Lyra memijat pelipisnya karena merasa pusing. Catatan, tugas kelompok dan juga presentasi besok, membuat kepalanya ingin pecah. Dia bahkan harus melewatkan jam makan malam bersama keluarga Altair hanya karena tugas sekolahnya ini. Namun, cacing di perutnya sudah meronta-ronta meminta makanan. Tak ada gunanya juga tetap bertahan dalam kamar. Bukannya selesai, yang ada nanti malah tambah hancur karena perutnya yang kelaparan.
Gadis itu pun memilih keluar dari kamar dan mencari sesuatu di dapur. Waktu baru menunjukkan jam sembilan malam. Seharusnya masih ada sisa makan malam, itu pun jika mereka tidak melupakannya.
Matanya terbelalak saat membuka tudung saji di meja makan. Kosong melompong tidak ada makanan, bahkan nasi saja tidak ada di bakul. Apa orang di rumah ini setega itu padanya?
"Mama pergi, Ila juga pergi. Jadi enggak ada makanan."
Lyra berbalik dan menemukan Altair yang berdiri, sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dengan santai.
"Terus sekarang gimana? Enggak makan gitu?"
"Mama udah kasih duit buat kita beli makanan. Gue mau beli makanan di luar, lo mau ikut enggak? Kalo enggak, ya udah pesen di Go-foot aja." Belum juga menjawabnya, Altair sudah berspekulasi sendiri.
"Gue ikut! takut kalo sendirian di rumah," cicitnya
"Ya udah lo pake jaket sana. Di luar dingin, entar kalo masuk angin! Gue juga yang repot."
"Iya bawel," sembur gadis itu sebelum berbalik.
Berselang beberapa menit, Lyra kembali dengan sweater yang terpasang di tubuhnya. Sedangkan piyama yang dia kenakan tadi tidak diganti. Lyra sangat malas berganti pakaian jika perutnya sudah lapar seperti ini.
"Lo mau beli makanan apa?" Lyra mengikuti langkah Altair yang baru saja keluar pekarangan rumah, menuju jalanan komplek.
"Gue mau beli nasi goreng di depan. Lo mau apa?"
"Samain aja deh."
"Enggak punya ide lain atau kelaparan sih lo? Tumben mau-mau aja," kata Altair sarat dengan nada mengejek.
"Gue nurut salah, enggak nurut juga salah. Emang kalo gue mintanya bakso urat, lo mau beliin?!" balas Lyra dengan ketus.
"Ya tinggal pesen aja, lo hidup jaman apaan sih? Itu aja di bikin ribet." Altair balas mencibir, sedangkan gadis di sampingnya itu hanya memicingkan mata kesal.
"Semerdeka lo aja deh. Gue males debat kalo perut laper." Gadis itu mengibaskan tangannya ke udara. Mengakhiri perdebatan yang menurutnya tidak berfaedah sama sekali.
Gerobak nasi goreng yang dimaksud Altair tadi, sudah di depan mereka. Letaknya di depan taman komplek, memang tak jauh dari rumahnya. Gerobak itu berbentuk sederhana dengan tempat duduk lesehan. Hanya lampu-lampu taman yang menjadi penerangan selain lampu kecil di gerobak itu sendiri.
"Lo duduk aja duluan, biar gue yang pesenin."
Lyra mengangguk singkat dan duduk di tempat kosong. Dari tempatnya, dia bisa melihat Altair sedang mengantri bersama beberapa pembeli lain. Diantaranya ada ibu-ibu, anak muda seumurannya, dan anak kecil dengan umur kisaran tujuh atau delapan tahun.
Karena bosan, Lyra mengecek ponselnya yang sedari tadi berdering. Dugaannya benar, jika pesan-pesan yang masuk itu berasal dari grup chat sekolahnya. Apalagi yang mereka bicarakan jika bukan gosip tentang dirinya yang berangkat bersama Altair tadi pagi.
Saking kesalnya, Lyra membanting ponselnya atas meja. Bersamaan dengan itu, muncul Altair dengan dua piring nasi goreng di tangannya.
"Kenapa lo?"