengejar tikus. Lebih tepatnya, keadilan mengejar kejahatan.

Parrak berlari menyusuri jalan raya lalu tiba-tiba berbelok masuk ke dalam lorong kecil di sebuah pemukiman. Polisi yang mengejar mengikuti Parrak masuk ke dalam lorong tersebut. Namun, tiba-tiba Polisi itu kaget alang kepalang. Parrak tiba-tiba menghilang begitu saja dalam lorong tersebut. Benar-benar hilang tanpa bekas! Polisi tadi terhenti di lorong kecil yang gelap dan sunyi itu. Ia terdiam dan bingung dengan apa yang tengah terjadi. Seharusnya Parrak tepat ada di sana. Matanya tidak mungkin salah melihat Parrak yang berlari memasuki lorong itu! “Ke mana itu orang?” katanya dalam hati sembari bernapas terengah-engah. Polisi itu tetap berdiri di sana sambil memegang pinggang, kebingungan seperti orang bodoh sampai ia mendengar derap langkah kaki dari belakangnya. Langkah kaki itu terdengar mendekat dengan cepat. “Siapa?” tanya Polisi itu berbalik. Namun, terlambat baginya, sebuah pisau dengan cepat meluncur ke arahnya.

Lihat selengkapnya