Aku melihatnya untuk ke sekian kali. Wajah cantik itu kini cemberut masam. Tapi, aku bisa apa? Aku ingat dulu, ketika kami kecil, Raya pasti akan merajuk saat tidak dibagi kue atau es krim yang kubeli dari penjual keliling.
Akan kubagi semua yang kupunya, karena di mata ini dia hanya bocah enam tahun yang selalu bertengkar denganku apabila diabaikan apa yang jadi maunya.
Tapi, kini. Aku tidak bisa membujuk atau merayunya lagi. Dia benar-benar terlihat murka. Padahal baru satu tahun kami tidak bertemu. Rasanya wanita berhijab di depanku ini ingin meledak bak bom waktu. Namun, Raya masih tampak menahan segala emosinya.
Kedua keluargaku selesai bercakap, merundingkan hal yang sebenarnya aku pun enggan melakukan. Malam ini, tidak kusangka akan menjadi awal permusuhan bagi kami berdua.
Kudekati Raya yang duduk di meja makan. Kusapa lembut, walau tak berbalas. Dia melirikku tajam. Batinnya mungkin sedang memakiku.
Hari ini, Ibu memaksa untuk melamarkan Raya menjadi istriku. Aku sendiri tak bersedia,akan tetapi dia adalah Ibuku, perintah dan permintaannya sungguh adalah sesuatu hal yang tak kuasa untuk ditolak.
Wanita 28 tahun di hadapanku ini pun, bukan lagi remaja yang bisa disetir apa maunya. Dia punya pegangan dan arah tujuan sendiri, begitu pun aku.
"Mau pulang?" tanyanya tegas, dengan tangan kanan diletakkan di meja dan tangan kiri memegang pinggang.
"Iya, maaf ya ...," ucapku kebingungan.
Zeezz.
Tatapannya membuatku ragu untuk mendekat.
"Pulang aja!" selorohnya terdengar kesal. Salah ngomong? Batinku bingung.
"Aku gak mau nikah sama kak Radit ya. Kamu itu udah kayak kakak kandungku. 20 tahun kita tetanggaan. Tega kamu, Kak!" ujarnya berdiri lalu melewati tubuhku.
Sudah kuduga, dia pasti menolaknya. Selain tetangga, kami adalah dua teman yang selalu bertengkar untuk hal sepeleh. Apa kubujuk saja Ibu untuk membatalkan perbincangan malam ini? Sebelum acara lamaran benar-benar dilaksanakan nantinya? Entahlah, aku mendadak bingung.
Terserah Ibu saja.
***
Pagi ini matahari masih sama, aku membuka jendela seusai mendengarkan Ibu yang membaca beberapa lembar ayat suci Al-Quran. Sehabis subuh memang sering kusempatkan waktu untuk menyimak suara merdu ibu. Walau tak taat, setidaknya lewat Ibu, aku masih bisa mengingat siapa Sang Pencipta.
Empat rumah ke kiri dari rumahku adalah rumah yang berhadapan dengan rumah Raya. Kesan suram semalam masih terasa. Hanya melihat dari kejauhan saja, aku bisa merasakan atmosfer abu-abu telah mengelilingi rumah bercat kuning itu.
Ibu sedang duduk di hadapan meja makan, ketika kuhampiri ia nyaris tak berkedip. Entah di mana jiwanya saat ini?
"Ibu?"
"Eh!" ujarnya menoleh dengan wajah sendu.
"Masih kepikiran masalah semalam ya?" Aku bertanya sembari memegang tangannya.
"Iya, Ibu gak nyangka Raya kekeuh menolak lamaran Ibu. Ibu itu maunya Raya yang jadi menantu. Kok ya, susah banget sih." Suaranya bergetar.