Tears of hope run down my skin
Tears for you that will not dry
They magnify the one within
And let the outside slowly die
Remember when it rained
Felt the ground and look up high
And called your name
(Josh Groban – Remember When It Rained)
Hampir satu minggu lamanya Ed tidak menampakkan wujudnya. Entah ke mana pemuda itu bersembunyi. Semua kembali normal, gosip murahan yang kemarin kerap membuat telinga sakit, telah mulai meredup, berita-berita tentang kasus yang dilakukan oleh ibu Ed hampir tak terlihat lagi. Namun Jo belum sepenuhnya menerima. Terutama saat menyadari Ed tidak lagi di sini. Menghilang lebih tepatnya.
Kamar Ed yang selalu menganga, kini diam membisu. Berulangkali Jo berharap melihat Ed di sana dan mengajaknya bicara tentang apa yang terjadi, tentang alasan di balik hilangnya si kutu buku itu. Namun Jo tak kunjung menemukan jawaban setiap kali dia melintas dari depan kamar Ed.
Tempat-tempat yang biasa dikunjungi Ed seolah terlupakan begitu saja. Yang masih kerap dikunjungi oleh Jo hanyalah perpustakaan. Itu pun hanya untuk melakukan riset kecil-kecilan ketika ada tugas dari kampus. Bahkan pembicaraan hangat dengan Setiawan tidak lagi terjadi. Pria itu juga terlihat sibuk belakangan ini dengan tugas yang tidak pernah sepi di atas meja kerjanya.
Dunia seolah bungkam.
Dunia berbeda kini.
***
Hari masih sepi saat Jo keluar dari kamarnya dan menunggu bus di halte. Aktivitasnya sepanjang hari yang cukup padat tidak nyaris membuatnya lemah dan tidak bersemangat.
Sebelum menyiar tadi malam, Jo mendapat telepon dari adik kecilnya, Aska. Jika sudah bicara dengan bocah kecil itu, waktu 20 menit tidak akan pernah cukup. Paling tidak Jo harus menyediakan waktu satu jam untuk meladeni semua pertanyaan yang keluar dari mulut kecilnya. Ceritanya masih sama saja setiap kali menghubungi Jo. Tentang kegiatan menyiarnya, para pendengar yang tergila-gila saat mereka melihat Jo secara nyata, cerita di balik kesendiriannya saat menyiar di malam hari dan masih banyak lagi. Namun ada cerita baru yang membuat Jo sedikit terpukul.
“Adi tidak ada di sini lagi, Bang. Begitu juga dengan Siska. Mereka pindah karena semua ladang mereka sudah tertutup oleh debu. Kata Mama, Tuhan sedang marah,” jelas Aska. Kata-kata itu terdengar polos namun menyesakkan dada. Ada duka yang bergemuruh tiba-tiba muncul dala dadanya. Perih.
Sinabung murka kembali.
Beberapa tahun belakangan gunung itu terlihat marah. Banyak yang kehilangan mata pencaharian. Ladang-ladang yang dulu dihiasi lautan hijau, kini terganti oleh lautan debu vulkanis. Penduduk setempat terlihat mengenakan penutup hidung. Tenda-tenda pengungsian terlihat di beberapa titik. Dan tak sedikit yang memilih hijrah ke tempat lain. Seperti keluarga Adi dan Siska yang direngekkan Aska pada Jo tadi malam. Bocah itu selalu saja memberikan rasa yang berbeda setiap kali berbicara dengan Jo. Namun, di atas semua itu hanya rindu yang datang pada akhirnya. Rindu ingin bertemu. Janji untuk pulang tak kunjung terpenuhi hingga kini. Akan tetapi, Jo pernah berjanji untuk mewujudkannya suatu saat.
***
Pagi tampak begitu tenang, jalanan nyaris lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Seingat Jo, ini bukan car free day. Sedikit aneh saja jika berhadapan dengan suasana seperti ini mengingat kota Jakarta yang terkenal akan kemacetannya.
Dalam kelengangan yang tidak biasa, Jo kembali teringat pada Ed. Entah di mana kini keberadaan si kutu buku itu. Semua pergi begitu saja ketika kedekatan itu sudah mulai terjalin. Dan kenangan demi kenangan mulai menyeruak. Muncul ke permukaan satu persatu.
Kisah yang sama terjadi beberapa tahun silam. Saat seorang gadis muncul secara tidak terduga. Menjalin komunikasi yang baik, terpaut rasa yang tidak biasa, hingga pernah berjanji dalam hatinya sendiri untuk tetap ada dalam situasi apa pun. Namun hanya sesal yang kemudian muncul. Karena saat rasa mulai tumbuh dalam hatinya, gadis itu sirna entah kemana. Bagai ditelan bumi.
