Well maybe it’s me
And my blind optimism to blame
Maybe it’s you and your sick need
To give love then take it away
And you’ll add my name
To your long list of traitors
Who don’t understand
And I’ll look back in regret
How I ignored when they said
Run as fast as you can
(Taylor Swit – Dear Jhon)
Semua persoalan akan berlalu dengan mudah ketika hati sama-sama didinginkan. Mengalah adalah salah satu kunci untuk menggapai hal itu.
Sama seperti Ed dan Jo yang telah melupakan permasalah tempo hari. Bukan semata melupakan begitu saja. Namun diam-diam kedua pemuda itu memetik kesan positif yang bisa mereka ambil dari masalah yang dihadapi beberapa hari yang lalu. Maka semua kembali pada kondisi semula.
Dan di sinilah kedua pemuda itu kini berada.
Sebuah bangunan dengan cat sewarna kayu, masih mengilat meski usianya tidak lagi muda. Pagar besi berwarna hitam yang justru tampak terlihat lelah. Catnya tampak mengelupas di beberapa bagian.
Ed berdiri dan belum ada niat untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam. Pemuda itu seperti berhadapan dengan kisah lalu yang masih mengusik hingga kini.
“Ada apa, Ed?” tanya Jo risau.
“Gue hanya teringat sesuatu. Tapi tidak masalah. Ayo kita masuk!” seru Ed.
Jo mengekori langkah Ed dari belakang. Saat gerbang setinggi dua kali postur tubuh orang dewasa itu tertutup, di depan mata tampak berbagai jenis kembang yang menghiasi jalan berbatu menuju bangunan. Juga beberapa pohon yang sengaja ditanam di beberapa sudut. Rumput Jepang yang seolah menjadi permadani di pekarangan itu menambah kesan asri dan sejuk.
“Rumah ini tidak disegel, kan?” tanya Jo penasaran.
“Gue juga tidak tahu. Mungkin nanti ada orang yang tepat untuk menjawab pertanyaan lo,” jawab Ed.
Semenjak tiba di depan rumah hingga kaki kedua pemuda itu kini menginjak lantai keramik berwarna putih bersih, belum ada tanda-tanda jika rumah ini ditinggali. Anehnya, lantai rumah ini tidak berkata demikian, begitu juga dengan pekarangan yang tertata rapi. Berbagai pernak-pernik seperti guci berukuran jumbo dijadikan pengawal saat memasuki ruangan besar itu. Juga beberapa lukisan klasik tampak menempel di dinding.
“Apakah tidak ada orang yang tinggal di rumah ini, Ed?”
Seorang wanita paruh baya kemudian muncul dari balik sebuah pintu. Senyumnya terlihat miris ketika melihat dua orang pemuda sedang berdiri melongo dengan ransel masih melekat di pundak masing-masing.
“Aden ada di sini?” tanyanya seolah tidak percaya. Kedua tangannya mulai mendarat di wajah Ed.
“Bibi sendiri?” tanya Ed.
“Iya, Den. Sumardi sedang pulang kampung, katanya istrinya sedang melahirkan anak keduanya,” katanya. Wanita itu menarik ransel yang mendekam di pundak Ed kemudian mengajaknya duduk di sofa. Wajahnya masih tidak percaya jika dia bisa bertemu dengan anak majikannya sore itu. “Dulu wajah ini tidak seriang ini. Aden Edward sudah bertambah dewasa, tampan lagi!” puji wanita itu.
Ed tersenyum geli. Baginya wanita bernama Lestari itu adalah pengganti ibunya. Semenjak terdampar di rumah mewah itu, hanya Lestari yang mengasihinya sepenuh jiwa. Bahkan terkadang Ed selalu bermimpi memiliki ibu selembut dia.
“Perkenalkan, Bi. Ini sahabat saya. Namanya Joel.”
“Senang bertemu dengan Bibi,” kata Jo seraya mengulurkan tangannya.
“Entah ini kebetulan atau tidak, Bibi sudah punya firasat jika Aden akan pulang. Sore ini Bibi masak makanan kesukaan Aden. Dan porsinya tidak sedikit,” katanya. Senyum keibuan memancar di wajahnya. Bi Lestari memang memiliki ikatan batin yang kuat dengan Ed. Mungkin dikarenakan kedekatan keduanya.
