It’s my life
And it’s now or never
I aint gonna live forever
I just wanna live while I’m alive
(Bon Jovi – It’s My Life)
Ed sadar saat jam yang teronggok di meja belajar Jo menunjukkan pukul 08:00 pagi. Di sampingnya Jo masih terlelap. Ed yakin, sahabatnya itu pasti baru menikmati tidur nyenyaknya setelah lama memikirkan perbincangan mereka sepanjang malam.
Menurut Ed, perbincangan yang lebih menyita pikirannya adalah tentang si pustakawan, Setiawan.
Saat tiba di dekat pintu, langkah Ed terhenti ketika melihat Jo bangkit sendiri.
“Jam berapa ini?” tanya Jo.
“Jam delapan. Gue ada kelas jam 10, sampai ketemu di kampus,” jawab Ed.
Dari luar dilihatnya Jo seperti orang yang baru saja disengat oleh sesuatu. Reflek pemuda itu berlari menuju kamar mandi dengan langkah terburu-buru. Melihatnya Ed tersenyum kecil. Entah bagaimana jadinya jika hari ini mereka bertemu Setiawan.
***
Saat menuju kamar, mata Ed melihat seorang gadis tengah memperhatikannya. Cukup lama. Sebuah senyum menghiasi bibirnya ketika bertemu pandang dengan Ed. Kemudian senyum itu menghilang di balik pagar besi yang posisinya terletak di seberang kamar Ed.
Tempat kos yang mereka tinggali adalah dua bagian perumahan yang dibagi menjadi dua bagian komplek. Meski pemiliknya adalah sama, namun tempat tinggal untuk wanita dan laki-laki sengaja dipisahkan. Menurut si empunya, hal tersebut untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Masa muda adalah masa yang paling berbahaya, begitu kata si empunya kos setiap kali anak-anak yang tinggal di kos-kosan miliknya meminta lebih.
***
Langit Jakarta tampak cerah saat Jo tiba di kampus. Pengalaman semalam suntuk yang dilakoninya denga Ed adalah satu dari sekian banyak pengalaman yang mungkin tidak akan pernah dilupakannya. Bagaimana tidak, ada pesan yang harus dipelajarinya dari pengalaman Ed selama menghilang. Dan ada yang harus diwaspadai oleh pemuda itu saat mencurigai Setiawan memiliki rahasia yang tidak diketahui olehnya. Setidaknya mereka akan mampu menghindar jika suatu saat mereka terjebak oleh permainan si pustakawan.
Saat melintas dari depan perpustakaan, langkah Jo berhenti. Untuk kesekian kalinya pemuda itu teringat dengan obrolan mereka semalam. Jo teringat Setiawan. Jo sedikit bergidik. Namun dia sudah berjanji untuk menutupinya hingga apa yang tengah ditakutkannya benar-benar terbukti.
“Pagi, Jo!” Langkah Jo tertahan oleh sebuah suara yang bersumber dari belakangnya. Suara yang tidak asing. Suara yang begitu dikenalnya. Saat berbalik, dugaannya benar. Si pustakawan-lah yang kini berdiri sembari tersenyum manis kepadanya.
“Selamat pagi, Pak,” jawabnya sembari membalas senyum pria itu.
“Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan denganmu. Bisa masuk sebentar ke dalam?” tanya Setiawan sembari menyilahkan Jo masuk lebih dulu ke dalam perpustakaan.
Setiawan merapikan tumpukan kertas yang berantakan di atas meja kerjanya kemudian menarik kursinya sedikit ke belakang. Sementara Jo masih berdiri dalam diam di depannya. Menunggu apa yang akan dibicarakan oleh pria itu.
“Apakah kamu sudah tahu tentang...”
“Tentang Ed?” sergap Jo tanpa menunggu apa yang akan keluar selanjutnya dari mulut pria itu.
Setiawan mengangguk. Senyumnya belum juga sirna dari wajah yang kini ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Bisa ditebak jika pria itu sudah tidak bercukur selama beberapa hari. Bulu-bulu itu menunjukkan kesan berkharisma di wajah Setiawan.
“Mungkin bapak tidak percaya, orang yang pertama kali ditemui oleh si kutu buku adalah saya.”
“Wow! Thats great,” kata Setiawan berdecak kagum.
Jo membalas hanya dengan seulas senyum. “Jika tidak ada lagi, saya ingin masuk kelas sekarang, Pak. Beberapa menit lagi, kelas akan dimulai.”
Setiawan mempersilahkan Jo pergi. Namun pemuda itu berhenti saat suara si pustakawan terdengar lagi di belakangnya. “Jo, mungkin sesekali kita harus keluar bertiga,” ucapnya seraya tersenyum ke arah Jo. Namun pemuda itu hanya mengangguk kecil kemudian pergi meninggalkan pria itu.
***
Gedung berlantai tiga dengan posisi menghadap ke sebuah jalan protokol di Jakarta. Bentuknya mengerucut di puncak persis seperti menara membuatnya terlihat begitu megah. Halaman depan ditanami pohon jati yang sudah berusia sekitar sepuluh tahun. Pohon-pohon itu sudah ada sejak kampus ini berdiri sepuluh tahun silam. Pagar besi berwarna cokelat tua setinggi orang dewasa, memagarinya di bagian depan.
Seorang pemuda dengan lengan kemeja setengah digulung terlihat berdiri di depan gerbang utama kampus. Bagian bawah tubuhnya ditutupi oleh jins berwarna hitam yang terbuat dari katun. Tas ransel berukuran sedang juga melekat di pundaknya. Pemuda itu adalah Jo.
Dia harus bicara dengan Ed sebelum terlambat. Bicara tentang keanehan yang mulai terasa dari diri seorang Setiawan. Hampir tiga puluh menit lamanya pemuda itu berdiri di samping gerbang utama, hingga pada akhirnya si kutu buku muncul dengan wajah sumringah.
“Kita harus bicara. Sekarang!” cegat Jo tanpa basa-basi ketika Ed muncul di hadapannya.
“Hati-hati, nanti penggemar lo menyangka kita ada hubungan apa-apa. Lo tidak ingin dipandang asing seperti gue selama ini, kan?” kata Ed sembari melepaskan tangan Jo dari pundaknya. “Lo mau ngomong apa?”
“Ini tentang Setiawan.”
“Gue sudah duga, lo bakal terus meguntit gue untuk membahas masalah ini. Lo beneran penasaran atau lo suka sama si pustakawan itu?” gurau Ed. Terik mentari siang itu berhasil memunculkan bulir-bulir keringat sebesar biji jagung di dahinya. Tanpa sungkan pemuda itu malah membersihkannya dengan sebelah tangannya sendiri.
“Gue tidak mengerti. Lo sedang tidak waras atau sedang menjodohkan gue dengan pria aneh itu. Sepertinya lo begitu bersemangat jika gue jadian dengan pria itu,” kata Jo tidak mau kalah.
Ed tertawa lebar kemudian meninju dada Jo, pelan. “Gue bakal restuin lo jika harus memilih pria itu.”
“Husss! Sedari tadi kita sedang membahas apa, sih?”
“Lo sedang mempertimbangkan apakah akan menerima perasaan Setiawan atau tidak, kan?” Ed tak kunjung serius menanggapi perkataan Jo.
“Stop, Ed. This is a big problem.”