Dua Sisi

Johanes Gurning
Chapter #6

Pulangnya Si Anak Hilang

Some will win

Some will lose

Some were born to sing the blues

Oh, the movie never ends

It goes on and on and on and on

(Journey – Don’t Stop Believing)

 

Ada kecurigaan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran Jo ketika mengingat kejadian tadi malam. Sejauh ini, Jo hanya mengenal Setiawan sebagai seorang petugas perpustakaan di kampusnya. Tidak lebih dari itu. Meski beberapa kali Ed bercerita banyak tentang pria itu. Tentang tingkahnya yang terkadang aneh dan sikapnya yang sulit dipahami, namun Jo tidak bisa menarik kesimpulan tentang pria seperti apa sebenarnya Setiawan. Dan pemuda itu tidak pernah tertarik untuk mencaritahu lebih banyak tentang si pustakawan. 

Sepanjang hari ini Jo terus mengingat-ingat kembali pemandangan di klub tadi malam. Jika Setiawan bukan seperti orang yang ada dalam pikirannya, tidak mungkin pria itu tahu tempat itu. Hingga dia hafal benar acara-acara yang berlangsung sepanjang minggu dalam night club tersebut. Jika Setiawan tidak paham dunia yang tidak masuk akal ini, mengapa pria itu mengajaknya ke tempat seperti itu. Dan... 

Jo tidak habis pikir. Inilah risiko hidup di kota besar seperti Jakarta. Godaan selalu saja mengintai. Dia merasa menjadi sosok paling polos saat mengingat kenyataan tentang dirinya yang tidak tahu apa-apa.

Jo tampak gelisah dalam kamarnya sendiri. Seketika pemuda itu berubah seperti setrika. Bolak-balik di tempat yang sama sebanyak puluhan kali. 

Saat matanya menghadap ke jendela kamarnya, di saat itulah dia menyadari ada seseorang yang tengah mengawasinya dari luar kamar. Mengamati tingkahnya yang aneh dari luar. Wajah itu tidak asing. Beberapa menit lamanya, Jo masih tertegun tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Hingga menit berikutnya kesadaran dirinya kembali dan sontak pemuda itu berlari dan membuka pintu kamarnya.

Sosok berkacamata telah berdiri di depan pintu kamar Jo. Tubuhnya sedikit kurusan saat terakhir kali Jo melihatnya.

"Lo dari mana saja, Kutu buku?” 

Ed menggeleng sembari tersenyum hambar. “Bisa gue masuk?”

“Ogah, ah! Nanti orang berpikir kita ada sesuatu,” ucap Jo bergurau. Tawanya pecah seketika. Namun itu adalah ekspresi kesenangannya saat melihat Ed kembali. Dia tidak menyangka akan melihat wajah bulat Ed di depan pintu hari ini.

Asal kita tidak berbuat mesum aja dalam kamar lo. Gue juga ogah. Lo bukan tipe gue” kata Ed tidak kalah gila.

Jo tertawa lagi. Kali ini lebih lepas dari sebelumnya. Seperti perwakilan rasa bahagia saat tahu Ed telah pulang. Si anak hilang telah pulang.

Sori, kamar gue seperti kandang kebo. Gue habis bergulat dengan guling barusan,” kata Jo.

 “Gue malah udah biasa dengan pemandangan semacam ini. Gue hanya sedikit curiga jika lo bergulatnya dengan guling. Banyak tuh cewek-cewek cakep di asrama sebelah, lo tinggal pilih aja pasti mereka juga rela jika diperlakukan laiknya guling,” ucap Ed geli.

“Lo harus ingat, gue bukan cowok murahan,” gurau Jo. Tawa kembali bergema dalam kamar tersebut.

Kemudian hening.

Mata Jo memperhatikan wajah Ed yang tiba-tiba berubah lusuh. Semendung langit yang hendak disiram air hujan. Kantong mata pemuda itu terlihat sembab dan pucat. Wajahnya terlihat lelah. Dan rambutnya tidak lagi rapi seperti saat terakhir Jo melihatnya. Dan satu lagi, penampilannya kini terlihat lebih berantakan dari sebelumnya.

"Lo habis bertapa di mana?”

“Jaya Wijaya, Jo”

“Gue serius, Ed. Hidup gue nggak asik tanpa lo.”

“Membual lo. Jijik gue dengernya. Jangan-jangan lo ada hati lagi sama gue,” kata Ed bercanda.

“Bukan gue. Tapi cewek dari asrama putri.”

“Di sana banyak cewek, man!”

“Pokoknya salah satu dari penghuni asrama itu. Beberapa hari ini dia nanyain lo terus. Gue sampe bosan liat muka tuh anak,” kata Jo.

“Nyokap gue pada akhirnya dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara dan denda seratus lima puluh juta rupiah. Sebanding menurut gue.”

 Tidak ada kata-kata yang terdengar setelahnya. Jo memikirkan apa yang harus diucapkannya. Jangan sampai kata-katanya menyakiti perasaan sahabatnya kali ini.

“Dan lo pasti sudah tahu. Mengapa gue menghilang selama beberapa minggu.”

“Justru itu yang ingin gue tahu.”

“Bukankah lo sudah lihat headline murahan di setiap stasiun televisi selama beberapa hari? Menurut gue itu sudah cukup memberi lo jawaban atas hilangnya gue,” ujar Ed.

“Lo malu dengan semua orang. Bukankah begitu? Apakah ini semacam pelarian?”

“Itu hanya sekian persen. Sejujurnya, gue hanya ingin menenangkan diri. Mencari tindakan apa yang harus gue lakuin selanjutnya. Jika lo berpikir gue tidak mampu menahan malu atas ulah nyokap gue, lo salah besar. Sebelumnya gue juga sudah merasakan hal yang sama saat bokap gue dituduh melakukan tindakan korupsi. Meski hal itu tidak terbukti, namun muka gue udah kepalang merah saat melihat beberapa orang menatap gue asing.”

Dan itu yang membuat Ed asing di mata banyak orang. Mengutuknya dengan tatapan paling kejam.

Jo melempar sebotol minuman mineral ke arah Ed. “Dan apa yang lo dapat dari persemedian lo selama beberapa minggu ini?”

Ed meneguk air minum. Mulutnya tidak lantas memberi jawaban. Matanya masih tertuju pada daun mahoni yang bergoyang oleh hembusan angin di luar sana.

“Lo akan tetap seperti dulu? Menjadi manusia buruk rupa karena tidak mendapat tempat dalam lingkungan lo sendiri?”

Lihat selengkapnya