Dua Sisi

Johanes Gurning
Chapter #12

Sad Melody

There’s always gonna be another mountain

I’m always gonna wanna make it move

Always gonna be a uphill battle

Sometimes I’m gonna have lose

Ain’t about how fast I get there

Ain’t about what’s waiting on the other side

It’s the climb

(Miley Cyrus – The Climb)




Akan ada iba yang muncul seketika saat situasi berat dihadapkan padamu. Dendam masa lalu tidak akan pernah berani mengusik saat masa itu tiba. Inilah cinta. Tidak semata tentang perasaan suka terhadap lawan jenis. Ini cinta yang universal.

Seperti Ed yang kini ada di antara sekerumunan orang. Cahaya yang dihasilkan oleh kamera para wartawan media kini terlihat di mana-mana. Melihat ayahnya yang duduk paling depan, dihadapkan pada sekelompok penguji yang mungkin akan menyeretnya pada tempat yang selama ini mungkin tidak pernah dibayangkan olehnya. Dengan mengesampingkan masa lalu, Ed merasa jika dirinya ikut merasakan apa yang tengah dirasakan oleh pria itu saat ini. Suara-suara berisi dakwaan yang ditujukan pada pria itu, serasa seperti racun yang melemahkan seluruh sarafnya.

Ed menyadari jika ini karena kecerobohan pria itu. Ed bisa mengerti jika pria itu sendirilah yang telah menyeretnya hingga dihakimi seperti ini. Namun jauh di lubuk terdalam hatinya, ada bisikan lain yang membuatnya seolah mengiba. Bukan iba yang biasa, ini seperti permohonan maaf yang begitu menyakitkan.

Sekilas Ed menatap mata-mata para hadirin yang mengutuk ayahnya dengan sangat kejam. Pada saat itulah hatinya hancur. Remuk. Namun semua proses harus dijalani sebagaimana mestinya. Membela ayahnya adalah pengorbanan yang sia-sia. Ayahnya bersalah dan pria itu harus menerima risiko dari perbuatannya itu. Harapan itu seolah sirna saat palu penghakiman itu diketuk sebanyak tiga kali. Ed seolah tidak berdaya, sejenak matanya menangkap wajah-wajah penuh kemenangan. Tatapan kutuk yang sedari tadi bertumpu di setiap sisi ruangan itu kini tergantikan oleh riuh puas. Wajah-wajah itu seolah mewakili perkataan yang menyebut; seharusnya memang demikian, atau membusuklah engkau dalam jeruji besi, koruptor! Sebuah penghinaan paling kejam yang bisa dia lihat dari ekspresi wajah hadirin.

“Apakah dengan begini kau akan memafkan ayah?” pria itu kini ada dalam genggaman dua petugas berbadan tegap yang dilengkapi oleh senjata. Tangan rentanya bertaut lemah di bagian belakang tubuhnya.

“Tenanglah. Kau akan baik-baik saja,” jawab Ed. Kali ini pemuda itu tidak bisa menahan haru saat melihat pemandangan memilukan itu. Setitik air mata tak tertahankan, jatuh mendobrak ketegarannya. Tanpa ragu, Ed memeluk pria itu dan mengelus pundaknya perlahan. Ini adalah ujian terberat yang akan dihadapi pria itu. Selama hidupnya, martabat yang tak tergoyahkan sudah cukup membuatnya puas. Dan ini adalah akibat dari perbuatan yang pernah membuat matanya buta, efek dari kecerobohan yang begitu nikmat, begitu menggoda.

“Mungkin ayah akan bertemu ibumu setelah ini.”

“Sampaikan salamku untuknya.”

“Apakah kau juga memaafkannya, Ed?”

“Mungkin saja suatu hari nanti. Tapi tidak dengan sekarang.”

“Apapun itu, bersihkanlah dari hatimu. Hanya kau satu-satunya harapan kami. Hanya doamu yang bisa menguatkan kami.”

Ed mengangguk pelan. Bibirnya tersenyum hambar. Terkadang maaf tidak datang semudah angin berhembus. Ada hal-hal yang bisa mencegahnya hadir dalam hati. Misalnya, ketidaksiapan hati untuk berdamai dengan masalalu yang suram.

