Drench yourself in word unspoken
Live your life with arms wide open
Today is where your book begins
The rest is still unwritten
(Natasha Bedingfield – Unwritten)
“Hari ini lo nggak ke mana-mana, kan?” Ed mencegat Jo sepulang kuliah di gerbang utama kampus. Tampak Jo menggenggam beberapa buku tebal. Sesekali pemuda itu memperbaiki posisi beberapa buku itu dalam genggamannya.
“Judul skripsi gue sudah di-acc. Rencananya hari ini gue mau mulai mengeksekusi ini,” jawabnya seraya menunjukkan buku-buku tebal tersebut.
“Bagaimana jika nanti malam saja. Gue janji akan bantu lo.”
“Lo mau ngajak gue ke mana hari ini?”
“Menjemput kenangan.”
Jo setengah tertawa. “Terkadang lo terlalu puitis,” katanya.
“Yang pasti, gue berharap lo tidak berubah melankolis saat melihat pemandangan ini,” kata Ed.
“Baiklah. Lo juga sudah tahu gue. Hal-hal yang tidak realistis hanya gue anggap sebagai hoak.”
Keduanya saling membalas senyum. Kemudian menaiki si merah yang tampak sudah bersedia untuk ditunggangi sedari tadi. Kali ini Jo yang mengendalikan setir. Buku-buku tebal yang ada dalam genggamannya, kini berpindah tangan. Motor terus melaju menapaki jalan Jakarta yang ramai. Menyelip di antara kendaraan lain, berlari dengan kecepatan rata-rata. Hingga menghilang dari pandangan. Menjemput kenangan adalah cara untuk mengulangi masa-masa suram yang telah berlalu. Menghidupkan kembali nostalgia yang pernah terukir indah dalam kisah lampau.
***
Sebuah gerai kopi sederhana. Punggung ringkih seorang lelaki membelakangi pintu utama cafe itu. Uap panas kopi yang masih mengepul terlihat jelas dalam pandangan. Terbang ke udara kemudian hilang bersama angin.
Ed dan Jo tampak kebingungan saat memasuki cafe. Hanya ada beberapa orang yang terlihat mengisi kursi-kursi yang berpasangan dengan meja bundar. Lampu-lampu temaram di beberapa sudut. Juga lukisan-lukisan klasik yang menempel di dinding cafe menjadikannya terlihat tenang. Tempat yang tepat untuk berdiam. Atau sekedar mendinginkan kepala.
Ed tidak pernah tahu, dari mana ayahnya mendapatkan rekomendasi tempat ini. Yang pasti, kali ini pemuda itu angkat jempol. Pilihan ini tidak salah.
Tidak jauh dari meja kasir terdapat rak berukuran kecil. Rak yang hanya terdiri dari tiga tingkat itu diisi oleh buku-buku pada tingkat pertama dan kedua. Sementara pada tingkat ketiga ada beberapa piringan hitam. Musik yang terdengar di telinga juga begitu melankolis. Mendayu-dayu seperti riak sungai yang tenang.
Pria yang duduk di sudut cafe tampak sendiri. Tidak ada ajudan atau orang lain yang menemaninya kali ini. Pada kejadian beberapa kali, Ed kerap menemukan pria itu didampingi oleh dua orang ajudan tanpa seragam. Biasanya, ajudan itu berbadan tegap, tubuh atletis dengan otot-otot menonjol yang memberikan pemandangan indah bagi sebagian orang. Namun kali ini, pemandangan itu tidak ada sama sekali, yang terlihat hanya seorang pria ringkih yang sesekali menundukkan kepala atau bahkan menatap keluar dengan tatapan lemah tak berdaya. Sebuah tatapan kosong yang mengharukan.
“Selamat siang.”
Sejurus kemudian pria itu menoleh. Pandangan matanya tampak sayu.
“Silahkan duduk,” jawabnya seraya menunjuk dua kursi kosong di hadapannya.
“Perkenalkan, ini adalah Jo. Sahabat, teman kampus, juga teman satu kos.” Bahasa yang keluar dari mulut Ed terdengar begitu formal. Kaku.
Sekilas pria itu menatap Jo seksama sebelum akhirnya sebelah jemarinya terulur ke arah Jo. Sementara Jo hanya menghadiahi pria itu senyum yang tercipta dari setengah hati yang kurang ikhlas. Rasa canggung yang tiba-tiba keluar dari dalam dirinya bercampur dengan perasaan yang tidak nyaman semenjak dia memutuskan untuk duduk di hadapan pria yang baru dikenalnya itu.
