Dua Sisi

Johanes Gurning
Chapter #16

Mencoba Bangkit

But you won’t break me

You’ll just make me stronger than I was

Before I met you, I’ll bet you I’ll be just fine without you

Cause I’m stronger than I was

(Eminem – Stronger Than I Was)




Sehamparan tanah yang dipenuhi rumput tertata rapi. Di beberapa sudut berdiri pohon-pohon besar yang cukup rindang. Terkadang angin membawa serta daun-daun tua ke tepi tanah kematian, menutupi satu demi satu kubur yang mendekam.

Dua kaki saling beriringan menuju sebuah makam yang letaknya di sudut pemakaman. Sebuah makam dengan nisan yang terbuat dari batu yang letaknya tepat di kaki salah satu pohon besar yang menjulang tinggi. Tidak ada pembicaraan yang terjalin di antara kedua sosok itu. Seolah rasa muram tanah pekuburan mengajak mereka untuk tidak mengusik ketenangan jiwa-jiwa yang telah mendekam di sana dalam damai.

Meski hanya sebagai tempat peristirahatan yang terakhir, namun doa-doa masih saja dipanjatkan di sana. Sebait kata penghantar ketenangan bagi mereka yang telah berpulang lebih dulu. Mungkin demikian kata yang cocok untuk mewakilinya.

“Berusahalah untuk tidak menangis kali ini. Air mata gue sudah tidak terhitung mengalir di sini. Cukup gue yang merasakan kehilangan,” pesan Adrian.

Ed dan Adrian sudah tiba di pemakaman ibunya. Sosok yang begitu berarti bagi Adrian dan wanita yang sangat dirindukan oleh Ed.

“Bagaimana bisa lo berkata demikian? Haruskah gue menahan kerinduan yang telah lama terpendam? Apakah lo akan melarang gue melepas rindu dengan wanita yang selama ini sangat gue rindukan?” rentetan pertanyaan mulai mengalir deras dari mulut Ed. Tanpa terasa matanya sudah mulai berkaca-kaca. Untuk menangis, bukan berarti dia harus minta izin terlebih dahulu kepada saudaranya itu. Atau kepada siapa pun. Mungkin dengan melakukannya sebuah kerinduan akan terbayar.

“Dengan tidak menangis, berarti lo mengiklaskan kepergiannya.”

“Tolong jangan melarangku kali ini, Adrian! Lo tidak pernah tahu bagaimana gue tumbuh tanpa beliau. Lo bahkan tidak pernah tahu bagaimana gue melewati malam-malam insomnia gue karena memikirkan pertemuan gue dengan beliau. Dan, ah sudahlah! Kau tidak akan mengerti,” bantah Ed.

Ed mengelus nisan bertuliskan nama wanita yang dulu pernah bersamanya hingga usia sepuluh tahun. Rabaan tangannya di atas nisan dengan goresan huruf tersebut seolah memberinya sesuatu yang berbeda; kenangan.

Sepuluh tahun adalah masa yang cukup untuk mengenal siapa wanita itu. Sosok yang dulu kerap mendapat sindiran dari mulut-mulut tidak bertanggung jawab karena dianggap sebagai perempuan kotor. Menjadi ibu sekalian ayah bukanlah sesuatu yang mudah baginya. Bahkan dalam usia lima tahun, Ed sudah bisa merasakan bagaimana perjuangan ibunya. Di matanya, wanita itu adalah sosok yang sangat terhormat meski banyak orang yang menganggapnya sebagai seorang ibu seutuhnya. Yang tidak dia mengerti hingga kini, mengapa wanita itu pada akhirnya memenjarakannya di sebuah rumah mewah pada malam penghujan kala itu.

Ketika ingin mencari jawaban atas pertanyaan yang selama ini menari-nari dalam otaknya, wanita yang ingin dimintai jawaban malah pergi tanpa pamit terlebih dahulu.

