Anytime you need a friend
I will be here
You’ll never be alone again
So don’t you fear
Even if you’re miles away
I’m by your side
So don’t you ever be lonely
Love will make it alright
When the shadows are closing in
And your spirit diminishing
Jus remember
You’re not alone
And love will be there
To guide you home
(Mariah Carey – Anytime You Need a Friend)
Ed duduk termenung di lantai tiga kampus. Tempat favorit yang tidak pernah disukai banyak anak-anak di kampus itu. Selain kumuh, tempat itu dijadikan sebagai gudang tempat menyimpan barang-barang rusak yang sudah tidak terpakai. Letaknya yang cukup sulit untuk dujangkau menyebabkan banyak orang untuk enggan mengunjunginya. Hanya orang seperti Ed yang betah berlama-lama ada di sana.
Pemuda berkacamata itu kini melongo menyaksikan deretan bangunan pencakar langit. View itu seperti sebuah kanvas yang bisa saja disentuhnya dalam jangkauan jengkal jemarinya sendiri. Berada di tempat ini, membuat Ed bebas melakukan apa saja, seperti berkhayal, membaca bahkan mengerjakan tugas-tugas kampus. Tempat ini adalah sisi yang paling pas untuk melakukan riset kecil-kecilan karena posisinya yang tinggi membuat sinyal untuk berselancar di dunia maya bisa berjalan lancar. Namun anak Jakarta yang menempah ilmu di kampus ini tidak akan mengerti itu. Mereka lebih memilih tempat-tempat istimewa yang kekinian seperti kafe romantis, tempat tongkrongan di taman ramai atau tempat istimewa lainnya yang menjadi pilihan banyak orang.
“Lo mau bunuh diri?!”
Suara itu mengejutkan Ed. Posisinya yang duduk membelakangi balkon kumuh itu, hampir saja membuat berat badannya tidak seimbang. Jika salah bergerak sedikit saja, bisa-bisa berat badannya membawanya pada posisi yang salah hingga menyebabkan tubuhnya terjerembab jatuh ke bawah.
“Betapa pun kamu punya alasan untuk mati, namun kamu punya satu alasan untuk tetap hidup!” seru orang yang masih mematung di seberang sana. Langkahnya mulai menapaki arah menuju Ed. Tumpukan barang-barang bekas sampah kampus ini membuatnya kesuliatan untuk menjangkamu keberadaan Ed.
“Lo mau bunuh diri juga?”
“Lo belum juga menjawab pertanyaan gue. Jika permintaan lo mau ngajak gue untuk melompat bareng, gue harus jujur jika gue belum siap. Ada banyak hal yang masih harus gue lakuin sebelum mati. Jadi ini bukan waktu yang tepat,” jelas Jo.
Ed terbahak lebar. Dia tahu sahabatnya sedang bergurau. Dia bahkan tahu jika Jo sudah mengetahui tempat ini sebagai tempat paling pas untuk menyepi.
“Ngapain lo di sini?” tanya Jo penasaran.
Ed menyodorkan sebuah buku kepada Jo. “Nih! Gue sedang berhubungan intim dengan buku ini. Jadi sengaja gue memilih tempat sepi biar manusia reseh kayak Rainy tidak menemukan gue dan tidak mengganggu gue saat melakukan kegiatan sakral ini,” jelas Ed.
“Bagaimana dengan perpustakaan? Apakah lo sudah melupakannya?”
“Gue sering nggak konsen saat liat wajah Setiawan tersenyum aneh di balik layar komputer. Belum lagi melihat gerombolan cewek-cewek yang berbisik saat membicarakan hal yang tidak penting. Tempat itu sudah tercemar bagi gue.”
Jo meninju pundak Ed. “Atau lo sudah mulai jatuh cinta pada pria itu?” guraunya.
Tawa kembali bergema di antara mereka.
“Bagaimana ceritanya lo berhasil mendapatkan buku ini dari gadis hujan itu?”
“Barter.”
“Apa? Masih dengan cara di zaman batu?”
“Gue memberikan informasi yang dibutuhkan oleh gadis itu. Sebagai imbalannya gue meminjam buku fenomenal ini darinya. Namanya barter, kan?”
Jo menggeleng tidak percaya. Buku dan informasi. Buku sudah nyata di depan matanya, sementara informasi? Apa informasi yang dimaksud oleh si kutu buku? Pastilah informasi yang dimaksud Ed adalah informasi penting. Misalnya tentang kode rahasia dari sebuah brangkas yang berisi banyak uang. Atau informasi tentang markas komplotan preman pasar yang selalu buat keributan. Ah, tidak. Informasi semacam itu hanya bisa dia temukan dalam film.
Informasi apa yang lo maksud kali ini?”
“Tentang alasan gue yang tidak menyukai hujan.”
Ed berpikir. Kemudian matanya membesar, kedua alisnya ikut merekah.
“Pasti gadis itu semalam memperdengarkan sebuah lagu sama lo,” tebak Jo.
Ed mengangguk.
Jo harus mengerti jika si kutu buku ini juga tidak menyukai lagu itu. Lagu yang dulu diputarkan Rainy yang justru mengusik masalalu Jo hingga terbangun kembali. Namun dia yakin, alasan yang lebih menguatkan Ed tidak menyukai lagu itu karena hujan. Si kutu buku tidak menyukai hujan.