Tatapan mata sedikit lebih tajam meski perlahan sayu oleh sesuatu yang mungkin terdiam dalam pikirannya sendiri. Kepala hampir sepenuhnya ditutupi uban dengan jambang menjulur hingga ke dagu membuat wajah pria itu sedikit bersahaja. Dari segi penampilan, mungkin tidak ada yang perlu dikoreksi. Pria itu muncul dengan kaus garis-garis berkerah dan sedikit lebih pendek, dipasangkan dengan celana keper berwarna hitam mengkilap dan sepatu tanpa tumit berwarna senada dengan celana yang dia gunakan.
“Apakah sebaiknya saya mencari tempat lain. Suasana ini terlalu privasi buat saya pribadi,” kata Jo sedikit sungkan. Dia menyadari pertemuan ini bukanlah pertemuan sebatas temu kangen setelah lama tidak bertemu. Perasaannya mengatakan, pria yang kini menatapnya ingin menyampaikan sesuatu yang penting kepada putranya. Keberadannya seolah membuat diri sendiri menjadi tidak nyaman. Jo merasa dia harus memberikan ruang kepada dua lelaki beda generasi itu.
“Saya mengenal anak saya. Sepertinya tidak masalah jika kita minum kopi bersama. Anggap saja kau bagian dari keluarga kami. Sahabat Ed adalah bagian dari saya juga. Bukan begitu, Ed?”
Ed hanya tersenyum samar seraya menatap Jo. Meyakinkan pemuda itu jika keberadaannya tidak akan membuat ayahnya tidak nyaman.
Pembicaraan itu diawali dengan pertanyaan seputar dunia perkuliahan masing-masing. Juga rencana-rencana yang sudah terpikir setelah lulus nanti dari universitas. Pertemuan itu juga dibumbui dengan obrolan seputar dunia politik, seperti kebiasaan banyak pejabat publik. Tentang hukum yang semakin hari semakin menunjukkan taringnya, tentang sosok-sosok yang menjadi panutan masyarakat, juga persaingan politik di antara kader-kader yang berkecimpung di dalamnya. Berbagai pembicaraan yang biasa didengarkan dari seorang pejabat publik.
Bagi sebagian anak muda, pembicaraan seperti ini adalah topik yang begitu membosankan. Begitu juga dengan Ed dan Jo. Namun mereka mencoba menghargai pria yang begitu lugas berkisah tentang pengalaman politiknya itu.
“Sebenarnya, apa maksud dari pertemuan ini?” suara Ed terdengar begitu jelas meski volumenya tidak terlalu besar.
Pria itu menoleh. Wajahnya berubah serius seketika.
Sementara Jo mulai merasa tidak nyaman dengan posisinya di tempat itu. Namun mulutnya seolah terkunci saat dipaksa untuk bicara.
“Hari ini ayah dipanggil ke Jakarta untuk diperiksa.”
Ed tersenyum miris. “Dan apa gunanya saya dalam hal ini? Sebagai pembela dalam kasus ayah?”
Siku Jo bergerak ke arah Ed. Perkataan pemuda itu mengganggu telinga Jo. Terlalu rontal diperdengarkan di hadapan ayahnya yang memang sedang digumuli oleh masalah.
“Ayah hanya ingin kamu tahu, Nak. Jika suatu hari ayah tidak lagi bisa bertemu denganmu seperti saat ini, dan sebelum ayah terlambat. Ayah hanya ingin mengatakan jika ayah menyayangimu dari dulu dan tidak akan pernah berubah hingga kini.”
Terlambat, berontak Ed dalam hati.
“Ayah minta maaf karena tela mengabaikanmu selama ini. Ayah harap kau mengerti dengan posisi ayah.”
“Bagaimana dengan wanita yang telah ayah usir sebelas tahun yang lalu?”
Pandangan pria itu tertuju kepada Ed dan Jo secara bergantian. Dadanya seolah sesak mendengar perkataan putranya. Sejenak pikirannya melayang pada kejadian di suatu malam berhujan sebelas tahun yang lalu. Pada langit yang menangis juga seorang wanita yang terusir. Sosok yang berlari kecil di tengah derasnya hujan. Sosok yang menjadi korban demi sebuah harkat yang entah bernilai berapa. Wanita yang terusir demi menjaga sebuah nama baik.
“Apakah kau masih mengingatnya, Ed?”
“Tidak ada anak kecil yang telah berusia sepuluh tahun bisa melupakan kejadian malam itu, Yah! Bahkan jika usaha yang dilakukan cukup keras sekalipun, ingatan itu akan selalu membekas.”