Dua Sisi

Johanes Gurning
Chapter #10

Sederet Kata Maaf

It’s a sad, sad situation

And it’s getting more and more absurd

It’s sad, so sad

Why can’t we talk it over

Oh it seems to me

That sorry seems to be the hardest word

(Elton Jhon – Sorry Seems To Be The Hardest Word)




Kembali pada habitat semula. Menikmati kesibukan Jakarta yang sudah menjadi ikon kota ini. Liburan satu satu minggu bagi Jo adalah waktu yang sangat singkat. Kembali ke tanah rantau adalah meninggalkan separuh jiwa di tanah kelahiran. Rindu yang tidak ada batasnya adalah sesutau yang tidak pernah bisa terbayar sebesar atau selama apa pun berada di dekat sosok yang menjadi pelabuhannya.

“Apa resolusi lo di tahun ini?” tanya Jo. Kepalanya bersandar di penyanggah gazebo dengan mata memandang pada segerombolan gadis yang sibuk dengan kegiatan masing-masing di seberang sana.

“Gue mau tahun ini bisa lulus, gue mau bekerja di kantor kedutaan dan gue ingin tahun ini buku perdana gue terbit, dan gue...”

Jo berhasil terbahak yang membuat Ed merasa diremehkan.

“Ada yang salah?” tanya Ed.

“Tentu tidak. Hanya saja, menurutku itu terlalu banyak.”

“Tidak ada mimpi yang tidak bisa terwujud jika kita tidak pernah kehilangan semangat,” ucap Ed bijak.

Jo mengacungkan jempol, namun terkesan tidak ikhlas. Sementara bibirnya masih saja tertawa seolah mengejek mimpi Ed yang sedikit konyol. “Gue bahkan belum memikirkan apa-apa, meski sidang sudah di depan mata,” ucapnya. Seketika tawa itu mereda meninggalkan sisa ekspresi yang tidak bisa ditebak.

“Kita tidak sedang berada di zaman Roro Jongrang, Jo. Semua yang lo inginkan tidak akan tercapai dalam semalam. Rencana jangka panjang sudah seharusnya terpikir dalam benak lo. Gue tahu, melihat tampang lo yang kerap bikin gue iri, mungkin masa depan lo akan cerah. Menurut gue, lo akan banyak diburu.”

“Apalah arti sebuah tampang?”

Ed melongo memerhatikan Jo sedikit lebih lama. Jo bego, atau pemuda itu hanya merendah? “Zaman sekarang, disamping intelijensi, penampilan juga adalah salah satu faktor utama terutama dalam dunia kerja. Penampilan yang prima adalah pendukung performa dalam karier.”

“Entahlah. Satu yang kerap muncul dalam benak gue. Bisa meneruskan kuliah di luar negeri dan pulang untuk melihat senyum ceria di wajah Aska.”

Ed menatap Jo tidak percaya, kali ini tatapan itu tidak lebih dari sebuah ketidakpercayaan, kagum yang berlebihan dan semacamnya.

“Tapi tunggu, gue juga pernah berpikir begitu beberapa kali,” kata Ed.

Lagi-lagi Ed menatap Jo cukup lama. Sementara Jo mengangkat kedua alis. Pemuda itu tidak paham dengan apa yang sedang dipikirkan oleh si kutu buku. Jo menjauhkan sedikit wajahnya.

“Lo ngikut-ngikut sama gue? Atau lo mau mencoba bersaing dengan gue? Atau jangan-jangan lo berharap jodoh dengan gue?” pertanyaan konyol yang pernah meluncur dari mulut si kutu buku.

Jo berhasil meninju pundak Ed.

Tawa keduanya kemudian pecah. Mereka mengerti itu hanyalah sebuah gurauan. Sebuah bumbu percakapan yang kerap menghiasi hari-hari keduanya.

