May be surrounded by
A million people
I still feel all alone
I just wanna go home
Oh, I miss you, you know
(Michael Buble – Home)
Ed dan Jo terbahak saat saling berbagi cerita masing-masing. Kejadian konyol yang hampir saja membuat keduanya terjebak dalam permainan Setiawan. Gelagak tawa itu yang kemudian mengundang perhatian beberapa kaum hawa dari seberang.
“Gue nggak pernah nyangka kalau pria bertubuh besar itu akan keok semudah ini,” tutur Ed. Sisa-sisa tawa masih menghiasi bibirnya.
“Gue juga mengalami hal yang sama. Solusi yang muncul dalam pikiran gue di tengah semrautnya tempat itu, hanya satu. Minuman. Dan gue heran mengapa lo berpikiran sama dengan gue,” tukas Jo.
“Ini hanya sebuah kebetulan. Bukankah kita tidak merencanakan apa-apa?”
Jo mengangguk, sesekali matanya tertuju pada kelompok gadis di seberang sana. Pada Rainy yang tidak pernah lepas dengan dua hal: buku dan musik.
“Gue nggak bisa membayangkan reaksi si pustakawan setelah ini,” kata Ed.
Jo merasa geli sendiri saat menahan tawa. “Yang pasti, tatapan ala pemeran antagonis sinetron tak bermutu akan terpampang setelah ini,” ucapnya bergurau.
Natal dan tahun baru adalah dua sejoli yang tidak pernah bisa terlewatkan begitu saja pada bulan Desember. Seruan-seruannya mulai akrab dalam telinga lewat lagu-lagu bernuansa Natal yang mulai terdengar di mana-mana. Gemerlap pohon natal mulai menghiasi jalan-jalan, perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan. Kesemarakannya juga diikuti oleh berbagai ornamen khas yang membuat mata banyak orang terpukau.
Beberapa jam yang lalu Ed dan Jo pulang dari sebuah konser natal. Minggu-minggu yang disibukkan dengan kertas ujian telah membuat otak mereka buntu. Keputusan untuk keluar mencari tempat yang bisa mendamaikan suasana hati adalah pilihan yang tepat.
“Apa rencana akhir tahun lo?” teriak Ed. Suaranya bergolak dengan deruan angin yang mengiringi perjalanan mereka.
Jo mengendarai motor dalam kecepatan penuh. Untuk bisa mendengar ucapan Ed, laju motor sengaja dikurangi. “Lo tadi bilang apa?” tanyanya mengulangi.
“Gue bilang, apa rencana akhir tahun lo?”
Jo terdiam. Liburan sudah menghampiri namun tak ada rencana yang dipersiapkan untuk mengisi akhir tahun kali ini.
Tak sabar menunggu, Ed berkata lagi, “Bagaimana jika kita pulang?”
“Gue belum memiliki rencana untuk itu, Ed.”
“Kalau lo terhalang oleh dana, gue bisa bantu!!”
Sejenak Jo terdiam. Ini bukan waktu yang tepat untuk pulang. Masalahnya bukan sesederhana karena keterbatasan materi. Di kampung halamannya, seseorang yang sudah pergi merantau jauh, jika bisa haruslah pulang dengan keberhasilan. Namun Jo belum memiliki apa-apa untuk dibanggakan kepada kedua orang tuanya terutama adik kecilnya, Aska. Semester akhir dalam masa perkuliahan merupakan sebuah tantangan berat bagi seorang mahasiswa sepertinya. Ini bukan tentang hasil akhir yang memuaskan tapi lebih kepada masa depan yang sudah menuntut di depan mata.
“Sepertinya gue belum bisa pulang, Ed. Lo aja yang pulang. Tidakkah lo merindukan rumah setelah sekian lama?”
“Tidak ada yang bisa gue kunjungi di rumah. Pulang ke sana hanya akan memaksa masa lalu terkenang kembali. Pulang adalah alasan gue untuk kembali meratapi nasib,” tutur Ed.
Malam ketika hujan turun masih saja terkenang dalam batin Ed. Melupakan masa lalu yang pilu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Saat rindu pada sang ayah muncul dalam hatinya, cara paling mudah untuk menggenapi tuntutan itu hanyalah duduk di depan televisi. Belakangan, pria itu sering tampil di layar kaca karena keberhasilan yang katanya mampu memberi peningkatan kesejahteraan bagi rakyat yang sedang dipimpinnya. Begitulah nyatanya pejabat publik. Dua hal yang membuatnya kerap dibicarakan kalau bukan karena prestasi, alasan lain tentu karena kebobrokannya.
Beberapa malam sebelumnya, pria bernama lengkap Harry Setiawan yang tidak lain adalah ayah Ed itu, mengiriminya pesan singkat.
Pulanglah, Nak. Natal kali ini ayah sendiri. Ayah akan ada di rumah selama beberapa hari. Ayah merindukanmu. Ayah ingin kamu ada di sini. Begitu isi pesan singkat itu.
