Kisahmu, harimu ku tahu semua
Tanpa kamu berujar aku selami
Gerakmu, guraumu kemasan raga
Tanpa kamu sadari aku pahami
(Tulus – Mengagumi Dari Jauh)
Mimpi hanyalah bagian dari imaji yang begitu menyenangkan untuk dipikirkan. Menjadi yang terbaik suatu saat dalam hidupmu juga merupakan cita-cita segelintir orang yang sepanjang hari bergelut menyelami waktu hanya untuk satu kata; keberhasilan.
Sementara masa lalu adalah halaman usang dari satu kisah kehidupan. Bisa saja dia berhenti tanpa harus diingat kembali saat masa depan mulai menapaki jejaknya dalam kehidupan. Namun kebanyakan dari kisah lampau itu akan terus membekas walaupun banyak cara yang dilakukan untuk menghapusnya. Salah satu pemeran penting dalam proses itu adalah sesuatu bernama kenangan.
Sama seperti Ed. Pemuda berpenampilan cupu yang kesehariannya dibalut oleh kemeja free size. Kacamata minus yang menempel di wajahnya melengkapi predikat culun yang selama ini tak pernah lekat dari dirinya.
Ed berjalan pelan memasuki ruangan perpustakaan. Seperti perpustakaan pada umumnya, ruangan itu sepi seperti tempat bertapa yang letaknya jauh dari hiruk pikuk keramaian kota.
Berjarak beberapa meter dari pintu utama tampak Setiawan, pustakawan yang selalu setia dengan pulpen di jarinya. Lelaki yang saat tidak fokus selalu saja memutar bolak-balik pulpen di tangannya.
“Bagaimana tidurmu tadi malam, Ed?”
“Saya insomnia berat, Pak!” jawab Ed seraya melempar senyum termanisnya kepada pria itu.
Saat berjalan menuju kursi yang selalu menjadi tempat pilihan Ed, Setiawan mengekorinya dari belakang. Perlahan batas yang memisahkan keduanya seolah terputus begitu saja. Kini mereka lebih layak disebut teman. Teman senasib yang memiliki banyak kesamaan. Seperti masa lalu, impian, hobi hingga kekaguman pada penulis buku yang sama.
"Masih penasaran dengan penyiar radio yang kemarin saya ceritakan?”
Ed melongo, sejenak ia membenarkan kacamatanya. Bahkan jantungnya berdebar memburu saat wajah Setiawan begitu dekat dengannya. “Justru saya tidak bisa tidur karena ingin tahu cerita di balik kasut bapak,” ucap Ed lirih.
"Ah, semenjak kemarin kita terlalu fokus dengan masa lalu. Terkadang, tabu rasanya jika membuka lembaran kisah yang telah usang. Tidak ada jawaban untuk itu sekarang. Kesempatanmu untuk mengetahui itu sudah habis,” dalihnya.
“Maafkan saya, Pak.” Mulut Ed terkunci otomatis oleh rasa bersalah.
“Coba kamu lihat pemuda yang duduk di sudut sana,” kata Setiawan kemudian.
Mata Ed langsung saja mengarah pada seseorang yang tengah khusuk di sudut ruangan. Wajahnya menunduk fokus dengan buku yang sedang dilahapnya. Sesekali pemuda itu hanya mengerutkan wajah bahkan menggaruk-garuk kepala. Hal itu terjadi berulang-ulang. Entah karena kepalanya dipenuhi banyak ketombe atau pemuda itu sedang sesak buang air, Ed tidak mengerti.
"Ada apa dengan pemuda itu, Pak?”
“Namanya Jo, anak Fakultas Sastra Inggris, semester lima.”
Ed berpikir lagi.
“Masih ingat dengan penyiar bersuara merdu?”
Ed menggeleng.
“Dialah orangnya.”
“Pasti tipe pemuda seperti dia banyak diidamkan oleh wanita,” kata Ed seraya memperhatiakn dirinya sendiri. Setumpuk rasa sesal kemudian muncul seketika dalam benaknya.
Seketika Setiawan melirik Ed aneh. “Kamu ingin berkenalan dengannya?” tanya Setiawan.
“Rasanya tidak pantas, Pak” jawab Ed merendah. Sesaat kemudian, Ed mengoreksi penampilannya. Rambut panjang disisir menyamping, bekas minyak rambut yang dia kenakan masih terlihat jelas di kepala. Beralih ke bawah, sebuah kacamata minus tiga menempel di wajahnya yang bulat. Kemeja bergaris yang dikancing hingga bagian teratas menutupi lehernya. Serta celana jins denim yang menjadi tempat persembunyian bagian kemeja bagian terbawah, menyempurnakan predikat polosnya.
“Hei! Dia ramah, saya yakin Jo adalah tipikal teman yang baik.”
Ed mulai berpikir, aneh rasanya saat tiga orang laki-laki terlibat dalam hubungan yang rasanya sesensitif saat membicarakan banyak hal tentang lelaki lainnya. Bahkan dia mulai risih dengan kekaguman yang muncul di mata si pustakawan, Setiawan. Juga senyum aneh yang tiba-tiba membuncah di bibir tipisnya ketika matanya masih bertumpu pada pemuda asing yang duduk di sudut sana. Hal tersebut membuatnya semakin tidak nyaman.