***

“Kau tahu, Jo? Belakangan aku begitu merindukan sosok Setiawan. Bagaimana keadaannya setelah kejadian setahun yang lalu,” topik itu muncul ketika Ed dan Jo melewati perpustakaan tanpa berniat untuk singgah. Semenjak kejadian di klub malam, baik Jo maupun Ed tidak pernah berkunjung ke perpustakaan. Minat baca Ed menurun drastis saat tahu si pustakawan mengidap kelainan yang tidak pernah terpikir olehnya sebelum kejadian itu.

“Lo tinggal masuk,” Jo menunjuk ke arah perpustakaan, “duduk manis kemudian memperhatikannya dari jauh. Pilih tempat paling sudut, satu tempat yang bisa membuatmu leluasa mengedarkan pandangan ke seluruh sisi perpus.”

“Bagaimana jika lo ikut dengan gue?”

“Itu bukan ide yang bagus, Ed. Lo masih ingat bagaimana reaksi Setiawan saat melihat gue jalan bareng sama lo? Jika gue bisa menebak, tatapan itu sama seperti tatapan pemeran antagonis dalam sinetron stripping yang nggak mutu. Terpampang jelas jika pria itu tidak menyukainya. Entahlah dia sedang menyukai siapa, lo atau gue, kita tidak pernah tahu,” jelas Jo.

“Pria itu jelas tertarik dengan lo. Gue juga masih ingat, bagaimana usaha dia untuk bertemu dengan lo. Menunggu hingga larut malam di depan studio, memuji kehebatan lo saat menyiar dengan alasan mengagumi suara lo dan...”

“Stop, Ed! Yang merindukan pria itu bukan gue tapi lo. Mengapa kita berdebat dengan hal yang tidak begitu penting. Yang jelas, jika lo ingin melihat tampang pria itu, pintu perpustakaan masih menganga. Lo tinggal masuk, duduk, membaca meski gue tahu lo sedang membayangkan wajah si pustakawan,” katanya menyindir.

“Begitu pandai kau merangkai kata-kata, Anak muda! Gue ralat sekarang. Tujuan gue hanya ingin memastikan keadaannya. Bagaimana pun juga, Setiawan adalah teman membaca yang baik. Jika lo sedang mencari referensi untuk skripsi, lo hanya bisa minta bantuan kepada orang yang tepat. Dan orang yang tepat adalah si pustakawan.”

“Gue harap lo mendapat apa yang lo mau. Semoga lo tidak terusir dengan hina. Dicampakkan tanpa rasa hormat setelah apa yang kita lakuin malam itu.”

“Si pustakawan bukan manusia yang kekanak-kanakan, Jo. Dia bermain dengan sangat rapi, kita berdua tahu itu, kan?”

“Baiklah. Lo hanya perlu waspada.”

***

Ed menelusuri lorong-lorong perpustakaan dengan sedikit ragu. Kemudian pemuda itu memilih tempat paling aman seperti saran Jo. Tempat yang tepat untuk memerhatikan setiap aktivitas di dalam ruangan itu.

Ada aura ketidaknyamanan ketika Ed melintas di depan meja kerja Setiawan. Namun seperti yang dia duga, pria itu terlihat biasa saja. Wajahnya tidak menunjukkan sikap aneh. Senyumnya masih saja sama. Pancaran sinar matanya yang misterius masih terlihat hingga kini. Juga penampilannya yang dominan di antara semua yang ia miliki. Semua belum berubah. Seperti kata Jo, Ed hanya perlu waspada. Jangan pernah lengah dengan tindakan pria itu. Bisa saja itu hanya jebakan paling aman untuk menjerat Ed hingga masuk ke lubang yang sama suatu waktu.

Di sudut lain, terlihat pria itu sedang sibuk merapikan buku-buku yang posisinya tidak pada tempat. Tubuh jangkungnya begitu ringan menjangkau setiap rak hingga pada tingkat yang lebih tinggi. Ed tidak yakin apakah pria itu menyadari kehadirannya atau tidak. Yang pasti sikapnya harus sebanding dengan apa yang tengah dipertontonkan pria itu. Tenang. Saat berpikir tenang, maka banyak hal yang bisa dilakukan secara cermat. Tingkat kehati-hatian lebih bisa diandalkan ketika pikiran tidak sedang kacau.

Lihat selengkapnya