Dua Sisi

Johanes Gurning
Chapter #14

Menemukan Kepingan yang Hilang

Why oh why

Tell me why not me

Why oh why

We were meant to be?

Baby I know I could be

All you need

Why oh why oh why

I wanna love you

If you only knew how much I love you

So why not me?

(Enrique Iglesias – Why Not Me?)




Jo merasa jika dia tidak sedang bermimpi. Pemuda itu yakin jika sosok yang dilihatnya sekilas kemarin adalah seseorang yang dikenalnya. Dia sudah berusaha untuk menjelaskan kepada Ed tentang kegelisahan itu, namun sahabatnya itu justru menganggap jika Jo hanya sedang bergurau. Ed tidak percaya dengan kebetulan yang terjadi secara beruntun.

“Gue baru saja mengalami hal yang tidak terduga, Jo. So, please! Jangan kacaukan pikiran gue dengan hal yang sama. Cukup gue yang mengalami hal aneh seperti ini,” kata Ed saat Jo mengungkapkan kegelisahan hatinya tentang sosok yang tanpa sengaja dilihatnya kemarin.

“Lo terlalu egois jika beranggapan seperti itu. Justru menurut gue, seharusnya lo bersyukur karena dalam hal ini lo tidak sendiri,” bantah Jo.

“Whatever! Yang pasti, gue tidak ingin berpikir macam-macam sekarang. Gue harus berdamai dengan perasaan gue terlebih dahulu sebelum menerima kenyataan,” ucap Ed seraya berlalu pergi. Pemuda itu tidak menoleh sedikitpun ke belakang walau hanya sekedar menenangkan hati sahabatnya itu. Bahkan pintu kamarnya dibiarkan terhempas begitu saja dan menimbulkan bunyi yang begitu mengusik telinga.

Ed bisa saja lengah. Jo maklum akan hal itu. Setiap orang akan kehilangan semangat saat masalah datang secara beruntun. Apalagi yang tengah dihadapi oleh Ed saat ini adalah sesuatu yang melibatkan masa lalunya.

Jo masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai dan merembahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Wajah sosok yang tanpa sengaja disaksikannya kemarin kembali muncul. Dia tidak sendiri, ada kenangan yang ikut serta bersamanya.

Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal seseorang. Demikianlah perasaan Jo kepada gadis bernama Liana. Gadis yang tiba-tiba muncul, membawa sebuah angin segar namun pergi meninggalkan tanya dan kegelisahan.

Suatu pagi, Liana muncul dihadapan Jo dan juga teman-teman sekelasnya. Riuh suara teman laki-lakinya terdengar memuji kecantikan yang dimiliki oleh gadis itu. Bahkan bisik-bisik bernada iri mulai terdengar dari mulut teman perempuannya. Sosok itu kemudian duduk di bangku yang sama dengan Jo. Sikapnya yang dingin membuat Jo enggan untuk memulai pembicaraan dengan gadis itu. Bahkan melirik saja rasanya tidak bisa dia lakukan.

“Hai! Namaku Liana,” itu adalah kalimat pertama yang muncul dari gadis itu.

Masih dengan sikap yang terburu-buru akibat dipicu oleh rasa was-was yang tidak karuan, Jo menghadiahi gadis itu dengan sebelah jemarinya yang kasar.

“Tanganmu lembut sekali,” ucap Jo seraya memperhatikan telapak tangannya sendiri yang meninggalkan bekas goresan akibat aktivitasnya di ladang.

Liana hanya tersenyum dan bersiap membuka isi tasnya. Semua yang terlihat di dalam tas tersebut sangat bersih. Semua peralatan sekolah gadis itu lengkap. Bahkan dia memiliki duplikat untuk jaga-jaga siapa tahu suatu saat dia kehilangan salah satu dari peralatan itu.

Semenjak saat itu, kedua remaja itu rutin bertemu. Mereka kerap pulang bersama, berjalan kaki di tengah dinginnya udara Berastagi.

Hal yang paling membuat Liana ingin sekali mengunjungi rumah Jo adalah saat pemuda itu menceritakan tentang adik kecilnya, Aska yang waku itu masih balita. Liana sangat menyukai anak kecil mungkin karena gadis itu terlahir sebagai anak tunggal.

Pertemuan pertama dengan Aska membuatnya jatuh hati dengan bocah ajaib itu. Banyak hal yang mulai mereka bicarakan. Liana bisa saja datang siang hari ketika mereka pulang sekolah, dan baru akan kembai ketika saat malam hari. Waktu begitu singkat jika kedua orang itu sudah saling bertemu.

Liana sering menghadiahi Aska buku-buku cerita bergambar. Walaupun itu sudah bekas, namun Aska akan sangat senang saat Liana melakukan hal itu. Pada akhirnya, Aska dan Liana sangat dekat dalam waktu yang singkat. Rutinitas pun mulai terjadi di antara mereka. Seperti menikmati senja di belakang rumah, duduk manis sambil mendongeng saat hujan turun, hingga berkejar-kejaran di tengah landang sayur tanpa rasa malu. Meski Aska yang pertama membuat Liana jatuh cinta, namun jauh sebelum hal itu terjadi, Jo sudah merasakan getaran dalam dadanya terhadap gadis itu. Semua berawal dari rasa kagum, kemudian tersentuh oleh sikapnya yang lembut dan akhirnya jatuh cinta.