“Sepertinya tidak perlu, Pak,” tiba-tiba dia teringat dengan dirinya sendiri. Selama ini dia hanya menjadi pusat kutuk bagi banyak orang di sekitarnya, terutama para mahasiswa di kampus itu. Rasa percaya dirinya menciut seketika tatkala mengingat tentang dirinya sendiri. Jangankan teman berwajah menarik, bahkan orang berwajah buruk sekalipun enggan dekat-dekat dengan sosok aneh sepertinya. Inilah alasan Ed memilih bersembunyi di ruangan ini saat waktu luang. Hanya Setiawan yang tampak ramah saat ini dengannya. Meski dia tidak tahu apa alasan lelaki itu untuk memilihnya sebagai teman bicara. Bagi Ed, Setiawan hanya menempatkannya sebagai gambaran masa lalu yang belum sirna dari otaknya. Bukan teman sejati yang suatu hari akan berubah menjadi sahabat.
***
Kota ini sudah seperti mesin waktu yang tidak pernah berhenti. Saat malam hampir merambat tua, masih saja terdengar hingar-bingar yang cukup mengganggu. Ketika pagi kembali datang, kamu bukan orang pertama yang akan menghirup udara segar. Bahkan saat itu udara sudah tidak lagi bersahabat.
Ed pulang ke kos hampir maghrib. Salah jika dia memilih jam pulang dari kampus seperti saat itu. Dan yang terjadi adalah dia harus terjebak dalam bus karena kemacetan kota. Sebagai mahasiswa yang tidak populer di kampusnya, Ed memilih jauh dari banyak anak di kampusnya. Misalnya, menghabiskan waktu kosong saat dosen tidak masuk di sudut yang jarang dikunjungi oleh mahasiswa lain di perpustakaan, memilih sedikit telat masuk kelas setelah jam kuliah dimulai, dan duduk paling belakang dalam deretan kursi yang ada di kelasnya.
Menjadi lain dari pribadinya yang sekarang tidak mudah ia lakukan. Laiaknya makan makanan lezat yang terletak di atas meja, makanan itu tidak akan langsung menggugah seleramu. Kadang perasaan sedih itu kerap menghampirirnya tatkala pikirannya kembali ke masa lalu. Meski besar dalam keluarga yang lebih dari cukup, tidak lantas membuatnya tumbuh menjadi sosok bocah yang bisa dalam segala hal. Meski dia adalah anak tunggal dalam keluarganya, tidak langsung bisa membuatnya memiliki segalanya. Dalam kesendirian, Ed juga terkadang menyesali ketiadaan saudara kandung dalam hidupnya. Jika dia memiliki saudara, mungkin banyak hal yang akan diperolehnya untuk memperoleh hidup lebih baik dari hidupnya yang sekarang.
Mata Ed mengedar ke luar jendela bus. Hawa panas membuat kota ini tampak sangat gersang. Aktivitas di jalan kota yang semuk membuat otaknya ikut ruwet. Posisinya yang berdiri akibat penumpang bus yang meruah membuat tangannya pegal. Hingga seseorang yang dikenalnya, (pernah dilihatnya lebih tepat) tampak tersenyum padanya dan mengisyratkannya untuk duduk di dekatnya dengan sisa tempat duduk yang tidak terlalu lebar. Sepertinya pemuda itu bisa membaca kegelisahan dalam pikiran Ed.
Ed menolak halus dengan gelengan di kepala. Dengan bentuk tubuh yang lebar tidak mungkin rasanya berbagi tempat duduk dengan pemuda itu. Namun tanpa disangka, pemuda itu bangkit berdiri dan mengisyaratkan Ed untuk duduk.
“Gue sudah mau sampai. Duduklah!” ucapnya ramah.
“Tidak merepotkan?” tanya Ed khawatir.
“Tentu saja tidak.”
Mereka bertukar tempat. Tanpa sepengetahuan pemuda itu, mata Ed terus saja memperhatikannya. Tiba-tiba saja pikirannya teringat pada Pak Setiawan. Pembicaraan yang terjadi di antara mereka siang tadi benar-benar terbukti sekarang. Setidaknya pemuda bernama Jo ini baru saja menunjukkan sikap solidaritas yang tinggi terhadapnya sekalipun mereka belum mengenal satu sama lain.
Tanpa diduga, Ed dan Jo turun di tempat yang sama. Mungkin saja takdir tengah berusaha untuk mendekatkan mereka berdua. Dia ingin keduanya mengenal lebih jauh atau mungkin menjadikan keduanya teman bicara yang pas suatu hari.
“Thanks untuk kebaikan lo,” kata Ed tulus.
“Tidak masalah. Gue rasa itu masih wajar,” jawab Jo sembari tersenyum manis penuh persahabatan.
Keduanya berjalan menelusuri gang dan mulai terlibat dalam permbicaraan. Banyak hal yang mereka bicarakan hingga tidak sadar keduanya telah tiba di tempat kos.
“Lo tinggal di sini juga?” tanya Jo kaget.
Ed mengangguk.
“Mengapa baru terlihat sekarang?”
“Gue lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, perpustakaan dan tempat yang asing bagi banyak orang,” jawab Ed gamang.
“Mengapa bisa begitu?”
“Ceritanya panjang.”
“Katakan jika itu perlu,” kata Jo. Kemudian pemuda itu menatap Ed, ragu. Rasanya sedikit janggal jika tawaran seperti itu meluncur begitu cepat dari bibirnya. Sebagai dua orang yang baru saja saling mengenal tidak pantas jika dia langsung ingin tahu hal-hal pribadi tentang Ed.
“Nanti saja jika lo sudah punya banyak waktu,” kata Ed.
“Sepetinya gue punya. Kecuali jika kamu memintanya saat malam hari. Karena saat semua orang hampir memejamkan mata, aku masih saja berkoar-koar di meja siar,” jelas Jo.
“Lo penyiar?” tanya Ed pura-pura tidak tahu. Sebenarnya dia dia sudah tahu banyak tentang pemuda yang sekarang tengah tersenyum aneh kepadanya.