BUNGA-bunga kamboja menyambutku dengan khidmat. Memancarkan kesan dua rasa yang kuat: indah dan menyeramkan pada saat yang sama. Angin dingin pun perlahan menyeruak di antara pohon-pohon bunga kamboja itu. Memberikan kesan sunyi yang teramat dalam. Perlahan aroma melati yang kuat tercium dari dalam komplek pemakaman. Membawa pesan kematian yang amat mencekam. Aku memandang perlahan setiap batu nisan di samping kiri kanan jalan. Batu-batu nisan yang tampak tak terawat. Beberapa terlihat hijau lantaran diselubungi lumut yang tebal, beberapa lainnya amat terabaikan: retak, pecah dan tak lagi berbentuk. Seolah menyampaikan isyarat bahwa tempat itu bukan untuk orang-orang yang masih hidup sepertiku.
Aku berjalan menjauh dari sebuah gerbang yang bertuliskan, “Pemakaman Litak Mariri,” di atasnya. Tulisan itu dibuat dengan menulisnya menggunakan cat putih pada papan yang ditaruh di atas gerbang. Membuatnya terlihat sangat jelek lantaran termakan rayap dan lapuk karena cuaca. Satu-satunya kesan indah dari gerbang tua ini adalah beberapa tanaman merambat berbunga yang melingkar di kedua tiangnya yang juga terlihat rapuh dan sepuh. Aku berdalih tidak peduli. Sembari sesekali menenggak kopi kemasan, aku berjalan mencari-cari sebuah kuburan yang menjadi tujuan kedatanganku. Kuburan itu tak lain adalah kuburan kawanku, Cukka.
Aku berjalan perlahan mendekati sebuah kuburan. Kuburan yang tampak masih baru dengan nisan kayu yang bagus. Kuburan itu terletak beberapa puluh meter dari gerbang masuk yang suram tadi, persis dekat pagar pembatas komplek pemakaman. Kuburan itu tak lain adalah kuburan Cukka, kawan baikku. Beberapa hari yang lalu ia tewas terbunuh oleh kriminal yang diselidikinya. Meski sama-sama seorang polisi, aku dan Cukka bertugas di tempat yang berbeda. Aku sendiri bertugas di Makassar, sedangkan Cukka di kota Palopo. Kami sering berkumpul bersama jika tidak sedang dalam pekerjaan, dengan kata lain saat liburan. Bermain futsal, bersenda gurau di Warkop, menggoda gadis cantik di tengah kota Palopo, berenang ke pantai, jalan-jalan ke Tana Toraja dan masih banyak lagi yang kami lakukan bersama. Aku dan Cukka sudah seperti saudara kandung.
Semakin dekat dengan kuburan Cukka, aku melihat seorang perempuan. Perempuan yang berpakaian hitam sama sepertiku hari ini. Perempuan itu duduk menghadap kuburan Cukka. Aku berjalan pelan mendekatinya dari belakang. Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Perempuan itu menaruh setangkai bunga mawar dan sebuah kertas di atas kuburan Cukka lalu menegadahkan tangan ke langit. Jelas ia sedang berdoa untuk Cukka. Setelah berjarak sekitar dua meter darinya, aku berhenti. Melepaskan kacamataku dan terus memandangnya dari belakang penuh tanda tanya. Setelah beberapa saat, perempuan itu berdiri dan berbalik. Entah ia ingin pulang atau menyadari keberadaanku.
“Berdoa?” tanyaku.
“Iya, temannya Ukka?” tanya perempuan itu tersenyum. Senyum yang terlihat tak alami, tidak ada kerutan di sekitar matanya ketika tersenyum. Terlihat jelas bahwa dirinya masih dirundung duka yang dalam.
“Iya,” jawabku singkat. “Saya tidak sempat datang waktu dia dikuburkan, saya berada di tengah kasus berbahaya!” tambahku menggaruk-garuk kepala.
“Ukka pasti senang, ada temannya datang,” kata perempuan itu tersenyum lagi. Setelah sedikit memperbaiki kacamatanya yang sedikit basah akibat air mata, ia lalu pergi bergitu saja. Meninggalkanku sendiri di kuburan Cukka.