***
“Rasanya rumah ini sepi tanpa Bapak dan Ibu ya, Den?” tanya Bi Lestari. Mereka kini duduk di taman belakang, menikmati pekarangan mini itu dalam diam. Baik Ed maupun Jo tidak mengucapkan apa pun kepada Bi Lestari. Mereka hanya tenggelam dengan pikiran masing-masing.
“Semenjak ibu tidak ada di rumah, Bapak sering mengurung diri di kamar. Dimulai ketika bapak pulang, dan baru akan keluar ketika pagi. Kejadian ini terjadi berkali-kali.” Wanita itu berhenti sejenak, menjilat bibirnya sendiri. Rasa manis bekas teh masih terasa saat dia menelan ludahnya sendiri.
“Jo, lo sekarang ikut gue, ya!” ajak Ed.
Jo mengekori Ed tanpa komentar. Bahkan Bi Lestari mengikuti keduanya tanpa permisi.
Saat pintu kamar terbuka, aroma kayu yang kental menyeruak di hidung juga aroma-aroma lain yang khas dengan lelaki yang kini tidak ada lagi di rumah itu. Bagaimana pun juga, kenangan selalu meninggalkan jejak sejauh apa pun waktu merentangkan jarak.
Kamar itu masih saja rapi meski telah lama ditinggalkan. Rak yang berdiri di pojok ruangan, masih gagah dengan ratusan buku tebal yang telah lama tidak tersentuh. Sebuah meja kerja berukuran mini tampak murung setelah terlihat tidak meninggalkan bekas apa pun di atasnya. Buku-buku tebal yang mendekam juga membisu seolah kehilangan semangat.
Ed menyentuh ujung meja, perlahan. Merasakan setiap inci kenangan yang tertinggal di sana. Pemuda itu juga menarik nafas dalam, mencoba mengingat kembali apa yang sudah pernah terjadi di ruangan besar itu. Sementara Jo dan Bi Lestari hanya berdiri melongo di mulut pintu sembari menyaksikan setiap gerak Ed. Tindakan itu dilakukannya berulang-ulang. Hingga pada akhirnya terdampar di atas ranjang berukuran besar. Tatapan matanya tertuju ke luar jendela yang terbuka lebar. Tirai putih yang menari dipermainkan angin, membawa sebuah kabar yang menyedihkan. Semakin lama desiran itu mengajak untuk mencari tahu sesuatu.
“Apakah bapak pernah meninggalkan sesuatu, Bi? Atau menyampaikan sebuah pesan penting kepada Bibi?” tanya Ed.
Wanita itu duduk di samping Ed, namun mulutnya tak kunjung terbuka. Rautnya mencoba mengingat-ingat kembali. Semenjak kepergian ayah Ed dari rumah itu beberapa bulan yang lalu, banyak pesan yang disampaikan kepadanya, namun menurutnya tidak ada yang begitu penting.
Wanita itu terus memutar otak hingga berhenti setelah dia berusaha mencoba mengingat. “Bibi ingat sekarang!” ungkapnya dengan wajah berseri-seri.
Merasa tertarik, Jo ikut bergabung dengan kedua orang itu.
“Seingat bibi, ada sesuatu yang tersimpan di brankas milik bapak. Sebelum bapak pergi, beliau memesankan supaya brangkas itu dibuka ketika Den Edward pulang ke rumah. Tapi bibi tidak tahu pasti apa isinya,” terang wanita itu.
“Kuncinya?” tanya Ed.
Wanita itu beranjak pergi dengan langkah terburu-buru. Dan baru kembali setelah beberapa menit kemudian.
“Memegang amanah adalah sebuah tanggung jawab yang besar, Den. Meski bibi bisa masuk sesuka hati ke semua ruangan di rumah ini, namun percayalah, bibi belum pernah sekalipun membuka kotak besi itu,” kata Bi Lestari.
Ed tersenyum geli. “Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk mengenal seorang Bi Lestari.”
Ed beranjank dari ranjang menuju sebuah brankas besi yang mendekam di sudut kamar. Setelah bergelut dengan anak kunci selama beberapa menit, akhirnya pemuda itu berhasil membuka brankas. Dan hanya menemukan sebuah amplop berwana cokelat.