Dua Rasa

Ali Wardani
Chapter #18

Tertangkap

“KAU pelakunya toh? Cepat mengaku!” bentak seorang polisi berwajah seram kepada Parrak. Polisi itu memakai pakaian serba hitam dengan beberapa bekas luka di wajahnya. Ia terkadang berbicara dengan nada tinggi dan terkadang pula dengan nada yang rendah. Matanya tajam memandang Parrak yang berada tepat di depannya. Polisi itu juga sangat lihai bersilat lidah dan bermain kata-kata. Benar-benar seorang polisi bagian interogasi yang terlatih.

“Bukan saya, Pak? Memang ada buktinya?” sanggah Parrak. Ia masih tak mau mengaku tentang perbuatannya yang membunuh seorang wanita dan intel polisi. Terlebih ketika ditanya tentang keterlibatannya dalam sindikat pembunuh bayaran, Parrak benar-benar tak mau mengaku. Polisi itu pun mulai resah dengan tingkah laku Parrak.

Polisi berwajah seram tadi mengeluarkan sebungkus rokok, mengambilnya sebatang, menyalakannya dengan pemantik dan mengisapnya dalam-dalam. “Mau rokok?” kata polisi itu menawarkan rokok kepada Parrak. Ia lantas menaruh rokok dan pemantiknya ke atas meja persis di depan Parrak. Menerima tawaran polisi seram itu, Parrak lantas mengambil sebatang rokok dari meja di depannya, menyalakannya dan juga mengisapnya dalam-dalam.

“Begini, baiknya kau mengaku saja. Saya janji, hukumanmu itu nanti kita ringankan,” kata polisi berwajah seram itu sambil memegang rokoknya yang masih mengeluarkan asap. Parrak yang mendengar tawarannya lantas memegang rokoknya lalu membuang abunya ke asbak.

“Bagaimana mau mengaku, Pak? Bukan saya pelakunya!” kata Parrak.

“Terus, kalau bukan kau! Kenapa kau lari pas polisi datang ke rumahmu?” kata polisi itu lagi mulai menyudutkan Parrak.

“Saya kaget itu, Pak! Saya trauma sama polisi karena dulu bapakku pernah ditembak polisi. Padahal hanya salah paham!” kata Parrak. Ia berbohong tentang traumanya terhadap polisi. Parrak benar-benar ahli menghadapi interogasi polisi. Tak sedikitpun dirinya terlihat sedang berbohong. Padahal jika orang biasa, ia pasti sudah mengaku dari tadi karena tekanan polisi. Parrak benar-banar terlatih untuk berbohong. Kini ia berbalik menyudutkan polisi.

Polisi berwajah seram itu mulai kebingungan. Ia tak mendapat sedikitpun informasi atau tanda-tanda bahwa Parrak sedang berbohong kepadanya. Terlebih, dari penyelidikan polisi menyatakan bahwa tak ada bukti yang menguatkan Parrak adalah pelaku dari dua kasus pembunuhan kemarin. Satu-satunya bukti pada kasus pembunuhan pertama yaitu botol minuman isotonik yang sama sekali tak memuat sidik jari ataupun petunjuk yang menyatakan Parrak adalah pelakunya. Rekaman CCTV dari sekitar warung tempat pembunuhan itu juga tak memperlihatkan sama sekali bahwa Parrak telah melakukan kejahatan pembunuhan. Rekaman itu hanya memperlihatkan bahwa Parrak berada di sekitar tempat itu ketika pembunuhan terjadi. Selain itu, gelang yang ditemukan di kasus pembunuhan kedua tidak dapat dibuktikan bahwa pemiliknya memang adalah Parrak. Parrak mengaku tak pernah memiliki gelang itu. Huruf P di gelang tersebut dapat berarti apa saja. Sedangkan Canik yang seharusnya dapat membuktikan siapa pemilik gelang itu sedang dalam keadaan kritis di rumah sakit. Anehnya pula, pada pembunuhan yang kedua, polisi tak menemukan sidik jari atau barang bukti lain termasuk pisau yang digunakan Parrak. Polisi benar-benar telah menemukan jalan buntu.

Parrak menyadari bahwa polisi tengah kebingungan. Mereka tak mendapat bukti apapun. Parrak merasa telah berada di atas angin. Tawanya dalam hati benar-benar keras bukan main. “Hahaha, polisi bodoh!” teriak Parrak dalam hatinya. Ternyata, keputusannya menghapus semua daftar kontak dan gambar di ponselnya merupakan keputusan yang bagus. Polisi sama sekali tak memiliki petunjuk. Akhirnya setelah sejenak berfikir, polisi berwajah seram tadi berdiri dari tempat duduknya. Ia mematikan rokok yang diisapnya kemudian berjalan keluar dari ruang interogasi. Meninggalkan Parrak sendiri.

Lihat selengkapnya