“Ayah akan pergi, Ed. Sekali lagi, maafkan ayah untuk segalanya. Jika ada waktu, pulanglah ke rumah. Ada kenangan yang merindukanmu di sana.” Kemudian kedua petugas itu membawa pria tersebut menjauh. Dan menghilang di lorong yang tak lagi lurus.

Ada kenangan yang merindukanmu di sana. Tanpa diingatkan seperti itu, Ed juga sudah tahu apa maksud pria tersebut. Ayahnya tidak pernah tahu apa alasan Ed untuk memilih untuk tidak pulang ke rumah hingga saat ini. Ayahnya tidak pernah menyadari jika selama ini Ed selalu saja menghindari apa yang dia sebuat M-A-S-A-L-A-L-U. Dan ingatan akan masa lalu hanya akan dia temukan jika dia pulang ke rumah.

***

“Ed, aku turut prihatin dengan apa yang menimpa ayahmu,” ucap Rainy. Gadis itu menemukan Ed melongo di gazebo. Sendiri.

Ed tersenyum. “Ini memang sudah seharusnya.”

“Jika kau perlu bantuanku, jangan sungkan-sungkan, ya?” kata Rainy. Jemarinya bergerak menuju ke pundak Ed dan mengelusnya lembut, kemudian berlalu. Dia tahu jika Ed butuh waktu sendiri. Dan dia tidak ingin menjadi orang yang tega merusak suasana hatinya.

“Thanks, Gadis hujan.”

“Sama-sama, Kutu buku,” jawab Rainy seraya tersenyum.

Tidak pernah Ed merasakan kesedihan yang sangat jika itu berhubungan dengan ayahnya. Keduanya tidak pernah melewati masa-masa indah yang tak terlupakan. Yang terjadi selama ini hanyalah sikap bungkam. Tidak ada cerita yang bisa diingatnya hingga kini dari pria itu. Akan tetapi, entah mengapa, tiba-tiba saja dia merasakan rasa sedih yang terlalu saat mengingat bagaimana air mata pria itu menetes tadi sore. Kata-katanya bahkan masih terngiang jelas dalam telinga Ed.

***

Sepanjang hari ini, berita utama di beberapa stasiun televisi masih saja mengumbar tentang ayah Ed. Bahkan sepulang dari pengadilan sore tadi, mata-mata aneh masih saja mengutuknya. Meski terlihat halus, justru itu yang lebih menyakitkan. Hingga selarut ini, matanya tak kunjung lelap. Apa yang terjadi hari ini benar-benar membuat seluruh energinya terkuras habis.

Jendela kamarnya dibiarkan setengah terbuka, hingga angin bebas masuk sesuka hatinya. Dan bukan mimpi ketika matanya menangkap seseorang sedang berjalan menuju kamar Jo. Dia yakin kali ini, dia melihat pemuda pemiliknya. Ini tidak salah lagi. Meski sedang memikirkan banyak hal, namun pemuda itu tidak akan melewatkan momen ini. Bertemu dengannya adalah sebuah hal langka belakangan ini.

“Lo pulang?” tanya Ed, secepat kilat pemuda itu kini bersandar di daun pintu kamarnya.

Jo mengurungkan niat untuk melanjutkan langkah menuju pintu kamarnya. “Gue turut prihatin dengan masalah yang menimpa ayah lo. Gue baru melihatnya hari ini di televisi. Dan gue..”

“Lo masih peduli dengan kehidupan gue?”

“Apa maksud lo?”

“Inikah yang lo sebut sebagai sahabat?” desak Ed.

“Gue nggak ngerti jalan pikiran lo. Bukankah selama ini kita baik-baik saja?” tanya Jo.

“Hanya terlihat baik-baik saja, Jo. Di mata gue, belakangan ini lo terlihat seperti orang asing. Lo tidak pernah cerita sama gue tentang apa yang terjadi.”

“Lo kok jadi drama seperti ini, Ed?”

Ed menggeser tubuhnya lebih dekat ke arah Jo. “Lo melihat seperti itu?”

Lihat selengkapnya