“Sebenarnya banyak yang ingin gue tanyakan kepada beliau,” pekik Ed. Kacamatanya basah oleh air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya.

“Lalu apa yang akan lo lakukan jika kenyataan yang lo terima berbeda?” tanya Adrian.

“Itu bukan pertanyaan, Adrian!”

“Lo bisa lihat gue sekarang. Hanya itu yang harus lo lakukan.”

Gue tahu semua tidak akan lagi sama meski di mata lo ada ibu, batin Ed.

Ed terdiam. Matanya masih tertuju di pusaran makam ibunya. Sesekali angin membawa serta dedaunan tua dan mendekamkan diri di atas makam. Bahkan perlahan sebuah suara alunan musik mulai terdengar di telinga Ed.

Ed menatap Adrian yang masih diam tenang. “Lo mendengar sesuatu?”

Bukannya menjawab, Adrian malah tersenyum penuh arti. “Saatnya pergi dan mencaritahu apa yang baru saja lo dengar,” ucapnya.

Meski langkah berat, Ed meninggalkan makam ibunya. Sesekali dia masih menoleh ke belakang. Ada ketidakrelaan yang terpancar di matanya. Bahkan sesekali Adrian harus menunggunya ketika menyadari Ed tertinggal beberapa langkah di belakangnya.

Beberapa meter dari makam sang ibu, Adrian dan Ed berhenti di sebuah gubuk kecil yang letaknya bersembunyi di balik pohon besar lain. Sebuah gubuk dengan ukuran 4x4 meter terlihat rapi dengan aneka bunga warna-warni di setipa sisinya. Dua buah cemara yang masih kecil ditanam layaknya sebuah gapura yang langsung terhubung dengan teras gubuk.

Suara seruling masih saja mengalun dari dalam gubuk. Melodinya sedikit menyayat hati. Dan semakin menjadi kala suasana sepi mulai terasa.

Seorang pria berusia paruh baya muncul di depan pintu ketika melihat dua orang pemuda dari balik jendela kaca. Senyumnya melebar dan sangat khas. Beberapa giginya tampak sudah copot di beberapa bagian.

“Hei, Adrian!” serunya saat melihat sosok Adrian muncul di depan matanya.

Ed bisa melihat jika kedua orang itu sudah saling mengenal sejak lama.

“Kenalkan, Mbah! Ini Edward,” kata Adrian senang.

Ed memberi salam kepada orang tua itu tanpa bicara apa pun. Sebuah senyum kilat tersemat di bibirnya kemudian kembali pada ekspresi sebelumnya. Muram.

Pria itu mempersilahkan Ed dan Adrian masuk setelah dia membentangkan tikar pandan berukuran kecil di atas lantai.

“Permainan seruling bapak terdengar begitu bagus,” puji Ed.

Pria itu tersenyum samar. Ketiadaan beberapa gigi membuat senyumnya terkesan lucu. Kempot. Garis-garis di wajahnya menunjukkan jika usia sudah tidak lagi muda.

“Seruling adalah kekasihku,” ucapnya.

Ed terhenyak, kaget. Sementara Adrian hanya tersenyum simpul. Ini bukan yang pertama baginya bertemu dan mengoceh tentang hal-hal aneh dengan pria itu.

“Kedengarannya lucu,” ucap Ed. Pemuda itu kemudian mengamati seruling bambu milik lelaki itu. Sebuah hiasan seperti kain berbahan keras, terdapat di ujungnya. Seruling bambu itu diolesi cat minyak sewarna kayu yang membuatnya terkesan mewah.

“Mbah Karto hidup sendiri di sini. Sebagai petugas kubur, kesehariannya diliputi sepi. Mungkin karena itu dia menganggap seruling miliknya ini sebagai kekasih. Bukan demikian, Mbah?” tanya Adrian.

Mbah Karto mengangguk, senyum masih menghias bibir tipisnya yang cokelat.

Lihat selengkapnya