AWAN hitam menggulung di langit luas. Bersahabat dengan suara gemuruh keras yang memekakkan telinga. Angin pun tak mau kalah dari langit yang semarak itu. Berembus kian menjadi-jadi dan menerbangkan apa saja yang dilaluinya. Pohon-pohon cemara bergoyang menyambutnya terpaksa. Tak berselang lama, rerintik hujan pun turun membasahi bumi. Deras dan semakin deras saja setiap menitnya. Membawa kehidupan baru dari musim yang penuh dengan prahara. Para binatang, tumbuhan, bahkan yang paling berbahaya dari mahluk lain–manusia–pun saling bersuka cita. Mereka menyambut air dari langit itu dengan tak henti-hentinya berzikir penuh syukur kepada Sang Maha Pencipta Kehidupan.
“Ukka, Uk..!” kata Canik meneteskan air matanya. Membuat pipinya yang merah merona jadi basah. Ia memandang sedih gundukan tanah di depannya. Gundukan tanah yang jauh di bawahnya terbaring orang yang paling dikasihinya. Di kedua ujung gundukan tanah itu tertancap kuat nisan kayu yang unik berhias ukiran tanaman di pinggirnya. Salah-satu nisan itu bertuliskan, “Kullu nafsin za iqatul maut,” yang kurang lebih terjemahnya, “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati!”. Sedang di nisan yang satunya lagi tertulis jelas sebuah nama, “Cukka”. Canik terus menangis memandang dan memegang nisan itu. Ia bahkan tak peduli dengan hujan yang turun membasahi tubuhnya. Canik tetap duduk di sana bersama perasaan luka yang mendalam.
Air hujan tiba-tiba berhenti bagi Canik. Tubuhnya tak merasakan tetesan air padahal hujan masih cukup deras. Cukup deras untuk membuat segala benda di sekitarnya menjadi basah. Canik kebingungan sampai ia menyadari sesuatu. Ada yang melindunginya dari tetesan air hujan! Canik berbalik memeriksa sekitarnya. Ia melihat sebuah payung hitam di atas kepalanya bersama dengan tangan yang memegangnya. Canik melirik untuk melihat wajah dari pemilik tangan itu. “Kak Buacik!” kata Canik melihat wajah pemilik tangan itu.
“Sudahlah, ikhlaskan dia!” kata Buacik sembari duduk di samping Canik.
“Kak!” lirih Canik.