“AKHIRNYA!” teriak Byan Nugra di depan laptopnya. Cukup mengejutkan Nemo Antara yang sedang menyeruput secangkir kopi saset di sisi lain ruangan. Sambil membawa minumannya Nemo bergegas mendekati Byan. Tapi apes, sikunya menyenggol sandaran kursi dan menumpahkan isi cangkir ke bajunya sendiri.
“Biaaang!” teriaknya. “Asu kowe!”
Yang diumpat tertawa terbahak-bahak. Byan sudah biasa—dan sudah sangat rela—dipisuhi sahabatnya itu setiap kali ia tertimpa kesialan. Nemo punya ratusan kosa kata umpatan yang ia kumpulkan dari seluruh penjuru dunia, khusus ditujukan untuk Byan.
Byan selalu senang kalau Nemo mengumpatnya. Selain senang karena melihat ekspresi lucu dari Nemo, juga karena menambah perbendaharaan katanya. Makin sering Nemo mengumpatinya, makin akrab mereka.
Sudah, nanti bikin lagi,” tukas Byan. “Cepat ke sini kau.”
Byan memperlihatkan akun Instagram @maafin milik mereka kepada Nemo. “Kita dapat klien pertama, Nemo. Akhirnya pecah telur juga setelah dua tahun kita buka usaha ini.”
Wow! Wow! Woooow!” Nemo tidak percaya tapi tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. “Mudah-mudahan ini menjadi pertanda berakhirnya seluruh kesialan yang mengikutimu.”
Byan menjabat tangan Nemo. Mereka lalu berangkulan.
Byan menarik tangannya dari tubuh Nemo dan menunjukkan sebuah cincin di jari manis tangan kirinya. Sebuah cincin bertahtakan batu citrine. Warna kuningnya sedap dipandang mata. Byan meyakini batu itu berkhasiat menangkal kesialan dan mendongkrak keberuntungan.
"Ah, pantas. Akhirnya kau beli juga?”
"Ya. Baru kemarin aku beli. Segala upaya perlu dicoba, bukan?”
“Oke, oke… Sekarang apa langkah selanjutnya?” tanya Nemo.
Byan sekali lagi membacakan direct message dari @kembangmawar di akunnya.
Dear MaafIn, namaku sebut saja Mawar. Aku tertarik mencoba jasa yang kalian tawarkan. Tapi kita perlu ngobrol lebih dulu. Kalau mau, besok pukul 07.30 kalian aku ajak sarapan bubur gudeg di Warung Yu Darmi sebelah barat Alun-alun Kidul. Kita ngobrol di sana. Salam.
“Sikat, Broo….” kata Nemo senang.
Ketika Byan dan Nemo datang, Warung Yu Darmi sudah ramai pembeli. Seluruh bangku dan kursi penuh terisi. Di luar warung juga banyak yang rela menjadi waiting list. Maklum ini adalah hari Minggu. Waktu yang tepat buat orang-orang berolahraga pagi dan menutup aktivitas olahraganya dengan berburu kuliner. Selain itu masakan gudeg Yu Darmi memang sangat populer bagi masyarakat Jogja.
Byan dan Nemo tidak tahu bagaimana mencari Mawar. Akun Ig @kembangmawar baru dibuat, belum ada postingan, dan foto profilnya pun menggunakan foto bunga matahari.
Sekarang mereka berdua harus mencari jarum dalam setumpuk jerami.
“Klien pertama, dan merepotkan….” Nemo mengeluh.
Byan hanya nyengir. “Mau tidak mau kita harus menanyai satu per satu setiap perempuan yang ada.”
Nemo memandangi sekelompok orang yang antre di depan warung. Ada tujuh orang, tiga di antaranya perempuan. Mereka bercengkerama satu sama lain. Rupanya mereka satu komunitas sepeda.
Baru saja melangkahkan kaki kanannya hendak menanyai mereka, tiba-tiba Nemo menepuk jidatnya sendiri. Ia menarik Byan yang hendak masuk ke dalam warung.
“Tunggu, Biang!” katanya. “Tentu saja kita tidak perlu bersusah payah menanyai satu per satu cewek yang ada di sini.”
“Lah, terus? Kau mau berteriak saja di depan pintu biar semua orang menertawakan kita? Aku permisi pulang saja kalau begitu.”
Nemo tidak merespons gurauan Byan. “Dengar. Kalau kita lihat dari akun Ig-nya, keinginannya menyewa kita, dan nada pesannya di DM, bisa kita asumsikan Mawar akan datang sendiri. Jadi, kita mencari perempuan yang datang ke sini sendirian.”
Byan mengangguk setuju. Ini salah satu yang ia suka dari Nemo. “Cukup cerdas.”
“Kok cuma cukup?”
“Kan bisa jadi juga dia datang dengan seorang teman, misalnya. Tapi okelah, setidaknya kita bisa mempersempit pencarian. Kita utamakan dulu menanyai perempuan yang datang sendirian. Betul, Bro?”
Nemo mengangguk.
Mereka masuk ke dalam warung kecil berdinding kayu itu dan mulai menebar pandangan.
“Kau menyisir dari kiri depan, aku dari kanan depan,” kata Byan.
“Aku rasa tidak perlu,” jawab Nemo.
Byan bingung. Ia melirik Nemo yang tampak sedang menatap ke bagian belakang warung sambil memicingkan matanya.
Byan mengikuti arah pandangan Nemo. Di sana tampak empat orang duduk di sebuah bangku kayu panjang. Tiga orang lelaki duduk berjajar sambil makan dan ngobrol, dan seorang perempuan duduk berjarak dengan mereka. Ia sedang diam bersandar pada dinding.
“Kau yakin dia orangnya?” tanya Byan.
“Entahlah. Tapi aku punya dugaan. Dia bukan kawan tiga cowok di sebelahnya. Sepertinya dia sedang menunggu makanannya datang atau sudah selesai makan.”
“Atau dugaan ketiga, dia sedang menunggu yang dia undang datang—yaitu kita—sebelum memesan makanan,” timpal Byan.
Byan dan Nemo berpandang-pandangan. Mereka langsung berjalan ke arah sasaran. Langkah mereka makin mantap ketika melihat kaus yang dikenakan perempuan itu bergambar bunga mawar merah.
“Tidak salah lagi,” bisik Byan yang dijawab dengan sebuah gumaman oleh Nemo.
Perempuan itu terlihat heran melihat ada dua orang cowok mendekat sambil memandangi dirinya. Dan mereka sekarang berdiri persis di depannya.
“Mawar, kami MaafIn,” sebut Byan.
“Apa?” Si perempuan tambah heran.
“Kami MaafIn,” Nemo memperjelas dengan membesarkan volume suaranya.
“Memangnya aku sudah berbuat apa kepada kalian?”
Byan dan Nemo saling berpandangan.
“Eeee… anu, Mbak…. Mawar kan?” tanya Byan.
‘Mawar’ hanya tertawa sambil melihat gambar di kausnya.
Ketiga lelaki di samping perempuan itu menghentikan obrolannya dan melihat ke arah Byan dan Nemo. “Siapa mereka, Sayang?” tanya salah satunya yang duduk persis di samping perempuan itu.
“Entahlah. Tapi untungnya aku tidak memakai kaus bergambar anjing. Ha ha ha….”
Kini puluhan pasang mata memandang ke arah mereka.