Perasaan itu terus dipendamnya. Jo ingin sekali mengungkapkan hal itu setelah mereka tamat SMA. Bahkan dia sudah berjanji dalam hati jika saat itu tiba, dia akan memberanikan diri untuk mengatakan tentang perasaannya terhadap gadis itu. Meski di hadapan teman-temannya Jo hanyalah sosok pendiam yang memiliki rasa pemalu yang berlebihan.

Sebelum saat yang ditunggunya tiba, suasan berubah. Liana pergi tanpa berpamitan. Gadis itu hanya sempat bicara kepada Aska jika suatu saat dia akan kembali lagi. Dari kabar yang beredar di lingkungan sekolah, Liana mendadak pergi karena ayahnya dipindahtugaskan. Namun tidak ada yang tahu di mana gadis itu tinggal.

***

Suasana sudah gelap saat Jo terbangun. Pemuda itu berjalan menuju dispenser dan meneguk air minum setelahnya. Dari jendela kamarnya Jo melihat jika di kamar seberang belum ada tanda-tanda kehidupan. Gelap. Namun jendelanya masih terbuka. Jo meletakkan gelasnya di atas meja kecil dan melangkah ke luar kamar. Seperti pencuri, pemuda itu menyibak tirai putih kemudian memperhatikan suasana dalam kamar yang gelap. Samar dia melihat sosok yang tergelak di atas kasur. Tidur telungkup tanpa terusik oleh kegelapan yang menyelimuti.

Tanpa sadar, sebuah jemari menempel di pundak Jo. Reflek pemuda itu hampir melompat. Saat ia membalikkan tubuhnya, ia menemukan Rainy sedang tertawa puas setelah berhasil membuatnya hampir jantungan.

“Apa yang lo lakuin di sini?” tanya Jo kaget.

“Lha! Lo sendiri? Lo mau nyolong, ya?” kata Rainy balik menuduh.

Jo menarik tangan gadis itu cukup jauh dari kamar Ed. “Ada batas yang sudah lo lewati. Lo bisa lihat peraturan yang ditulis segede gajah di situ, kan?” kata Jo seraya menunjuk sebuah papan yang disanggah oleh besi di samping gazebo.

“Gue bosan. Yang terdengar setiap hari di telinga gue hanya tentang salon, cowok, barang-barang bermerek atau curhatan tentang seseorag yang sedang patah hati. Gue butuh sesuatu yang berbeda,” kilah Rainy.

“Bukankah itu pembicaraan standar ala gadis-gadis zaman sekarang?” tanya Jo.

“Whatever you think! Terkadang melanggar peraturan itu adalah sesuatu yang paling menyenangkan,” bantah Rainy.

Dari seberang kos-kosan khusus laki-laki, terdengar derit suara pintu yang terbuka. Suara itu bersumber dari rumah sederhana yang berdiri di samping kos-kosan yang ditempati khusus oleh kaum hawa.

Seorang pria berusia 50-an berdiri dengan tangan di pinggang. Perutnya yang menyembul tampak lebih kontras dibanding dengan anggota tubuhnya yang lain. Pria itu adalah Babe Mul, begitu anak-anak menyebutnya. Pria asli Betawi itu terkenal jago silat dan karena itulah pria itu begitu ditakuti. Tugasnya menjaga kos-kosan selama ini bisa diacungi jempol karena tidak pernah sekalipun terdengar kabar ada maling yang masuk ke dalam komplek mini itu atau anak-anak yang melapor kehilangan barang-barang pribadi mereka. Pria itu juga cukup tegas. Di matanya tidak ada yang dinamakan pembelaan selama dia merasa kedua belah pihak memiliki kesalahan.

“Semoga kita tidak dimutilasi setelah ini,” bisik Jo.

Jo dan Rainy kini bersembunyi di balik bunga yang ditanam berkelompok tidak jauh dari gazebo.

“Lo takut?” tanya Rainy.

“Tidak,” jawab Jo.

“Gue bisa merasakan detak jantung lo memburu. Wajah lo mulai berubah warna,” bisik gadis itu lagi. Sebuah senyum mengejek terlihat di wajahnya.

“Babe Mul mengarah ke sini,” kata Jo. Reflek tangannya menyentuh kepala Rainy dan mengisyaratkannya untuk menunduk sehingga mereka tidak akan terlihat oleh Babe Mul.

Nafas Jo makin memburu. Jarak wajah mereka kini hanya terhitung beberapa senti. Bahkan dalam situasi genting seperti ini Rainy masih bisa tertawa tanpa suara saat melihat wajah Jo yang ketakutan. Ini adalah hal paling konyol yang pernah dia lihat dari pemuda itu.

Rainy dan Jo baru bisa bernafas lega saat Babe Mul selesai meronda dan kembali lagi ke rumahnya.

Rainy tertawa sejadi-jadinya saat melihat ekspresi Jo yang masih menyisakan rasa takut. “ Mendengar suara lo di radio, gue nggak pernah menyangka jika lo itu bisa sekonyol ini. Mungkin gue...”

“Lo akan berhenti mengagumi gue?” tanya Jo tanpa menunggu kelanjutan kata-kata Rainy.

“Apakah gue pernah bilang jika gue mengagumi lo, heh?”

“Lo lupa? Hanya sebatas mengagumi namun tidak menyukai. Pernyataan semacam ini pernah keluar dari mulut lo. Ingat?”

“Gue hanya menyukai suara lo. Ingat, hanya suara lo!” tegas Rainy.

Lihat selengkapnya