PARRAK berlari dan terus berlari. Dirinya yang selalu tidak meninggalkan bukti atau jejak apapun di TKP kini benar-benar melakukan kesalahan. Parrak tak pernah menyangka bahwa gelang yang sebelumnya ia kira hilang di kamar mandi rumahnya ternyata berada di tangan polisi. Gelang itu berhasil direbut Cukka ketika ia membunuhnya. Kini gelang itu menjadi barang bukti bahwa dialah yang telah menikam Cukka. Sembari terus berlari, Parrak yang sedang panik sesekali memalingkan pandangannya ke arah belakang. Mengamati seorang polisi laki-laki berkumis lebat yang sedang mengejarnya. Polisi berkumis lebat itu tampak sangat menakutkan baginya. Seperti kejaran malaikat maut yang ingin mencabut nyawanya dan membawa ia ke neraka.
Tiba-tiba Parrak teringat sesuatu. Ia mengeluarkan ponselnya sambil terus berlari dengan cepat. Berusaha lolos dari kejaran polisi laki-laki berkumis lebat tadi. Di tengah usahanya untuk melarikan diri, Parrak teringat bahwa ia harus segera menghapus foto Cukka yang diambilnya secara diam-diam ketika di rumah sakit. Foto itu bisa menjadi salah-satu bukti yang menguatkan dirinya sebagai pembunuh Cukka. Meski polisi sudah memiliki gelangnya sebagai bukti, namun setidaknya ia bisa menghilangkan barang bukti lainnya. Selain itu, Parrak berfikir bahwa untuk saat ini ia harus melarikan diri terlebih dahulu. Di satu sisi dirinya mungkin khawatir dengan Canik, namun di sisi lainnya ia sangat percaya bahwa polisi akan menjaganya. Parrak benar-benar merasakan dua rasa yang kuat: khawatir sekaligus panik.
Parrak terus berlari sembari berfikir cara untuk melarikan diri dari polisi yang mengejarnya. Sedang polisi berkumis lebat yang mengejarnya benar-benar menguncinya sebagai target pengejaran. Matanya tajam bagai binatang pemangsa yang mengunci target buruannya. Polisi itu berlari tanpa terlihat letih sedikitpun. “Berhenti!” teriaknya terus tanpa henti. Parrak tak menghiraukan peringatan polisi berkumis lebat itu. Ia terus berlari mengikuti nalurinya untuk melarikan diri dari apapun yang berkaitan dengan polisi. Baginya, polisi adalah musuh yang pada suatu kesempatan harus dihindari dan pada kesempatan lainnya harus dihadapi. Parrak pada kesempatan ini memilih untuk menghindarinya.
Beberapa menit berlalu sejak aksi kejar-kejaran antara Parrak dan polisi berkumis lebat itu dimulai. Jalan demi jalan mereka lewati dengan kecepatan yang hampir sama seperti dua buah peluru yang ditembakkan dengan jeda waktu hanya satu detik saja. Lama-lama, Parrak mulai merasa kelelahan dan kehabisan napas. Lututnya terasa sakit serta keringatnya menetes dan terus menetes. Pikirannya pun kacau dan tak bisa berfikir jernih. Parrak panik karena sedari tadi tak mendapat ide atau lebih tepatnya tak bisa melarikan diri. Ia benar-benar telah menemui jalan buntu! Adapun polisi di belakangnya masih terus mengikutinya seperti bayangan. Polisi berkumis lebat itu sama sekali tak menampakkan rasa letihnya sedikitpun meski keringatnya juga terus saja menetes. “Sundala[1]! Tidak capek itu polisi?” kata Parrak dalam hati. Polisi berkumis lebat yang mengejarnya terus mengamati dengan sorot mata yang tajam dari belakang. “Tidak akan kubiarkan kau lolos!” kata polisi itu dalam hati seakan menjawab Parrak. Perlahan tapi pasti, polisi berkumis lebat itu semakin mendekati Parrak yang mulai melambat karena kelelahan.
Parrak terus dikejar polisi berkumis lebat tadi. Dekat dan semakin dekat saja. Sampai pada sebuah perempatan jalan, Parrak mulai putus asa dan sempat memikirkan untuk menyerah. Tepat ketika ia memikirkan untuk menyerah, tiba-tiba saja di depannya muncul seorang perempuan berambut panjang. Perempuan itu berjalan dari arah sebelah kiri perempatan jalan. Parrak tak sempat menghindar karena terlalu fokus pada polisi yang mengejarnya. Tabrakan pun tak terhindarkan lagi antara Parrak dan perempuan berambut panjang tadi. Kaget karena menabrak seorang perempuan, ditambah melihat polisi yang mengejarnya semakin dekat, Parrak dengan secepat kilat mengambil pisau lipat dari saku celananya. Ia lantas menarik perempuan itu, mendekap lehernya dari belakang dengan tangan kiri dan menodongkan pisau ke leher perempuan itu dengan tangan kanannya. “Berhenti! Kalau tidak kubunuh ini perempuan!” teriak Parrak keras kepada polisi berkumis lebat yang mengejarnya. Mendengar ancaman itu, polisi berkumis lebat berhenti dan segera mengeluarkan senjata api miliknya: revolver kaliber 22 isi 8 peluru. Polisi itu lantas mengarahkan senjatanya ke arah Parrak. Adapun perempuan yang disandera Parrak terus-menerus menangis, berteriak meminta tolong dan meronta dengan sekuat tenaga. Ia berusaha melepaskan diri dari Parrak. Seketika suasana menjadi mencekam dan orang-orang yang berada di sekitar perempatan itu pun berlarian mencari perlindungan. Ada juga yang malah tinggal dan menonton kejadian itu.