Siang semakin panas, udaranya membuat siapa pun akan berkeringat parah. Beruntung, bank selalu dingin.
Ponselku terus berdering, nama Raya terpampang nyata di jendela ponsel. Rasanya aku berat mengangkat telepon dan mendengar entah ocehan apalagi yang akan dilemparkan Raya kali ini.
"Pak Radit!" Steven memanggil. Lelaki berkulit putih salju, blasteran Selandia Baru itu mengetuk mejaku.
"Apa?"
"Ada Mbak Raya tuh," tunjuknya ke arah luar gedung.
Di balik kaca, aku bisa melihat perempuan berbaju putih, rok lipit-lipit berbahan sifon warna pink muda dengan tas mini berwarna mint tersilang di pundaknya, tas yang sering kudengar dari Ibu bernama clutch. Tas aja namanya sok keren banget.
Ia sibuk melepas pasangkan ponsel dari telinga, sambil sesekali melambai sembarang. Salahnya sendiri berdiri di blank space, Raya pasti tidak bisa mengintip ke dalam karena jendela dilapisi kaca film.
Alih-alih mengangkat panggilan teleponnya, aku memilih berjalan menuju pintu masuk bank dan keluar menemuinya.
"Sibuk banget ya sampai gak bisa angkat telepon aku?" tanya Raya sambil menunjukku.
"Ya, maap."
"Maaf. Maap, apaan?" ujar Raya memperbaiki pengucapanku yang terlanjur typo karena gugup di depannya. Tapi, aku gugup? Di depan Raya? Kok bisa?
"Kok bengong?"
"Maaf, kok ke sini? Ada urusan apa? Gak ada pasien apa?"
"Aku gantian shift sama temanku, nanti malam aku masuk."
"Ya udah, kita ngobrol di kafe depan sana aja." Aku mengajaknya pergi menjauhi bank. Bisa diketawain Pak Hadi dan Steven nih, kalau Raya ngamuk di sini. Bisa bahaya juga, kalau orang-orang kantor tahu, aku dijodohkan. Malu, udah setua ini masa iya dijodohin. Apa aku nggak selaku itu ya?
***
Raya terus menggigiti sedotan berwarna hijau garis putih, bukannya meminum teh manis, dia malah meniupinya hingga bergelembung. Dasar bocah!
"Gak sekalian mejanya digigitin?" Aku menyarankan. Tapi, Raya malah menatapku dengan sangat sinis. Aku pun mendadak haus dibuatnya dan segera menegak es teh manis yang dipesankan Raya tadi.
Aku masih melihatnya dipenuhi kegugupan. Kebiasaan menggigiti benda dan kukunya akan muncul ketika Raya gugup parah.
"Ekhmm, ekhm!" Raya menatapku seusai menghabiskan tehnya.
"Mau ngomong apa sih? Kamu kan dari tadi malam sampai pagi ini, judes banget. Kita udah kayak nggak saling kenal." Aku memulai pembicaraan, akan tetapi malah melihat ke arah lain. Masih enggan rasanya menatap mata Raya saat bicara. Aku takut mata itu akan memukul kepala ini terlalu keras.
"Soal perjodohan kita!" ringkasnya.
"Apa?"
"Aku mau ngomongin perjodohan yang dibahas Tante Tika sama Mama semalam."
"Ya udah, bahas apa?" Aku menunduk. Apa ini? Mengapa tiba-tiba sekali?