'Cause if one day you wake up
And find that your’re missing me
And your heart starts to wonder
Where on this earth I can be
Thinking maybe you’ll come back here
To the place that we’d meet
And you’ll see me waiting for you on the corner of the street
So I’m not moving...
(The Script – The Man Who Can’t Be Moved)
Lelaki itu masih tenggelam dengan bacaan di tangannya. Dunia bahkan seolah diam saat dia memilih untuk menyendiri di pulau yang dia ciptakan sendiri, dunia yang dia sebut sebagai ‘tempat bertapabertapa'. Yang lain tidak akan mendapat perhatian saat dia memutuskan untuk memasuki tempat persemediannya. Bahkan hentakan kaki yang tergesek di atas lantai tidak akan pernah dia pedulikan. Yang paling penting baginya adalah deretan kata yang kini mengisi kertas polos di hadapannya.
Layaknya seorang kutu buku, sebuah lensa besar menempel di wajah lelaki itu. Jika dilihat sekilas, mungkin sudah minus tiga. Kesan itu menambah daftar keluguan dalam dirinya.
“Mungkin dia hanya menjadikan tumpukan buku-buku di hadapannya sebagai simbol.”
“Atau pelarian atas sifatnya yang aneh itu.”
“Mungkin saja itu hanya caranya untuk menghilang dari dunia yang memang tidak menginginkan kehadirannya.”
Lelaki berbadan tegap—yang duduk di ujung ruangan berdiri dengan tatapan sinis. Matanya hampir saja menelan bulat-bulat dua mahasiswa yang sejak tadi mendesis tak karuan di ruangan perpustakaan. Semua pembicaraan itu tentu saja tertuju pada pemuda yang sedang asik membaca buku di sudut sana. Lelaki itu tahu betul apa yang sedang dipersoalkan oleh dua mahasiswa bodoh itu. Dan lelaki itu juga tahu siapa pemuda yang kerap menyendiri di pojok. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka tentu saja tertuju untuknya.
“Untuk kelompok sosialita, sebaiknya tidak memilih ruangan ini untuk membahas hal yang tidak penting. Masih banyak tempat dengan ruang lebih besar yang bisa kalian jadikan untuk menggerutu tentang hal yang tidak pasti,” tegas si pustakawan. Suaranya pelan namun begitu jelas. Bahkan suara itu pula yang berhasil mengusir dua makhluk yang sedari tadi berisik dalam ruangan. Menggunjing tentang si kutu buku, dan mencoba membangunkannya dari tempat pertapaan.
Sebagai penunggu perpustakaan, tugas si pustakawan salah satunya adalah membuat suasana menjadi lebih kondusif serta melenyapkan suara-suara yang mampu memecahkan konsentrasi para pengunjung.
Sementara pemuda yang sedari tadi sibuk dengan buku-buku besar di hadapannya, hanya bisa melongo, menatap mereka dalam hitungan menit kemudian kembali fokus. Sesaat pemuda itu merogoh ranselnya dan meraih earphone kemudian menutup telinganya dengan benda itu. Tanpa ada pemilihan yang fanatik, sebuah lagu muncul dari balik earphone.
Sebuah lagu yang kemudian membawanya jauh berkelana. Tenggelam dalam satu cerita yang hanya dia ketahui sendiri. Hampir setengah hari pemuda itu mendekam dalam ruangan itu, namun belum ada tanda-tanda baginya untuk pergi.
Sejujurnya dia belum pernah beranjak dari kisah masa lalu yang kelam. Bahkan hingga kini, ingatan itu masih saja membekas segar dalam benaknya.
Namanya Ed. Entah apa kepanjangan dari nama itu pada kartu identitasnya. Sosok inilah yang sedari tadi tenggelam di balik buku-buku tebal di ruang perpustakaan. Sembunyi di balik buku-buku tebal, merupakan cara dia untuk menghabiskan waktu. Menghindar dari dunia yang selalu saja mengolok-olok keberadaannya. Sembunyi di ruangan ini adalah cara Ed untuk tidak memedulikan waktu. Menjauh dari dunia yang selalu saja meniadakan keberadaannya.
“Ed,” kata lelaki berbadan tegap di ujung sana. Lelaki itu yang sedari tadi duduk manis di singgasananya sembari mengotak-atik keyboard komputernya, lelaki yang akan memutar-mutar pena di jemarinya saat dia tidak lagi fokus dengan pekerjaannya. “—masih di sini?”
Ed mengangkat kepala, memperbaiki letak kacamata minus di wajahnya. “Maaf, Pak! Saya terlalu menikmati buku ini.”
“Bacaan apa gerangan yang membuatmu jatuh cinta kali ini?” tanya pria itu. Kemudian dia mendekat, tersenyum kecut setelahnya dan mengelus-elus kumis tipis yang menghias di atas bibirnya.
“Ah, aku tidak percaya ini,” kata pria itu kepada Ed.
Ed menoleh sembari membaca air muka si penunggu perpustakaan.
“Kupikir hingga saat ini, aku menyukai semua karangan Mitch Albom,” tuturnya.
“The First Phone from Heaven, Five People You Meet in Heaven...”
“And Tuesdays with Morrie, of course,” sergah pria itu.