***
Jo baru saja mengobrol banyak dengan Aska. Bocah kecil itu semakin lama semakin tenang saja. Pembicaraan mereka masih sama seperti biasanya. Tentang aktivitas menyiar Jo, tentang kota yang kini ditempati oleh pemuda itu, serta tingkat keramahan orang-orangnya.
“Apakah orang Jakarta suka tersenyum, Bang?” tanya Aska.
Jo hampir saja bingung harus menjawab apa. Sebenarnya senyum hampir tidak terlihat di bibir orang-orang di sekitarnya. Masyarakat dalam lingkungan Jo tumbuh dalam lingkungan yang sibuk sehingga hampir tidak terlihat ada senyum di setiap bibir mereka.
“Kebanyakan dari mereka terlalu sibuk. Jadi tidak sempat untuk melakukan hal-hal semacam itu,” jawab Jo pada akhirnya.
“Pasti wajah mereka terlihat begitu menakutkan.”
Kali ini Jo hampir saja tertawa, namun tidak jadi. Aska terlalu mudah menebak sesuatu. Jo bisa membayangkan bagaimana raut wajah bulatnya di sana. Sebuah ekspresi menggemaskan yang bisa menjadi santapan setiap jari yang dekat dengannya. Jari-jari itu akan mencubit pipi Aska hingga bocah itu kesakitan dan lari terbirit-birit. Hal tersebut kerap terjadi. Semua tetangga begitu menyukai Aska. Bukan semata karena kebijakannya untuk bocah seusianya, namun karena yang ada padanya membuat banyak orang begitu gemas melihat bocah ajaib itu.
“Bukan begitu. Wajah mereka tetap manis, hanya saja tidak begitu terlihat,” jawab Jo.
Diam mencuri jeda cukup lama. Pasti Aska sedang berusaha mencaritahu apa balasan yang tepat untuk menanggapi kata-kata Jo. Jo yakin, bocah itu sedang berpikir di seberang sana.
“Aska tenang saja. Dunia akan tetap indah saat senja masih terlihat. Dunia juga akan terlihat menyenangkan saat kita masih bisa menikmati tetesan hujan. Aska masih suka menikmati senja di belakang rumah, kan?”
Belum ada jawaban. Yang terdengar hanya dengungan seperti suara napas yang ditarik panjang.
“Aska, abang ingin tahu. Senja tidak pernah ingkar lagi, kan?” tanya Jo mengulangi.
“Saat senja masih setia, aku yang harus ingkar, Bang."
“Mengapa bisa begitu?”
“Mama bilang, di luar sudah tidak sehat. Aska bisa batuk-batuk jika sering melihat senja di luar. Kata Mama, semburan abu Sinabung telah menutupi langit sore,” jelas Aska.
Jo menarik napas pelan. Sangat pelan. Bunyi ludah yang ditarik masuk bahkan terdengar. Ada sesuatu yang mengganjal dalam dadanya. Menyesakkan pernapasan yang sedari tadi tampak normal-normal saja.
“Semua akan baik-baik saja, Bocah kecil. Percayalah, jika senja akan selalu setia dia tidak akan pernah lagi ingkar dan membuatmu kecewa. Jika hari ini kau tidak bertemu dengannya, masih ada besok yang lebih baik untuk kembali bercengkrama bersamanya,” pesan Jo.
Dalam diam, Jo bisa pastikan jika di seberang sana Aska tengah mengangguk mengamini harapan yang keluar dari mulutnya.
Menit berikutnya, suara kembali berganti. Suara serak Aska tergantikan oleh suara bas yang menggema namun sedikit parau. Kemudian keduanya bercerita tentang rindu. Bagian itu membentuk sebuah celah kosong dalam hati Jo. Sekian lama dia meninggalkan rumah, sebesar itu pulalah rindu yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hatinya. Namun tiga suara yang mengisi ruang telinganya telah mempersempit ruang rindu itu. Meski masih terlihat menganga, namun perlahan sedikit terobati.
Sebuah Hammer hitam terparkir sombong di sudut parkiran kos saat Ed baru saja tiba.
Setiawan. Pria itu semakin berani saja.
Beberapa meter dari tempat Ed sedang berdiri, tampak sosok pria berkacamata. Tubuhnya dibalut sebuah kemeja berwarna biru yang ukurannya begitu pas dengan tubuh atletis pria itu.
Ed tidak ingin menemuinya. Apalagi Jo sedang tidak ada bersamanya.
Dengan langkah begitu pelan, Ed membalikkan badan dan berubah haluan. Mungkin dia akan pergi ke suatu tempat hingga Setiawan pergi dari sana. Langkah kakinya semakin cepat tatkala meninggalkan pria berkacamata itu di gazebo yang letaknya ada di tengah komplek kos-kosan.
“Mau ke mana lo?”
Jo tiba-tiba muncul saat Ed telah tiba di gerbang utama.
“Kalau lo tidak ingin berurusan dengan si pustakawan, sebaiknya lo ikut gue sekarang.”
Jo mengerutkan kening, mencoba mencerna makna dari perkataan Ed. “Pria itu ada di sini?”
Ed mengangguk seraya mengarahkan pandangan ke parkiran kos tempat Hammer Setiawan tengah nongkrong. “Pria itu semakin menunjukkan taring saja. Lo benar, kita harus membuat sebuah rencana untuk menjebaknya.” Seketika pikiran kotor terlintas begitu saja dalam benak Ed.“