Rea menyeruput sisa tehnya pelan-pelan, berusaha menenangkan diri. Dia merasa campuran antara gugup dan semangat yang tidak biasa. "Aku harus melakukannya," gumamnya pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya yang masih ragu.
Setelah menyelesaikan sarapan, Rea segera mengambil kunci motornya dan mengenakan jaket. Ia memberi hormat pada ibunya sebelum keluar dari pintu depan. Udara pagi terasa segar di pipinya yang masih kemerahan dari bekas luka kecelakaan kemarin.
Setelah perjalanan singkat, Rea akhirnya tiba di depan rumah Tante Vey. Rumah itu terlihat seperti biasa, tetapi kali ini ada getaran aneh yang menghampirinya saat dia mengetuk pintu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Tante Vey muncul dengan senyuman hangat di wajahnya.
"Rea, masuklah, sayang. Aku senang kamu datang," kata Tante Vey sambil memeluknya erat.
Rea merasa lega melihat bahwa Tante Vey terlihat sehat dan bahagia seperti biasanya. Mereka duduk bersama di ruang tamu, sambil menikmati secangkir teh hangat.
"Tante, sebenarnya apa yang ingin Tante bicarakan denganku?" tanya Rea dengan penuh rasa ingin tahu.
Tante Vey mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Ada sesuatu yang ingin aku bagikan denganmu, Rea. Sesuatu yang mungkin akan mengubah pandanganmu tentang hidup dan tantangan yang kamu hadapi."
Rea mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya berdebar-debar. Dia tidak pernah menduga bahwa kunjungannya kali ini akan membawanya pada pengalaman yang begitu mendalam dan berarti.
"Tante, maaf, aku baru bisa datang hari ini," celetuk Rea begitu mereka duduk bersama di ruang tamu rumah Tante Vey.
Tante Vey melihat dengan cermat bekas luka di pipi Rea. "Kamu kenapa kemarin?" tanya Tante Vey dengan nada khawatir.
"Aku kecelakaan kemarin, sebagian tubuh terlindas oleh ban mobil," jawab Rea sambil menunjukkan bekas luka yang berbentuk seperti motif ban mobil di pinggang kirinya.
Tante Vey terkejut dan menepuk-nepuk tangannya di dada. "Astaga! Bagaimana keadaan kamu sekarang? Apakah sudah sembuh?"
Rea mengangguk. "Sudah lebih baik, Tante. Ini masih sedikit memar, tapi tidak apa-apa."
Mereka berdua duduk di ruang tamu yang nyaman, di mana aroma teh hangat dari cangkir di atas meja mendominasi udara. Tante Vey menatap Rea dengan penuh perhatian sebelum akhirnya berkata, "Rea, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu hari ini. Ini berkaitan dengan perjalanan hidupmu dan cara kita menghadapi tantangan yang datang."
Rea mendengarkan dengan serius, matanya terpaku pada Tante Vey. Dia merasa bahwa kunjungan ini memiliki arti yang jauh lebih dalam dari sekadar keinginan Tante Vey untuk bertemu.
"Ada momen dalam hidup kita di mana kita dihadapkan pada pilihan," lanjut Tante Vey, suaranya hangat. "Kadang-kadang, itu adalah pilihan yang menakutkan. Tapi kamu harus ingat, Rea, bahwa di balik setiap pintu yang kamu buka, ada peluang untuk tumbuh dan belajar."
Rea merenungkan kata-kata Tante Vey dengan hati yang penuh getir. Dia merasa bahwa kunjungannya hari ini bukan hanya sekadar mengobrol ringan, tetapi sebuah panggilan untuk meninjau kembali cara dia melihat hidupnya sendiri.