CANIK terbaring diam dalam ruang unit gawat darurat. Sedari tadi dokter yang ditemani beberapa perawat terus memeriksa keadaannya. Dokter serta perawat-perawat itu memakai pakaian serba hijau dan masker. Mereka khawatir dengan keadaan Canik yang semakin memburuk saja. “Gawat! Detak jantungnya semakin lemah!” kata seorang perawat kepada dokter berkacamata di sebelahnya. Dokter itu pun melirik ke arah layar elektrokardiogram (EkG) di samping ranjang. Garis layar di sana tiba-tiba menjadi agak lurus. Pertanda buruk! Artinya detak jantung Canik semakin lemah. “Kasih keluar defibrilator!” kata dokter itu dengan nada sedikit tinggi. Perawat di dekatnya dengan sigap mengeluarkan defibrilator dan memberikannya. Dokter perempuan itu pun dengan cekatan saling menggosokan kedua lead dari defibrilator itu lalu meletakkan kedua lead-nya di dada Canik. Percobaan pertama detak jantung Canik masih tak kembali. Percobaan kedua, masih belum berhasil. Percobaan terakhir, detak jantung Canik masih saja belum kembali. Dokter dan beberapa perawat yang ada di sana akhirnya terdiam. Mereka menyerah seperti telah menemukan gunung besar yang tak mungkin mereka daki. Gunung besar itu tak lain adalah kematian.
*
“Woiii! Apa mupikir?” tanya Cukka.
“Ehhh, tidak ada!” jawab Canik tersadar dari lamunannya. Ia memandang sekitarnya. Tempat yang tidak asing baginya. Lapangan Pancasila namun tampak sepi dan aneh. Orang-orang, kendaraan, burung-burung dan serangga sama sekali tak ada yang terlihat. Mereka hanya berdua di sana. Di bawah langit yang terlihat sangat cerah biru membiru. Selain itu, rumput serta pepohonan di sana sangat hijau dan penuh energi kehidupan. Cukka yang duduk di sampingnya pun terlihat sangat sehat dan penuh semangat.
“Annik, sebenarnya saya suka sama kamu!” kata Cukka tiba-tiba, sembari terus menatap langit. Canik seketika kaget dan memandang Cukka. Ia tak pernah menyangka Cukka akan mengatakan hal itu. Mengatakan bahwa ia sebenarnya menyukai dirinya. Canik masih terdiam dan tak percaya dengan yang baru saja di dengarnya.