Dua Sisi

Johanes Gurning
Chapter #3

Tentang Luka

So come on let it go

Just let it be

Why don’t you be you

And I’ll be me

Everything that’s broke

Leave it to the breeze

And I’ll be me

(James Bay – Let it G 



Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu tiga bulan ini, hujan mengguyur langit Jakarta.

Ed duduk termangu menyaksikan titik-titik hujan yang jatuh dari atap dan tertimpa di atas tanah. Dalam genggamannya masih mendekam ponsel berwarna hitam dengan layar lebih kurang lima inchi. Dan seluruh pengoperasiannya didominasi dengan sistem sentuh.

Tanpa disadarinya, Jo juga tengah melakukan hal yang sama di seberang kamarnya. Matanya tentu saja tertuju pada Ed dan melambaikan tangannya ke arah Ed yang disertai senyuman. Dari balik jendela kaca kamarnya, suara Jo beradu dengan suara hujan. Teriakannya memanggil-mangil Ed namun rasanya sia-sia karena suara hujan lebih besar dibandingkan dengan suaranya.

Wajah Ed belum berubah meski senyum Jo masih tersungging dari seberang sana. Ada yang sedang dipikirkan olehnya. Belakangan keduanya sudah mulai tampak akrab. Menyempatkan waktu untuk berkisah satu sama lain tentang banyak hal. Ed baru tahu jika Jo memiliki kisah rumit di masa lalu. Dan Jo baru tahu jika Ed adalah pribadi yang menyenangkan ketika mereka menemukan satu topik pembicaraan yang bisa membuat keduanya terpancing untuk saling terlibat.

Nekat, Jo menerobos hujan dan kini telah berdiri di depan pintu kamar Ed. Namun pemuda itu tak kunjung bergeming. Tatapannya masih saja fokus pada titik-titik hujan.

Sekali lagi Jo melambaikan tangan dari balik jendela dan di saat itulah Ed sadar jika Jo sudah ada di sana sedari tadi.

Ed melongo.

Jo melambaikan tangan sekali lagi.          

 “Semua baik-baik saja, Ed?” tanya Jo curiga saat wajah Ed muncul di balik pintu.

Yeah! Seperti yang lo lihat”

Keduanya kemudian duduk di beranda yang letaknya hanya beberapa meter dari posisi kamar Ed. Riak hujan masih saja melompat hingga menyentuh kaki keduanya.

"Lo menyukai hujan?” pertanyaan pertama yang muncul di bibir Jo.

“Tidak.” Mata Ed masih terus tertuju pada air hujan yang jatuh dari atap dan terbawa arus dalam selokan. Memandangannya begitu khusuk bukan berarti dia begitu menyukainya. “Bagaimana dengan lo?”

“Gue menyukai hujan sama seperti adik kecil gue.”

“Lo punya adik?”

Jo mengangguk. “Namanya Aska. Bocah kecil pengagum senja dan selalu memfavoritkan hujan.”

Wow! Berapa usianya?”

“Lima tahun.”

“Anak kecil penyuka hal-hal ajaib semacam senja adalah anak yang tingkat imajinasinya tinggi. Lo pernah tanya jika besar nanti dia mau jadi apa?”

Jo tertawa kecil serupa seringai. “Jangan tanya. Suatu saat dia ingin menjadi seorang arsitek. Aska selalu bilang sama gue suatu saat dia ingin membangun gubuk impian di tepian Danau Toba. Sedikit menggelikan memang jika teringat mimpi konyol itu,” kata Jo menjelaskan.

Ed ikut tertawa. “Impian yang luarbiasa menurut gue.”

“Bagaimana dengan lo?”

Mata Ed masih milik titik-titik hujan. Ada kisah tersembunyi yang dia simpan di balik hujan. Sesaat matanya berpaling dari hujan dan memperhatikan raut wajah Jo. Pandangan itu tak lebih dari sebuah pertanyaan yang kemudian muncul dalam otaknya; bisakah lo gue percaya?

“Gue terlahir sebagai anak tunggal yang tidak diharapkan, Jo.”

“Maafkan gue, tapi gue--”

Lihat selengkapnya