Dan keputusan untuk tidak menghabiskan liburan akhir tahun di rumah sudah dipikirkan oleh Ed semenjak beberapa bulan yang lalu. Alasannya bukan karena ingin menghindar dari sang ayah atau bukan karena dia tak rindu. Alasannya dari beberapa tahun yang lalu masih tetap sama; menghindar dari bayang-bayang masa lalu.
“Bagaimana dengan bokap lo?” tanya Jo.
“Jangan tanyakan apakah seorang pejabat publik punya waktu untuk menghabiskan liburan bersama dengan keluarga pada akhir tahun,” kata Ed berbohong.
“Setidaknya lo harus melihat keadaan rumah, Ed.”
“Tolong jangan tolak permintaan gue kali ini,” bantah Ed.
“Tapi gue harus pastikan dulu. Uang yang lo pakai kali ini bukan dari hasil ‘mencuri’, kan?” tanya Jo bergurau. Tawa kemudian pecah di bibirnya.
Ed tahu sahabatnya tengah bergurau. “Gue sudah jarang minta gaji sang pejabat publik untuk jajan. Tenang saja, Kawan!”
“Lalu?”
“Dari satu tahun yang lalu gue sudah menjadi penulis tetap di salah satu kolom sebuah situs media online. Honornya lumayan, kebetulan media itu sudah cukup besar.”
“Great! Diam-diam lo ternyata mematikan juga,” sahut Jo.
“Doakan juga, sekarang novel perdana gue dalam proses editing.”
Kali ini Jo hanya bisa speechless, di depan kemudi, senyum lebarnya kembali merekah. Sepanjang perjalanan berbagai kekaguman muncul dalam pikirannya. Ed yang dulu diasingkan oleh dunia, Ed yang dulu didera tekanan batin yang luarbiasa, kini mulai memunculkan taring secara perlahan. Baginya, lompatan ini adalah sebuah pilihan yang cukup bagus. Cercaan orang lain harus dibalas dengan prestasi. Bisa saja dunia mengeluk-elukkan kamu saat kamu berhasil mencapai sesuatu. Bagi Jo, sikap yang terlalu transparan adalah sesuatu yang mubajir. Akan tetapi, diam, tenang dan sedikit tidak peduli dengan pandangan miring orang lain, itu adalah sesuatu yang keren. Satu dari sikap banyak orang terkenal yang begitu dikaguminya.
***
Langit Jakarta tampak cerah di penghujung tahun. Tanah-tanah lembab mulai memunculkan wangi khasnya. Seperti sebuah harapan baru yang kemudian menyembul perlahan ke permukaan. Demikian wangi lembab yang tercium dalam indera.
Suasana kos-kosan tampak sepi. Mungkin sebagian besar penghuni tempat itu sudah bepergian menikmati liburan akhir tahun mereka. Namun tidak demikian dengan gadis hujan, Rainy. Gadis itu masih setia dengan sepasang handsfree di telinga juga bacaan tebal dalam genggaman. Rainy seolah tidak peduli dengan kesunyian yang perlahan merebak di sekitar tempat itu.
Perlahan dia meletakkan buku tebalnya di atas kursi. Kemudian melepaskan handsfree dari telinga. Rainy berjalan pelan mengitari gazebo yang berada di tengah pekarangan kos-kosan. Letaknya yang cukup nyaman dengan sekitar ditanami melati, membuat pagi gadis itu seolah begitu indah. Aroma melati yang merebak dalam penciumannya menciptakan senyum merekah di bibir tipisnya.
Sesaat kemudian, Rainy mengangkat kedua tangan ke udara. Menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan semacam olah raga ringan.
Dari depan kamar, Ed tersenyum kecil melihat tingkah aneh gadis hujan itu. Ekspresinya seperti gambaran sebuah kebebasan. Yang pasti, gadis itu sedang merasakan sebuah kebahagiaan.
“Selamat pagi, Gadis hujan!” sapa Ed.
“Selamat pagi juga, Kutu buku!”
“Apakah bidadari yang lain telah meninggalkanmu sendirian di sini? Ataukah engkau sedang mencari selendangmu yang hilang dicuri pemuda desa?” goda Ed.
Rainy tertawa lepas.
“Lo nggak pulang?” tanya Ed penasaran.
“Nanti sore. Lagian rumah gue dekat kok.”
“Depok?”
“Bukan. Nyokap sama bokap gue tinggal di Bogor,” jawabnya.
Ed tersenyum. “Untuk kota semacet Jakarta, Bogor itu cukup jauh. Jadi lo harus berangkat sesubuh mungkin jika tidak ingin terjebak macet. Lo nggak malas panas-panasan hanya untuk menunggu roda berputar? Itu pun hanya bergeser satu meter dalam satu jam,” kata Ed.
“Itu bukan masalah. Gue cukup pakai jurus ngilang. Detik ini juga gue sudah sampai di Bogor,” kata Rainy bergurau.
Keduanya tertawa kompak. Hingga tanpa mereka sadari sesosok lain dengan wajah baru bangun tidur muncul di dekat mereka.