Langkah Lyra kian cepat berlari di koridor. Hari senin, menjadi hari kutukan bagi semua anak sekolah, tak terkecuali bagi Lyra. Padatnya jalan ibukota di pagi hari, masih menjadi alasan utama dia terlambat pagi ini.
"Hai kamu! Jangan lari, kamu itu ya, selalu aja bandel!" Lyra mendadak berhenti saat suara itu datang dari belakangnya.
Dia mengangkat kedua tangan ke atas tanda menyerah. Rasanya dia seperti buronan yang sudah tercyduk polisi.
Baru saja ingin berbalik, satu tangan besar menarik tangannya yang masih terangkat ke atas. Dia di bawa lari oleh seorang pemuda tak di kenal. Namun, entah mengapa Lyra malah mengikutinya. Bukan berteriak atau setidaknya berhenti.
Lyra belum bisa melihat wajah pemuda yang ada di depannya itu. Hanya deruan napas cepat yang dapat dia dengar. Deruan itu terdengar memburu dan tampak sangat lelah.
"Hei kalian mau kemana?! Bukannya ikut upacara malah kabur!" Lyra menoleh ke belakang, di sana sudah ada seorang guru lelaki bertubuh gemuk. Di tambah dengan brewok yang menghiasi wajahnya.
Guru itu berlari sambil menunjuk-nunjuk ke arah mereka. Sebenarnya Lyra ingin tertawa saat melihat pemandangan itu. Keadaan guru itu yang berisi dengan perut buncit, tampak seperti bola yang menggelinding. Uppsss..
"Eh eh lepasin, lo ngapain sih narik-narik gue?!" Lyra menarik tangannya dari genggaman pemuda itu.
Karena tak kunjung dilepaskan, Lyra mengambil langkah nekat untuk menggigit tangan pemuda itu. Berhasil, pemuda itu langsung berhenti.
"Arghh—Lo?!"
"Lo?!"
Mereka kompak menunjuk dengan tatapan yang sama-sama kurang mengenakkan. Lyra menatapnya nyalang sedangkan Altair menatapnya tajam.
"Lo ngapain gigit tangan gue?!" tuding Altair yang sesekali masih meringis karena kesakitan.
"Lo yang ngapain tadi narik-narik gue?!" Lyra mendorong bahu Altair sampai terhuyung ke belakang.
"Eh eh, masih mending gue tolongin. Lo mau di hukum?!" balas Altair menyolot
"Lebih baik gue di hukum karna telat daripada di hukum karna lari sama lo!" Lyra mendelik tajam ke arah Altair tanpa rasa takut.
"Hey kalian! Ngapain di situ?" Seruan guru tadi membuat mereka gelagapan. Spontan Altair kembali menarik tangan Lyra dan membawanya pergi.
Bodohnya gadis itu kembali mengikuti. Meskipun kesal, dia tidak punya cara lain untuk kabur dari guru itu.
Tanpa sengaja, Lyra melihat pintu bertuliskan 'gudang'. Dia pun menarik tangan Altair yang masih menyatu dengannya. Mereka masuk dalam gudang yang kebetulan tidak terkunci. Keduanya kompak menghela napas lega sesaat setelah memeriksa keadaan sekitar.
Lyra ingin mengelap keringat di pelipisnya. Namun, saat mengangkat tangannya, ternyata masih bertautan dengan Altair. Keduanya saling berpandangan dengan tangan yang saling menggenggam di depan wajah. Buru-buru Lyra melepaskannya duluan dan mencibir Altair, "modus."
"Lo tuh yang modus, ngajak gue ke gudang," balas Altair.
"Lo jangan pikir macem-macem yah?! Gue cuma mau nyelametin kita!" teriak Lyra tidak terima.
"Kita?" Altair menatapnya sambil menyeringai sinis.
"Ralat! Lo dan gue bukan kita."
"Terserah." Dengan santai, Altair menyandarkan punggungnya ke dinding gudang, sedangkan Lyra masih was-was. Takut jika guru tadi menemukan mereka dan memberikan hukum lebih berat.
"Sampai kapan kita—maksud gue, sampai kapan lo dan gue di sini?" Lyra membuka pembicaraan lagi.
"Terserah lo, gue mah gampang. Sampe lusa juga bisa," jawabnya cuek
Lyra semakin kesal dengan pemuda yang berada bersamanya ini. Dia merasa tidak sanggup berada satu tempat dengan Altair lagi. Bahkan belum sampai satu jam saja, rasanya dirinya ingin mengumpat dan menyumpah-serapahi pemuda itu.
"Ya udah gue duluan," nyolotnya sebelum pergi.
Baru saja membuka pintu gudang itu, sudah ada seseorang yang berdiri di depannya. Membuat mata Lyra terbelalak dengan mulut yang menganga lebar.
"Nah, mau lari kemana lagi kamu!" guru itu mengacak pinggang di depannya