Dua Sisi

Johanes Gurning
Chapter #4

Dering Telepon di Malam Hari

When you try your best but you don’t succed

When you get what you want but not what you need

When you feel so tired but you can’t sleep

Stuck in reverse

Lights will guide you home

And ignite your bones

And i will try to fix you

(Coldply – Fix You)

Sebuah pigura kayu mendekam dalam gengaman Jo. Di dalam pigura tersebut terdapat beberapa foto berukuran kurang lebih lima inci.Foto-foto tersebut sengaja dikumpulkan oleh Jo untuk dijadikan hadiah ulang tahun bagi Aska. Saat mendengar penuturan Pak Surtoni tentang kisah pesta kecil ulang tahun anaknya yang kelima. Juga jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Jo tentang kado yang diberikan oleh pria itu kepada anak semata wayangnya, pada akhirnya sebuah ide muncul dalam benaknya. Ia yakin, adiknya akan sangat senang menerima hadiah tersebut.

Dan dugaannya benar. Saat mengirim kado itu beberapa setelah itu, Aska langsung merengek untuk berbicara dengan Jo lewat telepon.

“Kapan aku bisa melihat abang di radio?” pertanyaan pertama yang keluar darinya.

“Abang janji, suatu saat akan menjemput Aska untuk menunjukkan jika abang sudah menjadi seorang penyiar,” jawaban paling sederhana yang bisa diberikan oleh Jo. Namun ada janji yang harus dia penuh dalam kata-kata itu. Kelak.

Kemudian obrolan itu bergulir pada hal-hal yang biasa mereka perbincangkan. Tentang senja yang mulai ingkar karena sepanjang hari hujan terus mengguyur; tentang langit yang kini berubah warna menjadi hitam; atap-atap penuh debu akibat erupsi gunung Sinabung. Dan bijaknya lagi, bocah kecil itu juga berkisah tentang beberapa tetangga mereka yang memilih untuk hijrah ke tempat lain karena tidak dapat bertahan hidup.

Jo juga memberi jawaban untuk permasalahan yang kelur dari mulut Aska. Kemudian berpesan untuk tetap berharap dan berdoa hingga senja kembali hadir dan tidak akan pernah ingkar lagi.

"Jangan lupa untuk mendoakan abang juga, ya!” pinta Jo.

Dengan penuh semangat bocah itu menjawab, “Oke, Bang!” Mungkin ekspresi itu juga disertai dengan pengacungan jempol di udara. Dan senyum semangat yang selalu terpancar di wajahnya yang polos.

***

Jo keluar dari kamar kosnya. Pemuda itu berjalan menuju beranda dengan langkah gontai. Hujan masih terus mengguyur langit Jakarta dari beberapa minggu yang lalu. Senyum masih tersisa di wajahnya. Sebuah senyum yang bermakna tentang kerinduan. Rindu rumah. Rindu yang tidak tertahankan untuk Aska.

Saat melintas dari depan kamar Ed, pemuda itu memperhatikan pintu yang hanya dikunci sekedarnya dari luar. Tanpa gembok. Itu artinya Ed ada di sini. Berjarak beberapa meter dari tempat dia berdiri, Ed sedang duduk termangu di ujung kursi panjang bercat putih. Tatapannya kosong meski matanya tertuju pada tetes-tetes deras air hujan. Beberapa meter di belakangnya tampak sekumpulan anak kos lainnya. Laki-laki dan perempuan terlihat duduk secara berkelompok. Derai tawa sesekali menghiasi bibir mereka dan kelompok lainnya tampak khusuk dengan bahan obrolan yang sedang mereka bicarakan.

Saat Jo melintas di antara kumpulan itu. Beberapa anak kos perempuan menatap kagum. Dan tak jarang menghadiahi Jo dengan senyuman penuh arti; seandainya lo mau jadi pacar gue.

Jo menepuk pundak Ed. Namun tidak ada ekspresi kaget yang dia temukan. Pemuda itu hanya melihat Jo sekilas kemudian mengembalikan tatapannya pada hujan.

“Ada rencana apa lo hari ini?” tanya Jo.

“Tidur sepanjang hari dan berharap gue nggak bakal bangun lagi.”

Jo tertawa lepas, kemudian menyisakan senyum di wajahnya. “Miris banget hidup lo. Masih pesimis jika besok lo masih bisa bermimpi indah?”

“Mustahil, Jo. Lo aja yang tidak tahu bagaimana hancurnya hidup gue.”

Jo tidak langsung merespon. Perhatiannya dialihkan oleh sosok yang duduk di dekat tangga. Seorang perempuan dengan rambut seperti air terjun Niagara jatuh tepat di bawah pundaknya. Dalam jemari lentiknya terdapat sebuah buku tebal. Gadis itu tampak menikmati bacaan yang tengah dilahapnya. Meski beberapa temannya sedang asik membicarakan sesuatu, gadis itu tidak terganggu sama sekali. Hanya anggukan yang sesekali muncul darinya ketika beberapa teman di sampingnya bertanya.

“Masih banyak orang yang memiliki beban berat selain lo,” kali ini Jo menatap Ed.

“Entahlah. Yang pasti gue tidak bisa berpikir jernih sekarang.”

Wake up, Ed!” kata Jo menyemangati.

“Bukankah gue tadi bilang jika gue ingin tidur dan berharap tidak bangun lagi?”

Jo menggeleng. Kemudian dia berpikir sejenak. Entah jurus apa yang hendak dikeluarkannya untuk membuat suasana hati Ed membaik.

Ed perlu membuka mata lebih lebar lagi dan melihat orang-orang di sekelilingnya. Meratapi hidupnya sekarang yang selalu dicampuri oleh kenangan di masa lalu, hanya akan membuat pemuda itu kesulitan untuk bergerak maju. Dan Jo tengah mencari cara untuk membantu sahabatnya itu.

“Bagaimana keadaan nyokap lo?”

Lihat selengkapnya