Di kamar tidurnya yang sederhana, Rea duduk di tepi tempat tidur sambil menatap kumpulan foto yang tersebar di meja samping. Malam itu, pikirannya dipenuhi dengan ingatan tentang masa lalu dan semua peristiwa yang telah terjadi. Ia merasa seperti anak kecil yang tersesat, bingung dan tidak tahu arah.
Rea memikirkan kembali tentang bagaimana ia dulu bertemu dengan Ayah dan Bunda barunya. Ia bertanya-tanya mengapa mereka begitu baik kepadanya, meskipun ia bukan anak kandung mereka. Mengapa mereka memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus? Mengapa mereka menerima Rea dengan tangan terbuka setelah semua yang terjadi?
Dia teringat kenangan indah saat bersama Ayah dan Bunda baru, kebersamaan di meja makan, tawa yang dibagikan, dan perhatian yang selalu mereka berikan. Tetapi di balik semua kebahagiaan itu, tersimpan rasa bingung yang mendalam.
"Kenapa mereka mau baik kepada aku?" tanya Rea pada dirinya sendiri, sambil menggenggam erat foto-foto itu. "Apa yang membuat mereka begitu peduli padaku?"
Di tengah kebingungan itu, Rea teringat lagi pada tante Vey dan ancaman dari pria asing. Semua peristiwa ini terasa seperti teka-teki yang belum terpecahkan, dan ia merasa terjebak di tengah-tengahnya.
"Apakah aku benar-benar tahu siapa yang bisa kupercayai?" pikir Rea dengan khawatir. "Bagaimana aku bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sekelilingku?"
Dengan rasa cemas yang semakin dalam, Rea memutuskan untuk mencari jawaban. Ia tahu bahwa ia perlu melanjutkan penyelidikan dengan hati-hati, tetapi juga harus memahami dirinya sendiri dan hubungan yang ada di sekelilingnya. Hanya dengan mengungkap kebenaran tentang kelompok rahasia dan motivasi orang-orang di sekelilingnya, Rea bisa menemukan arah dan memahami makna dari semua yang terjadi.
Rea memutuskan untuk berbicara lagi dengan Meta dan mendiskusikan semua perasaannya, serta merencanakan langkah selanjutnya. Meskipun jalan di depan tampak kabur dan penuh tantangan, Rea bertekad untuk menghadapi segala sesuatu dengan keberanian dan tekad, demi menemukan kebenaran dan melindungi dirinya dari ancaman yang mengintai.
Setelah berjam-jam berlarut-larut dalam pikirannya, Rea akhirnya merasa lelah dan terlelap di tempat tidurnya. Suara nafasnya yang lembut dan teratur menandakan bahwa ia akhirnya bisa beristirahat meskipun pikirannya penuh dengan keraguan dan kekhawatiran.
Di luar kamar, ibunya, Ibu Mira, perlahan membuka pintu kamar Rea dan masuk dengan langkah lembut. Melihat Rea yang tidur nyenyak, Ibu Mira merasa campur aduk antara kekhawatiran dan kelegaan. Ia mendekat dengan hati-hati dan duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan putrinya dengan penuh kasih sayang.
Ibu Mira menyentuh dahi Rea dengan lembut, memastikan bahwa putrinya tidak demam atau mengalami masalah kesehatan. Dengan lembut, ia mengusap rambut Rea dari wajahnya, lalu duduk dengan tenang, mengamati ketenangan wajah anaknya.
"Anakku," bisiknya dengan penuh kasih, "aku tahu kamu sedang melalui banyak hal yang sulit. Tapi ingatlah, apapun yang terjadi, aku selalu ada di sini untukmu. Kita akan melalui semua ini bersama-sama."
Tiba-tiba, ponsel Ibu Mira bergetar di saku. Ia mengeluarkannya dan melihat pesan dari seorang teman lama yang menawarkan dukungan dalam menghadapi situasi sulit ini. Pesan itu mengingatkannya betapa pentingnya memiliki jaringan dukungan dalam masa-masa sulit.
Dengan hati-hati, Ibu Mira menatap kembali ke arah Rea yang masih tidur. Ia merasa terdorong untuk berbicara dengan Rea tentang semua yang terjadi, namun ia tahu bahwa saat ini yang terbaik adalah membiarkan Rea beristirahat. Keesokan paginya, ia berniat untuk berbicara dengan Rea tentang apa yang terjadi dan menawarkan dukungan lebih lanjut.
Sambil menunggu saat yang tepat untuk berbicara, Ibu Mira bangkit dari tempat tidur dan menyiapkan teh herbal di dapur, berharap bahwa momen keheningan ini akan memberikan sedikit ketenangan dan kejelasan. Ia bertekad untuk lebih memahami perasaan Rea dan mendukungnya dalam mengatasi semua tantangan yang ada.