Begitu banyak kenangan antara Jo dengan gadis itu. Hingga wajahnya tetap saja terkenang manis hingga kini. Bahkan masih ada harapan dalam diri pemuda itu untuk bertemu dengan gadis bermata cokelat itu, suatu saat.
Hal yang paling sering dilakukan keduanya saat senja adalah menikmati keajaiban itu di belakang rumah Jo. Dan akan semakin lengkap saat Aska datang dan duduk di antara keduanya. Berulangkali Jo memberi kode kepada adik kecilnya itu namun Liana selalu saja mencegah. Menurutnya, keberadaan Aska di antara mereka justru akan membuat suasana sore semakin seru. Hal itu karena ocehan-ocehan bocah kecil itu yang tidak pernah habis. Ada saja pertanyaan yang keluar dari mulutnya yang pada akhirnya membuat mereka tertawa geli.
Pertanyaan semacam, mengapa senja dan hujan tidak pernah berjodoh? Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan semacam itu. Jo dan Liana akan diam beberapa lama hingga memberikan jawaban yang tidak masuk akal kepada Aska. Namun Aska bukanlah tipe anak yang suka menuntut kesempurnaan. Semua jawaban atas pertanyaan yang keluar dari mulutnya bisa saja diterima, meski di hari lain dia akan mengulangi kembali pertanyaan-pertanyaan konyol itu. Dan pada saat itu tiba, Jo hanya menggerutu sedikit kesal dengan tingkah adik kecilnya.
Gadis itu menyukai anak kecil.
Gadis itu menyukai Aska.
Naluri kelembutan yang terpencar dari mata teduhnya selalu saja berhasil membuat Aska betah selama apa pun dia berada di dekat gadis itu. Hal itu juga yang pernah menyentuh relung hati terdalam Jo. Rasa nyaman yang pernah dia rasakan membuatnya yakin jika dia akan tetap bersama dengan gadis itu. Perpisahan yang tak terduga tidak pernah melintas dalam benaknya. Meski pada akhirnya itulah yang terjadi.
Meski kini begitu banyak wanita yang menginginkannya. Berharap bisa menempati hatinya yang kosong. Namun kenangan masih saja menjadi pemilik hatinya, walau sejujurnya Jo tidak ingin mengingat. Liana tak kunjung bisa tergantikan hingga kini. Walaupun kenangan itu sudah terlewat dari beberapa tahun lamanya. Meski telah lapuk, namun akan tetap baru oleh pikiran yang tetap membawanya serta. Dan kenangan-kenangan itu terus muncul tanpa direncanakan—meski Jo berusaha untuk melupakan.
Samar Jo melihat sosok yang tidak asing. Ini bukan kali pertama. Tapi entah di mana, dia lupa. Semakin lama sosok itu semakin mendekat. Aroma tubuhnya seharum melati yang tiba-tiba menyeruak dalam penciuman. Rambutnya yang hitam menambah kesan feminim. Dalam genggamannya terdapat beberapa buku tebal. Dan sebuah tas berwarna cokelat tua melengkapi perannya sebagai seorang pelajar.
Gadis itu mendekat. Lebih dekat ke arah Jo. Matanya seolah bicara; hei, selamat pagi! Meski hanya terlihat lewat senyum yang tersibak dalam beberapa menit.
“Kita saling mengenal?” tanya Jo pada akhirnya.
Gadis itu masih tersenyum.
“Ataukah mungkin saya salah orang?”
“Tidak jika kamu mengingat kembali. Atau memperhatikan sekitarmu lain kali.”
Cukup masuk akal. Terkadang banyak yang protes seperti ini pada Jo. Tentang sifatnya yang sering lupa akan hal-hal sepele. Jo sering lupa meski ia sudah melakukannya atau bertemu dengan orang yang beberapa kali.
Jo kemudian berusaha mengingat kembali, kapan dan di mana dia pernah bertemu dengan gadis itu.
Jo tersenyum lirih yang membuat gadis di sebelahnya salah tingkah. “Lo salah satu penghuni asrama putri, kan?”
Orang yang dimaksud hanya mengangguk kecil.
“Temen lo ke mana?” sepertinya sudah sejak lama gadis itu memperhatikan Ed dan Jo.
“Gue punya banyak teman. Yang mana dulu?” tanya Jo bergurau. Gadis itu tidak terlihat jengah, justru dia tampak tertantang untuk menghadapi pemuda di depannya.
“Si kutu buku.”
“Lo kenal?”